Mohon tunggu...
EEN IRAWAN PUTRA
EEN IRAWAN PUTRA Mohon Tunggu... -

I was born in Arga Makmur, North Bengkulu, Bengkulu Province. Always liked the forestry issues because studied at faculty of forestry. Now, I am working for Indonesia Nature Film Society (www.inaturefilms.org)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ina Craft Apakah Mampu Membantu dan Menghargai Pengrajin Sebenarnya?

23 April 2014   13:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terpesona dengan beragam bentuk anyaman dan tenun. Kehalusan bahan anyaman dan ketelitian dalam mengolah bahan baku rotan, daun, serta benang. Beraneka ragam motif melalui warna-warna alami yang menyelimuti kerajinan mereka, membuat saya takjub akan sebuah budaya leluhur, kekayaan alam serta kemampuan masyarakat adat dalam membuat sebuah karya. Perjalanan saya selama lebih dari setengah bulan mengunjungi beberapa kampung di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat membuktikan kemampuan masyarakat Dayak dalam memanfaatkan alam untuk membuat sebuah karya yang indah dan menunjukkan budaya menganyam dan menenun sudah ada sejak dulu.

Di sebuah kampung di Kutai Barat, Kalimantan Timur, masyarakat Desa Tanjung Isuy mampu mengolah sebuah daun yang mirip palem-paleman (mereka menyebutnya daun doyo) menjadi sebuah kain tenun. Sebuah kain yang berbeda dengan kain tenun biasanya. Dengan ketelatenan dan ketelitian lembar demi lembar daun doyo mereka ambil serat halus di bagian atas permukaan daun untuk dipintal menjadi benang. Selembar kain tenun ukuran 60 cm x 200 cm memerlukan sekitar 750 lembar daun doyo. Kerumitan, kesabaran dan ketelitian mulai dari mengolah daun menjadi benang, mewarnai benang dengan pewarna alam dan menenun helai demi helai benang untuk menjadi sebuah kain tenun dengan motif-motif cantik membuat kain tenun ikat ini memiliki nilai yang tinggi. Tidak banyak orang di Kampung Tanjung Isuy yang mau dan mampu membuatnya.

Masih di Kutai Barat. Di Desa Eheng, Kecamatan Barong Tongkok beberapa kaum perempuan menganyam berbagai macam produk dari rotan. Salah satu produknya adalah anjat. Dengan kesabaran dan ketelitian mereka membelah sebatang rotan menjadi bagian-bagian yang tipis dan halus. Ukuran belahan rotan untuk anyaman mereka adalah 2 mm. Sangat kecil. Namun dari belahan rotan ukuran kecil inilah sebuah produk menjadi indah, penuh makna dan dibuat dengan rasa penuh cinta sang pengayam terhadap anyamannya.

Anatasya Dewi (32) sudah belajar mengayam sejak usianya 10 tahun. Dia bercerita, ketika dia belajar menganyam, banyak rotan orang tuanya yang dia tebang. Namun anyamannya tidak jadi. Ketika berhasil, anyaman tersebut belum rapi dan indah. Ketika dia belajar, tanaman rotan masih banyak di sekitar desa. Saat ini hasil anyamannya banyak yang dinanti oleh para pembeli. Dia sudah mampu membuat berbagai macam tas dengan berbagai macam motif. Untuk motif, Dewi hanya menggunakan satu warna saja, yaitu warna hitam. “Warna hitam ini saya dapatkan dengan cara memasak rotan yang sudah saya belah dengan berbagai macam kulit buah-buahan, daun dan akar,” kata Dewi. Berkurangnya bahan baku rotan di desanya akibat pembukaan hutan skala besar untuk perkebunan kelapa sawit adalah ancaman nyata yang dihadapi oleh Dewi dan beberapa teman perempuannya yang bekerja sebagai penganyam. Rotan butuh hutan untuk bernaung. Tidak ada hutan tidak akan rotan.

Di Kalimantan Tengah, sebuah desa yang terdapat di Kabupaten Kuala Kapuas, yaitu Desa Pantai, Kecamatan Kapuas Barat, Rusniah (42) mampu membuat sebuah tas dari anyaman rotan yang sangat indah. Belahan-belahan rotan yang tipis dan sangat kecil dengan sabar dia anyam untuk menjadi sebuah tas. Bersama dengan suaminya yang saat ini sudah rabun karena katarak mereka ke ladang untuk mengambil rotan, mengolah rotan dan menganyam di rumahnya yang sangat sederhana. Karena kerumitan dalam menganyam dan butuh ketelitian, setiap bulannya Rusniah hanya mampu membuat 10-15 tas anyaman. Satu buah tas yang bermotif dia jual dengan harga 50 ribu rupiah, sementara yang polos 40 ribu rupiah.

Korid dan Jarai. Itulah produk yang dihasilkan oleh masyarakat dayak di Dusun Telogah, Desa Idas, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Bentuk anyaman korid berbeda dengan anyaman masyarakat Dayak yang lainnya. Korid hanya bisa dianyam dengan menggunakan rotan yang benar-benar pilihan. Tidak terlalu muda dan tidak juga tidak tua. Jika salah dalam memilih rotan, ketika menganyam rotan, anyaman tersebut bisa patah. Marsiah Dino (55) atau yang sering disebut Ibu Dino, sangat dikenal di kampungnya sebagai pengrajin korid terbaik. Dikarenakan budaya menganyam sudah dilakukan oleh nenek moyangnya, Ibu Dino juga ingin bisa menganyam. Saat itu dia belajar menganyam dengan ibu dan neneknya kala itu masih hidup. Saat ini Ibu Dino sangat khawatir banyak generasi muda di kampungnya yang sudah tidak lagi mau belajar mengayam.

Selain mengayam rotan untuk menjadi sebuah produk. Di Kalimantan Barat juga ditemukan kemampuan masyarakat Dayak menganyam anyaman dari bambu. Dengan pewarna alami, kaum perempuan di Dusun Kelumbi, Desa Karya Jaya Bakti, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, mewarnai anyamannya dengan tanaman jerenang dan sejenis kantong semar yang ada di dalam hutan. Buah jerenang digunakan untuk menghasilkan warna merah. Sementara bunga kantong semar dicampur dengan arang untuk mendapatkan warna hitam.

Salah satu penganyam dari bambu di Dusun Kelumbi adalah Leta (35). Tidak semua orang mampu menganyam anyaman dari belahan-belahan bambu yang sangat tipis dan kecil ini. Produk ini dihasilkan dengan sebuah ketekunan dan ketelitian yang luar biasa. Leta yang kampungnya jauh dari peradaban kota besar mampu melahirkan sebuah karya yang indah dan menawan.

Selain menganyam, masyarakat Dayak juga memiliki budaya menenun. Jika memasuki Museum Kapuas Raya, di Kabupaten Sintang. Kita bisa melihat sejarah masyarakat dayak dalam menenun. Tenun ikat yang ada di dalam museum ini menjadi sebuah bukti kemampuan masyarakat Dayak dalam menenun. Dengan motif-motif yang sangat rumit. Pewarna alam. Dan waktu pembuatan yang tidak sebentar, sebuah kain tenun yang dihasilkan sangat mahal nilai-nilai budayanya.

Muni Apriyanti (33), warga yang tinggal di Desa Ensaid Panjang merupakan salah satu penenun yang ada di rumah betang (rumah khas dayak). Perempuan yang menikah dengan laki-laki di Desa Ensaid Panjang ini tertarik untuk menenun ketika dia melihat banyak kaum perempuan yang tinggal di rumah betang rajin menenun kain ikat. Bagi Muni, selain mempertahankan budaya menenun, aktivitas ini bisa menambah pendapatan keluarganya dimana pendapatan utamanya dari getah tanaman karet.

Minim Perhatian Pemerintah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun