Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gawai Canggih tapi Susah Menyapa

1 Juni 2021   17:23 Diperbarui: 2 Juni 2021   08:03 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian ini sekitar bulan Juli tahun lalu. Ketika orang sudah berani unjuk diri lagi setelah beberapa bulan sebelumnya dikepung ketakutan serta kekhawatiran atas bencana penyakit yang terjadi. 

Kecanggihan komunikasi beserta perangkatnya membuat kami mau mencoba saling tegur sapa intens lagi meski harus berjauhan, masih belum boleh tatap muka.

Rada aneh memang, berbicara dihadapan seperangkat alat dan teknologi canggih yang sebenarnya tetap bisa melihat ekspresi atau atensi masing-masing. Tetapi, kita tidak pernah tahu yang sesungguhnya terjadi di sana, apalagi sudah memakai latar belakang layar yang beragam bentuk. Makin menutupi ada apa di belakang wajah yang berusaha setia dalam layar monitor itu.

Selain faktor perbedaan respons saat tatap muka dan tatap monitor, bisa jadi karena kita "dipaksa" diam memperhatikan untuk beberapa waktu itu membuat fenomena baru yang menarik. 

Fenomena ini berhubungan dengan cara kita berkomunikasi sejak pandemi ini. Ditambah dengan budaya instan melalui segala kemudahan dari media sosial sudah lama kita pahami dan tetap membuat kita harus hati-hati menyikapinya.

Kembali pada kejadian bulan Juli 2020 lalu, saya dan anak-anak muda yang saya dampingi, untuk pertama kalinya saling tatap muka via media Zoom Meeting. Kebetulan mereka adalah pengurus dari sebuah komunitas. 

Sebagai pengurus, mereka pun berkeluh kesah tidak bisa melaksanakan rencana program kerja mereka sebab situasi yang belum jelas dan cenderung membuat mereka pesimis. Belum lagi tugas-tugas kuliah yang kini pun harus beradaptasi banyak.

Padahal, sebagai rasa tanggung jawab mereka sebagai pengurus, mereka ingin melaksanakan proker dengan baik sekaligus mencoba adaptasi juga dengan semua kondisi. Tetapi, mereka bingung bentuknya bagaimana.

Sumber pertemuan Zoom| Dokumentasi pribadi
Sumber pertemuan Zoom| Dokumentasi pribadi

Dari ngobrol ngalur ngidul dulu, lalu saya mengusulkan untuk kunjungan ke beberapa tempat yang berhubungan. Selain sebagai salah satu melaksanakan proker juga ajang silaturahmi agar saling tahu kondisi teman-teman mereka bagaimana. Siapa tahu keadaan membaik, jadi bisa lebih mudah tatap muka nanti.

Begitu saran selesai saya jelaskan, pertanyaan pertama yang muncul adalah, "Nanti kami di sana ngobrolin tentang apa, Mbak?"

Sekilas pertanyaan biasa, sempat membuat saya tersenyum, tapi langsung mikir. Lha kok bertanya sesuatu yang biasanya sudah mereka lakukan jika berkunjung. Saya dan seorang pamong lain yang mendampingi merasa ini adalah sebuah tantangan lain dalam menyikapi dunia baru kini.

Waktu lain, seorang pemudi yang merantau di Bandung menyatakan ingin punya keluarga angkat supaya dia bisa sekalian dibimbing. Kebetulan adalah seorang senior yang saya kenal baik, seringkali dimintai untuk menjadi orang tua angkat beberapa orang muda. 

Ketika saya kontak pasangan suami istri itu, mereka menanggapi dengan baik dan mempersilakan si pemudi untuk datang ke rumah mereka supaya bisa berkenalan.

Segera saya hubungi pemudi yang akunya akan terlihat pendiam jika berhadapan dengan orang baru. Sebelum kami janjian untuk berkunjung ke rumah pasutri tersebut, saya meminta dia mengirimkan WA kepada salah satu dari mereka. Sekadar berkenalan supaya lebih enak kalau bertemu.

Namun, reaksinya membuat saya malah bingung.
"Aku harus chat beliau apa, Mbak?" tulisnya di WA.
"Ya, tulis saja siapa namamu. Tahu beliau dari aku. Salam kenal atau tambah sedikit basa basi. Beres."
Setelah itu tidak ada tanggapan lagi darinya. Saya pikir ia sedang bercengkrama dengan pasutri, calon keluarga angkatnya itu.

Tapi, dugaan saya salah karena tak lama ia kirimkan teks pesan kepada saya dengan pesan, "Mbak, aku daritadi mikir mau nulis apa gitu biar enak kenalannya. Mbak lihat dulu ya sambil editin kalau ada yang nggak enak kalimatnya."

Astaga. Dia kirimkan bakal kalimat kenalnya kepada saya untuk nanti yang akan dikirimkan ke pasutri yang dimaksud. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala sesaat mendapat tulisan singkatnya. Tidak ada yang salah atau kurang sopan. Kenapa dia sampai segitunya ya?

Hingga ketika hari kami bertemu. Sepanjang perjalanan kami, kalimat yang selalu terucap dari mulutnya adalah "Nanti di sana aku ngomong apa, Mbak?"

Saya mencoba memisalkan saat dia ketemu saya pertama, samakan saja dengan hal itu. Tetapi, dia tetap saja merasa bingung dan sedikit takut.

Saya penasaran dan bertanya padanya, kenapa sampai segitunya? Dia jawab, "Aku juga nggak tahu, Mbak... Mungkin karena belum kenal saja. Tapi, bisa jadi karena sudah lama jarang bertemu orang apalagi yang baru. Jadi, takut gitu kalau salah ngomong."

Belum lama lalu, seorang dosen muda berkeluh kesah pada saya tentang cara komunikasi mahasiswanya. Sudah dijelaskan baik-baik, tetap saja minta diulang. Hal yang membuat dia sempat terlihat menahan emosi adalah ketika mereka malas melihat ke atas lagi atas obrolan mereka di WA, baik secara pribadi maupun grup.

Cara mereka meminta pun seringkali berkesan tidak sopan. Misalnya, "Saya belum dapat tugasnya, Bu.. Kirim lagi ke sini Bu..." atau "Wah sudah tenggelam tugasnya karena banyak chat. Susah nih Bu cari ke atas..."

Bisa jadi itu ingin mencairkan suasana. Namun, tetap terasa ada yang tidak pas. Apalagi ketika bertemu, justru yang paling cerewet nanya ini itu sampai paling detail sekali pun, malah lebih banyak diam. 

Ditanya mengerti atau tidak, mereka tidak ada yang menanggapi. Jelas hal ini membuat dosen muda itu sering kali harus elus dada. "Padahal ngomong aja apa yang tidak dimengerti atau uneg-unegnya. Mumpung ketemu. Cerewetnya kok cuma di grup."

Tiga contoh peristiwa di atas membawa saya kadang-kadang berefleksi sendiri, kenapa kemudahan ini justru menjadikan kemampuan dan modal seseorang untuk bersosialisasi serta berkomunikasi malah berkurang? 

Atau, apakah kemudahan ini memang sudah berubah wujud menjadi semacam anggapan tidak pentingnya sebuah tatap muka lalu memilih untuk berinteraksi lewat dunia maya saja walau itu bisa saja menipu kenyataan yang ada.

Untuk semua situasi ini memang saya masih harus belajar. Masih banyak mengerti juga dengan apa yang sesungguhnya sedang bergelut dan atau dikehendaki anak muda masa kini. 

Tidak mudah, namun tetap harus dijalani agar apa yang dirasakan si pemudi rantau itu tidak perlu terjadi, karena sudah lama tidak tatap muka dengan orang, maka rasa komunikasi dan bahasa itu seperti tergembok. Berganti dengan gaya instan media sosial yang marak. (anj 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun