Mohon tunggu...
Chunk ND
Chunk ND Mohon Tunggu... mahasiswa -

mahasiswa tingkat akhir tak ada kata terlambat untuk belajar, termasuk menulis sebagai coretan untuk keabadian. sebab dengan menulis maka ingatan akan terawat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Solusi dari Sebuah Gejolak

16 Maret 2018   22:39 Diperbarui: 16 Maret 2018   22:52 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Setelah ini aku mungkin harus acuh terhadap rasa yang berlebihan, bahagia berlebihan ternyata tidak baik, hidup adalah tentang pasangan, bahagia ternyata tidaklah kekal. Kecuali itu disurga nanti.

Bahagia berlebih ternyata hanya akan memberiku rasa memiliki yang berlebih pula terhadap bahagia itu sendiri, dan jika itu terjadi aku seolah menjadi raja yang berada dalam puncak cemburu tertinggi. Meski sederhana tapi itu faktanya. Segalanya mempengaruhi akal dan rasaku. Siapa yang akan rasional berpikir jika akal dan rasaku telah bercampur. Menyatu jadi kesatuan yang akan membuatku menjadi iblis paling laknat diatas nama cinta.

Dan hari ini terjadi lagi. Entah kenapa aku selalu merasa curiga, marah, egois,keras kepala. Aku seolah muak dengan  semuanya. Serasa ingin berteman dengan sepi saja. Yang tak akan pernah memiliki  masalah meski hanya ada gelap tanpa setitik cahayapun.

Ah basa-basinya sepertinya cukup.

Hati dan pikiranku kembali bergejolak. Beradu untuk menang satu dengan yang lainnya.

Senyumnya begitu indah, begitu manis. Aku sangat menyukainya. Itu milikku. Hanya aku pemiliknya. Hanya aku yang berhak menikmatinya.

Tanpa sengaja aku melihat dengan seksama. Dan ternyata aku harus sadar bahwa aku bukanlah satu-satunya alas an sehingga senyum itu bisa terpancar keluar dari bibir indahnya. Aku jadi kacau. Ambur adul, tak karuan, lemas dan tak berdaya.

Ingin kutumpahkan segala amarah. Akal dan perasaanku telah menyatu setelah berseteru, namun pada akhirnya tak satupun yang menang. Bahkan mereka menyatu menjadi sebuah monster yang membuat bibirku tak mampu untuk tersenyum.

Aku begitu marah, begitu cemburu, begitu frustasi. Ia melempar senyumnya dihadapanku, namun bukan untukku. Ah aku begitu marah.

Aku tak tau harus berbuat apalagi. Ingin kuluapkan segalanya tapi nuraniku menahan kuat untuk tidak melakukannya.

Sejak itu kumulai mencoba bersahabat dengan pikiranku, dan mencoba bertoleransi terhadap perasaanku. Perlahan seolah semuanya jernih kembali. Aku haru berpikir secara bijak menyikapi hal lumrah yang terjadi dalam hubungan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun