Sore itu aku berangkat lebih awal, kulihat dalam drama-drama, dalam hal seperti ini seorang pria hendaknya membawa sebuah hadiah sebagai bukti keseriusannya, bunga, kotak kado atau apapun itu. Namun kusadari dia berbeda, diapun tau kalau aku bukanlah orang yang seperti itu.
Kupersiapkan segala sesuatuku untuk bertemu dengannya, sejak pagi telah kulatih cara berbicaraku dihadapan fotonya yang telah kusimpan dalam ponselku. Kuperhatikan dengan baik wajahku, rambutku, pakaianku. Dari ujung kaki hingga ujung rambut tak ada yang luput dari pemeriksaanku.
Hampir tigapuluh menit aku duduk terdiam sendiri menunggu kedatangannya, terbayang dia datang dari belakang dengan gaun indahnya dan berteriak sambil berlari kearahku, menyebut namaku, namun itu hanya anganku, mungkin drama telah mempengaruhi pikiranku.
Dari kejauhan kulihat ia berjalan dengan pelannya, dengan jeans biru dan kaos putih dengan rambut yang telah terikat kuat kebelakang ia menatapku dari kejauhan. Dengan sabar aku menunggunya, aku tak ingin terburu-buru, sebab aku telah meyakini bahwa hari ini adalah hari besarku, hari besar kami.
Semakin ia mendekat aku semakin merasa gugup, aku melihat matanya merah dan bengkak, dia baru bangun tidur, ah tidak. Dia baru saja menangis, bekas air mata dikelopak matanya masih tampak begitu jelas, perasaanku semakin tak karuan, apa yang harus aku lakukan, dia datang hari ini namun kedatangannya berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini dengan air mata. Akupun berpikir dengan positif, aku tak ingin persiapan yang telah kulakukan sejak malam tadi sia-sia. Mngkin ia kehilangan sesuatu yang berharga baginya, mungkin sebuah boneka. Aku pegangi pundaknya dan bertanya dengan pelan kenapa ia menangis.
“Kekasihku memutuskanku” katanya singkat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI