Berkenalan dengannya menjadikan saya kagum sekali padanya.
Bayangkan saja, rumahnya di Lembang dekat pasar. Kuliahnya di ITB. Tiap pagi dia harus berangkat paling lambat jam 5.30 pagi dari rumah supaya bisa terkejar jika ada kuliah jam 8.
Lho memangnya waktunya kurang berangkat sejam sebelumya?
Jika hari biasa, bukan karena kondisi tertentu atau long week end, beberapa tahun sebelumnya masih bisa meski tetap mepet. Tetapi, sejak tahun kedua kuliahnya, dia sudah tidak berani lagi gambling sebab lewat sedikit dari jam biasanya dia berangkat, bisa telat kuliahnya. Transportasi yang dia pakai adalah angkot. Saat itu dia masih belum berani membawa kendaraan sendiri. Jadilah nyaris tiap hari dia relakan tidur paginya terpotong supaya bisa ikut "turun" ke Bandung bersama mahasiswa, siswa sekolah serta karyawan lain yang sama-sama berasal dari Lembang dan melakukan aktivitasnya di kota Bandung.
Buat memuaskan kantuk yang tersisa, katanya lumayan masih bisa tidur sepanjang perjalanan.
Demikian juga seorang adik lain yang rumahnya di daerah Kopo dan berkuliah di Unpad Jatinangor. Adik ini usianya lebih muda dari cerita pertama. Maka, sejak awal kuliah dia memang harus berangkat dari rumah sekitar jam 6.00 supaya tidak telat sampai kampus. Bandung sudah mulai ramai dengan kepadatan penduduk terutama di daerah Timur dan sekitarnya. Belum lagi transportasi yang digunakan adalah Bis Damri yang tidak tiap saat atau banyak kala itu. Seringnya rebutan malah.
Dua adik dalam cerita di atas meruntuhkan pendapat saya bahwa saat kuliah, saya adalah orang yang paling menderita sebab harus menjalani Bandung -- Jatinangor naik bis kota. Zaman itu, kos-kosan di Jatinangor masih jarang dan memang tidak boleh oleh orang tua sebab saudara saya ada di Bandung semua. Sebagai anak rantau dari pulau seberang, wajarlah kalau orang tua memang menitipkan saya ke saudara dekat. Jadi, kalau karena jarak menjadi alasan jarang bertemu, mereka pasti akan kuatir sekali.
Alhasil selama masa kuliah itu, bangun pagi lalu berlarian atau menunggu lama bis datang adalah makanan sehari-hari. Saat pulang pun tidak terlalu jauh berbeda. Berdesakan dan atau tidak dapat bis menjadi kondisi yang seringkali tidak bisa dihindari.
Urusan macet sudah ada kala itu meski tidak sedasyat sekarang.
Ngomong-ngomong soal merantau, waktu akhirnya saya merantau dan mau tidak mau jadi anak kos, di kepala saya, yang namanya anak kos itu ya seperti saya itu. Harus tinggal di kota Bandung karena kuliah. Jauh dari orang tua. Meski ada saudara, tetapi jadi anak kos tetap menjadi pilihan utama yang disarankan bapak dan ibu di kota kelahiran supaya tidak menyusahkan orang lain serta belajar mandiri. Bahwa saya tidak kos di dekat kampus Jatinangor, ya ada alasannya sebab seperti yang sudah saya sebut juga.
Intinya, anak kos itu tinggal di sebuah kamar milik orang lain karena rumah tinggal aslinya jauh dengan membayarkan sejumlah uang tiap bulan atau tahun sebagai pengganti fasilitas yang diterima. Â
Makna dari anak kos versi isi kepala saya tadi mulai bergeser sekitar lima belas tahun ini ketika saya dapati teman kos saya adalah asli orang kota Bandung yang kebetulan sedang  kuliah di ITB. Rada kaget begitu tahu rumah ibu bapaknya itu sebenarnya cuma sekali naik angkot dan butuh waktu sekitar tiga puluh sampai empat puluh limat menit saja untuk sampai ke kampusnya.
Rada aneh kalau alasan jarak rumahnya itu menjadi alasan kenapa dia harus kos.
"Waktu aku sekolah, jaraknya juga kurang lebih sama, Mbak," ceritanya. "Kalau masuk sekolah juga tiap hari pagi. Kalau kuliah hanya beberapa hari saja yang masuk pagi. Bedanya... Dulu waktu sekolah aku nggak pernah telat karena jalanan lancar. Sekarang, biar pakai motor masih suka telat juga apalagi kalau malamnya begadang karena ngerjain tugas. Udah deh... Hari itu bisa jadi nggak ikut kuliah karena telat banget.."
Apa yang diceritakan si adik itu memang menjadi fenomena menarik atas bergesernya makna anak kos yang selama ini diketahui. Kalau dulu yang kos adalah mereka yang beda daerah, terutama yang jauh-jauh, sekarang yang sekota, tetapi beda kecamatan lebih memilih kos daripada harus terlambat beraktivitas.
Kemacetan kota menjadi penyebab utama memilih kos meski hanya beda kecamatan. Daripada telat dan kalau dihitung-hitung biaya, waktu dan tenaga maka pilihan ngekos adalah pilihan tepat.
Tinggal sekarang pemenuhan bangunan atau tempat kos yang memang tiap tahun selalu bertambah. Bukan sekadar karena banyak orang luar daerah yang masuk, tetapi karena alasan kemacetan sehingga mencari alternatif tinggal di tempat yang dekat meski jarak dengan rumah asli kurang dari sejam.
Selamat datang di kota yang akan terus berkembang... (anj2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H