Mohon tunggu...
neno 09
neno 09 Mohon Tunggu... -

seorang penjelajah dunia;cukup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya, masyarakat pengecut; tentang kebebasan berpendapat

13 Maret 2010   07:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:27 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ide itu terkadang muncul dari mana saja, tidak peduli kita sedang apa. Begitu pula dengan ide gambar karikatur yang saya buat. Saya menemukannya saat sedang berbincang dengan teman di salah satu media blog. Idenya mengenai hubungan antara pemerintah Indonesia, yang diwakili presiden, dengan kedatangan Obama, pemerintah Amerika, nanti. Saya bukan tipe orang yang membenci presiden dan seluruh orang yang berada di sistem pemerintahan, karena saya juga bisa seperti ini, secara langsung atau tidak berhubungan dengan keberadaan sistem tersebut. Akan tetapi saya selalu berada dalam pihak kebenaran menurut kepentingan saya sendiri. Jadi wajar, dalam masalah melihat kualitas dan kapasitas pemerintah, saya bisa berkoalisi atau beroposisi. Dan dalam konteks kedatangan Obama, saya beroposisi. Saya tidak akan berbicara lebih jauh mengenai mengapa saya oposisi, karena dalam artikel ini saya ingin menekankan pada hal lain. Tapi untuk mencegah agar tidak terjadi salah paham, saya akan jelaskan sedikit alasan saya. Amerika selalu identik dengan negara super power, yang selalu arogan dan bermuka dua. Kondisi ini bisa jadi karena Amerika dibangun oleh pemerintah yang bersifat seperti itu, dan atau bisa juga karena Amerika adalah boneka yang digerakkan oleh "bayangan" dari belakang layar. Jadi, bisa saja Obama "pernah" bersekolah (atau numpang berak) di negara ini, tapi kedatangannya, pasti, dengan sejumlah agenda kepentingan, yang saya rasa, tidak akan sejalan dengan agenda kemerdekaan kebangsaan Indonesia. Berkaitan dengan karikatur yang saya buat, saya menciptakan sebuah sindiran (frontal, kalau kata pacar saya) mengenai pemerintah Indonesia (yang disimbolkan dengan presiden) yang sedang menjilat es-krim dengan rupa Amerika (yang disimbolkan dengan presiden) berikut lembaga-lembaga dan perusahaan multinasional yang berkait lainnya, seperti IMF atau World Bank, Exxon, Freeport dan lain-lain. Permasalahan muncul ketika saya ingin menampilkan hal tersebut ke media publik, dalam hal ini internet. Karena bagaimanapun juga kasus Mbak prita dan kasus-kasus yang berhubungan dengan UU ITE, cukup membuat saya berpikir berulang-ulang untuk menampilkan hasil opini saya tersebut. Padahal dalam perundangan, diatur dengan jelas mengenai kebebasan berpendapat warga negara Indonesia, diantaranya dalam (Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I) UUD 1945, (Pasal 14, 19, 20, dan 21) Tap MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, (Pasal 14, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Pasal 19) UU No 12 Tahun 2005. Saya bukanlah ahli hukum atau ahli tata negara, sehingga saya tidak begitu mengerti bagaimana hukum yang mengatur kebebasan berpendapat di negara ini. Tapi, ketika UUD 1945 sudah mengatur hal tersebut, berarti sudah cukup dasar saya untuk mengeluarkan pendapat, bukan? Karena dalam bahasa awam saya, UUD 1945 adalah dasar negara, berarti apapun yang dikatakan peraturan perundangan atau produk hukum lainnya harus mengacu pada dasar dari segala dasar hukum (dalam hal ini UUD 1945), bukan? Tetapi kenyataannya, hukum di negara ini malah bersifat karet. Bisa ditarik kesana kemari, tergantung siapa yang mampu membeli dengan harga tinggi. Bisa digunakan seenak jidatnya oleh mereka, segelintir orang atau kelompok, yang merasa memiliki kuasa atau hak untuk melakukan apa saja. Sedangkan komponen masyarakat lainnya, hanya dijadikan penonton yang bisa dilempar kesana kemari tanpa mengerti mengapa mereka diperlakukan seperti itu, walaupun mereka adalah warga negara Indonesia yang, pastinya, memiliki hak yang sama di depan hukum. Mungkin saja ada penjelasan yang menyebutkan, misalnya saya mengeluarkan karikatur tersebut, bahwa karikatur yang saya buat mengganggu ketertiban umum, tidak bermoral dan tidak menghormati juga memfitnah hak orang lain untuk hidup. Tapi, bukankah kata umum dalam ketertiban juga rancu? Umum manakah yang dirujuk? Sebagian masyarakat perkotaan yang mendukung simbol dalam karikatur saya dan atau mereka yang dibayar untuk merasa terganggu ketertiban karena karikatur saya? Bagimana kalau saja saya, dan beberapa teman saya yang sepakat, bilang kami terganggu dengan gaya dan cara yang mereka (yang merasa terikat dengan simbol dalam karikatur saya) lakukan dalam panggung sandiwara politik? Apakah itu juga termasuk umum dalam konteks ketertiban umum? Tidak bermoral? Lalu bagaimana kita bersama menjelaskan perilaku para wakil rakyat berikut mereka yang berada dalam sistem pemerintahan yang berlaku tidak sebagaimana porsinya? Berteriak "huhuhu" dalam sidang kenegaraan? Korupsi uang rakyat, tapi dibiarkan bebas berkeliaran? Menjalankan sistem pemerintahan yang hanya menguntungkan beberapa kelompok, padahal pemerintah harus dapat bersikap netral dalam melayani "masyarakat"? Apakah kondisi tersebut lebih bermoral daripada apa yang saya lakukan? Jika, ya, lalu apakah moral itu? Tidak menghormati dan memfitnah hak orang lain untuk hidup? Lalu bagaimana kita bersama bisa menjelaskan lumpur sidoarjo, cicak vs buaya, century, BLBI, penggusuran di lahan perkotaan, adakah disana penghormatan? Atau perilaku bukan fitnah atas hak hidup orang lain? Ataukah karena saya termasuk masyarakat kecil, jadi dianggap kecil karena bukan besar dan tidak patut dihitung? Jadi saya bisa di represi dengan seenaknya saja. Bukankah saya juga dihitung sebagai angka yang menghiasi kemenangan beberapa orang yang merasa sebagai wakil masyarakat (maksudnya wakil saya) di pemerintahan? Sikap represif yang saya rasakan, memang tidak langsung menunjuk kepada saya, tapi jelas cara merepresi yang ada tersebut mengena dalam tujuannya untuk membatasi opini kritis dari masyarakat. Saya memang memiliki tenaga untuk berteriak, tapi membayangkan penjara dan seperangkat tindakan yang akan dilakukan untuk membatasi gerak saya, telah membuat saya ciut, saya punya mimpi masa depan yang lain selain jadi bulan-bulanan. Ya, saya mengakui saya pengecut dan penakut karena tidak berani mempertayangkan opini saya. Lalu apa yang dapat diharapkan dari sebuah negara (bernama Indonesia) dengan sistem (pemerintahan demokra-t-si) yang membatasi gerak masyarakatnya untuk bersuara? Artikel asli dapat anda temukan di sapere aude

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun