Terbangun sesaat pagi, sadarku buaian mimpi itu telah pergi.
Tak ada batas cerita ketika mataku menyatakan menggeliatlah untuk hari ini. Bayangmu masih mengalir pada hembusan nafas, pada aliran darahku
Lalu, ketika mentari menghantarkan siang, aku tahu bahwa langkah kaki ini harus segera berlalu. Meneruskan cita, mewujudkan mimpi.
Tapi, begitu ku sadar tak ada sandaran bahumu yang siap hadir untukku, aku lunglai, tak peduli siang yang kian meninggi. Kian sadarkanku mimpi semalam memang telah pergi.
Maka serempak menuju senja, aku kian tertatih meneruskan sisa hari.
Bagiku percuma menyelesaikannya bahkan jika harus merangkak dengan kedua lututku. Sesalku nan panjang, tak sempat menangkap dengan pasti  uluran tanganmu tiap kali sukmaku sesak begini.
Dan..., begitu malam menutupi bumi, kulihat bayangmu kembali menari.
Tidak ada suara. Tidak ada kalimat. Cuma senyum manis terkias, tertumpah padaku. Pada diammu itu aku tahu, kau tiada kan jemu ulurkan tangan. Mencoba membelaiku, tenang. Utarakan yang mestinya kau hadirkan saat tangan kita bisa saling bergenggam rasa.
Pujaan.., ragamu boleh pergi. Hatimu boleh tak sempat kudapat.
Tapi..., dalam bening malam dan di setiap mimpi, aku tahu..., kau selalu ada untukku. Apa pun yang kulaku, bayang hadirmu adalah untuk menguatkanku.
Dan, itulah yg ingin kini kukata padamu... Aku selalu mengagumi....
(untuk seorang teman yang selalu mengagumi meski ia telah berpulang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H