Cara mereka meminta pun seringkali berkesan tidak sopan. Misalnya, "Saya belum dapat tugasnya, Bu.. Kirim lagi ke sini Bu..." atau "Wah sudah tenggelam tugasnya karena banyak chat. Susah nih Bu cari ke atas..."
Bisa jadi itu ingin mencairkan suasana. Namun, tetap terasa ada yang tidak pas. Apalagi ketika bertemu, justru yang paling cerewet nanya ini itu sampai paling detail sekali pun, malah lebih banyak diam.Â
Ditanya mengerti atau tidak, mereka tidak ada yang menanggapi. Jelas hal ini membuat dosen muda itu sering kali harus elus dada. "Padahal ngomong aja apa yang tidak dimengerti atau uneg-unegnya. Mumpung ketemu. Cerewetnya kok cuma di grup."
Tiga contoh peristiwa di atas membawa saya kadang-kadang berefleksi sendiri, kenapa kemudahan ini justru menjadikan kemampuan dan modal seseorang untuk bersosialisasi serta berkomunikasi malah berkurang?Â
Atau, apakah kemudahan ini memang sudah berubah wujud menjadi semacam anggapan tidak pentingnya sebuah tatap muka lalu memilih untuk berinteraksi lewat dunia maya saja walau itu bisa saja menipu kenyataan yang ada.
Untuk semua situasi ini memang saya masih harus belajar. Masih banyak mengerti juga dengan apa yang sesungguhnya sedang bergelut dan atau dikehendaki anak muda masa kini.Â
Tidak mudah, namun tetap harus dijalani agar apa yang dirasakan si pemudi rantau itu tidak perlu terjadi, karena sudah lama tidak tatap muka dengan orang, maka rasa komunikasi dan bahasa itu seperti tergembok. Berganti dengan gaya instan media sosial yang marak. (anj 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H