[caption id="attachment_249305" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu warga Desa Pandumaan yaitu Tohap Pandiangan di pohon kemenyan miliknya"][/caption] Bulatnya matahari pagi yang memancarkan warna orange dan kekuning-kuningan yang diiringi dengan kabut tipis mengitari atap rumah dan pepohonan pinus yang ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta masih belum membuat saya merasakan sebuah keharmonisan kehidupan pedesaan. Anak-anak sekolah pagi itu sudah bersemangat berangkat ke sekolah bersama teman-temannya. Terlihat juga satu orang anak perempuan berlari terburu-buru menuju sekolah. Mungkin dia takut terlambat datang ke sekolahnya.
Suhu pagi itu cukup dingin sehingga membuatsaya betah menggunakan jaket yang saya pakai sejak tadi malam. Di tepi jalan desa di dekat pagar salah satu rumah warga yang terbuat dari bambu saya mencoba melihat dan memperhatikan semua aktivitas yang ada di desa ini. Merasakan salah satu bagian dari keharmonisan kehidupan masyarakat ini seperti ada yang hilang.
Beberapa tahun kebelakang, tepatnya tahun 2009, keharmonisan kehidupan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta mulai terusik. Sebuah desa yang berada di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasudutan ini ternyata masuk kedalam sebuah konsesi perusahaan pulp and paper milik perusahaan yang bernama PT Toba Pulp Lestari (sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama). Tanpa mereka sadari, wilayah yang mereka tempati dan kelola selama 13 generasi ini sudah diberikan izinnya oleh Kementerian Kehutanan untuk sebuah perusahaan yang rakus akan kayu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.351/Menhut-II/2004 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 Tentang Pemberian Hak Pengusahaan Tanaman Industri Kepada PT Inti Indorayon Utama seluas 269.060 hektar di Provinsi Sumatera Utara. Wilayah Desa Pandumaan-Sipituhuta seluas sekitar 6.000 hektar yang selama ini mereka tempati dan mereka kelola diklaim oleh TPL masuk kedalam konsesi TPL.
Aktivitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta mulai terganggu disaat TPL akan melakukan penebangan terhadap hutan kemenyan yang terdapat di wilayah kelola masyarakat selama ini. Aksi protes dan penolakan penebangan hutan terus dilakukan oleh masyarakat. Penolakan ini dilakukan dikarenakan masyarakat akan merasakan langsung dampaknya yaitu akan kehilangan sumber mata pencaharian utama masyarakat. Sebanyak 3.715 jiwa akan kehilangan sumber mata pencaharian dari kemenyan. Selain itu juga mereka akan menerima dampak kerusakan lingkungan, mulai dari longsor, kesulitan akses air bersih dan pencemaran lingkungan.
13 Generasi Mengelola Kemenyan
“Tanaman kemenyan ini ditanam oleh opung-opung kami dulunya. Sudah 13 keturunan kami menjaga dan mengelola pohon kemenyan ini” ungkap Teti Helmi Borutasoit ketika saya menanyakan sejak kapan mereka mengelola tanaman kemenyan yang sekarang sudah menjadi hutan yang rindang, yaitu hutan kemenyan.
Tohap Pandiangan, salah satu pemilik hutan kemenyan di Desa Pandumaan mengatakan bahwa hutan kemenyan seluas 4 hektar yang ia kelola adalah warisan dari orang tuanya. Ketika pohon kemenyan ditanam oleh Opungnya berumur sepuluh tahun, Opungnya meninggal dan pengelolaan pohon kemenyan diteruskan oleh orang tuanya. Sekarang pengelolaannya dikelola oleh Tohap Pandiangan yang menggantikan orang tuanya. “Jumlah pohon kemenyan yang ada disini sekitar 1000 batang. Pohon-pohon kemenyan yang ada disini bukan pohon liar. Ini ditanam oleh Opung saya” ucap Tohap.
Tohap memanen getah kemenyan miliknya satu tahun sekali. Dari seribu batang yang ia kelola bisa menghasilkan 100 kg per tahun. Harga per kilo kemenyan adalah Rp 130.000-140.000. Satu tahun Tohap bisa mendapatkan uang sekitar 14 juta dari penjualan kemenyan yang ada di lahannya. “Tapi enam bulan kemudian kita masih bisa mengambil getah kemenyan dari sisa panen tersebut. Per harinya saya bisa mengumpulkan 1 kg.Harganya klo dari kemenyan sisa-sisa ini 60 ribu per kilo” ungkapnya.
Salah satu pengumpul kemenyan yang ada di Dolok Sanggul, Ibukota Humbang Hasudutan yaitu Khalil Basyah Sihite mengatakan bahwa jumlah kemenyan yang ada sekarang sudah berkurang dan juga kualitas kemenyannya menurun. Para pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul juga sudah berkurang. “Saat ini mungkin hanya sekitar 10 orang yang menampung kemanyan. Dulu ada sekitar 20 orang pengumpul besar disini. Mereka semua beralih usaha karena kemenyan sudah tidak ada” ungkap Khalil.
Menurut Khalil pecahan dari Tapanuli Utara merupakah penyuplai terbesar untuk kemenyan. Beberapa kabupaten penyuplai kemenyan adalah Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Humbang Hasudutan. Dolok Sanggul adalah yang terbesar dalam penyuplai kemenyan. 90 persen kemenyan milik Khalil dijual ke Jawa Tengah. Banyaknya kawasan hutan kemenyan yang sudah ditebang dan dikonversi menjadi HTI berdampak kepada jumlah pasokan kemenyan di Dolok Sanggul. “Dulu saya masih bisa mengirim kemenyan sebanyak 7 ton dalam seminggu. Sekarang untuk mengumpulkan 7 ton dalam dua bulan saja sudah sangat sulit” ungkap Khalil. Khalil sangat menyangkan sikap pemerintah yang tidak mendukung pengembangan dan pelestarian kemenyan yang sudah dari dulu dilakukan oleh para nenek moyang mereka. Seharusnya pemerintah menjaga hutan kemenyan yang sudah dilestarikan para leluhur orang batak. Dengan mendukung pelestarian hutan kemenyan sudah dipastikan akan membantu mensejahterakan kehidupan masyarakat yang ada di desa seperti Desa Pandumaan-Sipituhuta.
Tohap Pandiangan menyatakan seharusnya pemerintah bisa mengerti dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Tidak mementingkan sebuah investasi besar yang hanya mementingkan para pemilik modal. Kehadiran TPL di wilayahnya sangat mengancam kehidupan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. “Sampai kapanpun saya harus terus berjuang demi masa depan saya, anak-anak saya dan istri saya. Sampai kapanpun masyarakat Pandumaan-Sipituhuta akan tetap mempertahankan hutan kemenyan. Lebih baik kami mati daripada tanah leluhur kami diambil. Terutama pohon kemenyan ini” tegas Tohap.
Brimob yang Bringas dan Tidak Manusiawi
Tanggal 26 Februari 2013 pukul 2 dini hari adalah hari yang tidak bisa dilupakan oleh Rensus Lumban Gaol. Seorang laki-laki yang cacat ini harus merasakan bringasnya perlakukan aparat Brimob dalam menyisir Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mencari para laki-laki yang dianggap provokator dan merusak aset perusahaan PT Toba Pulp Lestari.
Rangkaian penolakan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta terhadap penebangan hutan kemenyan mereka berbuntut penyisiran oleh aparat kepolisian untuk menangkap beberapa warga yang dianggap aktor dalam penolakan dan pengrusakan aset perusahaan. Lebih dari 300 anggota Brimob bersenjata laras panjang dan muka yang ditutupi dengan coretan-coretan loreng dan hitam memaksa masuk setiap rumah di Pandumaan-Sipituhuta.Beberapa pintu rumah hancur dan kamar-kamar berantakan karena dibongkar oleh polisi yang datang.
Rensus yang ketakutan mengajak 6 orang anaknya masuk ke dalam kamar. 30 anggota Brimob mengepung rumahnya saat itu. 10 orang masuk ke dalam ruang tamu dan mendobrak pintu kamar tempat dia bersama anak-anaknya berkumpul. Setelah pintu didobrak, para anggota Brimob ini menarik secara paksa Rensus sambil memukuli wajah, menendang dan menginjak-ijak kakinya yang cacat. Walaupun anak-anaknya berteriak dan menangis perlakuan kasar mereka tetap dilakukan. Ketika diseret ke jalan oleh beberapa aparat Brimob, Rensus mengatakan bahwa dia adalah lelaki cacat. Kaki kanannya tidak sempurna sejak lahir. Mendengar pengakuan Rensus barulah Brimob tersebut melepaskan Rensus.
Rensus yang sehari-hari memiliki warung kecil yang menjual beberapa aneka jajanan, kopi dan kue-kue mengatakan bahwa pada malam itu selain melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya, aparat Brimob tersebut juga menjarah dagangan miliknya. Beberapa bungkus rokok yang dia jual diambil oleh anggota Brimob. Beberapa masyarakat Pandumaan-Sipituhuta menyatakan rumah mereka dijarah. Ada beberapa warga yang kehilangan emas dan handphone.
Teti Helmi yang suaminya ditangkap aparat pada malam penyisiran tersebut mengatakan semua wanita dan anak-anak pada dini hari itu menangis menyaksikan brutalnya perlakuan aparat Brimob terhadap mereka. “Kami ditodongkan senjata laras panjang dan dipaksa masuk. Mereka memperlakukan kami seperti teroris ataupun penjahat” ungkap Teti. Pada saat suaminya ditangkap Teti memeluk suaminya dan menahan suaminya agar tidak dibawa oleh Brimob. Karena Teti tidak mau melepaskan pelukan terhadap suaminya, salah satu anggota Brimob memukul lengan kirinya dengan popor senjata. Sampai beberapa hari lengannya masih lembam kebiruan. Teti pada malam itu hanya menangis dan mengatakan bahwa suaminya tidak bersalah. Mereka hanya mempertahankan tanah adat yang sudah dijaga secara turun-temurun.
Baik Rensus maupun Teti sampai sekarang masih tidak bisa tidur dengan tenang. Ketika ada suara mobil pada malam hari mereka selalu terjaga khawatir Brimob akan kembali datang dan melakukan kekerasan. “Kami ingin kampung ini damai kembali, bisa mengerjakan kemenyan kami dengan tenang. Bapak-bapak bisa bekerja setiap hari. Tidak dalam ketakutan. Kami ingin damai menjalani kehidupan ini karena kami bukan pencuri, bukan pembunuh. Kami hanya membela kampung ini. Membela tanah kami. Berjuang untuk mendapatkan kembali hutan kemenyan kami” ungkap Teti yang tidak bisa menahan air matanya. Teti berharap kepada semua orang yang mencintai masyarakat Pandumaan-Sipituhuta supaya membela dan membantu mereka.
[caption id="attachment_249307" align="aligncenter" width="600" caption="Aksi solidaritas untuk masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kota Medan, Sumatera Utara"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H