Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KerinduanKu PadaMu Takkan Tergantikan

29 Mei 2021   16:56 Diperbarui: 29 Mei 2021   16:57 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perayaan Ekaristi bagi umat Katolik bermakna sangat dalam. Bukan semata sebagai salah satu dari kewajiban serta tertulis dalam 5 Perintah Gereja, tetapi juga dalam Ekaristi kami bisa bertemu Sang Pencipta langsung dalam latunan doa-doa dan pujian. Peristiwa ini bisa menggetarkan sanubari paling dalam apalagi saat kekeringan itu menimpa disela jenjang kehidupan tak henti.

Ekaristi sendiri berasal dari kata eucharistein yang artinya ucapan terima kasih kepada Allah.  Ekaristi juga adalah Perjamuan Tuhan, yang memperingati perjamuan malam yang diadakan oleh Kristus bersama dengan murid-murid-Nya. Perjamuan ini juga merupakan antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba di surga.

Selain itu, Perayaan Ekaristi juga merupakan sebuah perayaan persekutuan Gereja. Konsili Vatikan II memandang bahwa perayaan Ekaristi "menampilkan secara konkret kesatuan Umat Allah,yang oleh Sakramen Mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan dengan mengagumkan". Maka dari itu, inti dasar dari Sakramen Ekaristi adalah kesatuan, persekutuan dengan Tuhan dan dengan semua umat beriman.

Tak heran, karena hal tersebut  ada umat yang sangat rajin ikut perayaan satu ini bahkan dalam kondisi yang mungkin sulit sekali pun seperti saat ini.

Saat pandemi melanda dunia, salah satu bagian kehidupan yang harus segera dicari alternatif untuk kelanjutan kehidupan selanjutnya adalah kehidupan menggereja, termasuk tentang tata cara Perayaan Ekaristi yang mau tak mau harus mengikuti semua kondisi. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melalui para Uskup yang ada di semua provinsi Gereja Katolik Indonesia, memberikan kebijakan kepada masing-masing keuskupan untuk menyesuaikan segala kondisi ini. Intinya sama, supaya mementingkan kesehatan dan keselamatn umat.

Maka, tak lama setelah kebijakan itu dimunculkan, perayaan persekutuan umat itu pun harus berubah bentuk. Yang semula bisa tatap muka langsung dalam sebuah gereja, berganti tatap muka tidak langsung melalui media internet.

Ternyata ini menimbulkan kegaduhan baru. Bukan hanya dari sisi teknologinya saja, atau tata gerak yang mau tidak mau harus disesuaikan. Terlebih lagi jika berhubungan dengan kondisi tempat atau usia umat di rumah yang pasti beragam. Tidak mungkin harus terus mengikuti tata gerak yang biasa karena segala keterbatasan itu.

Dokpri April 2020
Dokpri April 2020

Namun, lebih dalam dari itu, ternyata kondisi alih-alih demi kesehatan dan keselamatan memunculkan kerinduan tak dapat terbendung. Kerinduan akan persektuan dengan Allah dan umatNya dalam sebuah Perayaan Ekaristi yang hikmat di gereja. Terutama rasa rindu mendalam boleh menyantap tubuh Kristus dalam bentuk roti (hosti) yang sudah diberkati. Belum lagi, dalam dua tahun ini menjalani masa pandemi ini, kami melewatkan 2x Hari Raya Paskah (dengan rangkaian ritualnya yang tidak hanya sehari) dan Hari Raya Natal. Dua Hari Raya yang sangat berarti dan bermakna bagi kami.

Gedung gereja yang mungkin besar dan megah mendadak sepi. Saat melewatinya pun terasa kesepian dan kesendirian tanpa ada umat di dalamnya. Dan, semua ini pun dirasakan pula oleh gembala umatNya, dalam hal ini adalah para Pastor, biarawan/biarawati serta petugas gereja yang sekian lama sebelum pandemi setia bersama melayani umat. Semua kerinduan ini kadang tak terbendung dan tidak bisa terbayar bahkan dengan setiap hari mengikuti ekaristi streaming melalui media youtube.

Pastor yang Tidak Mau Streaming

Pada awal-awal pandemi, ketika alternatif misa streaming itu marak dijalani dimana pun sehingga bisa dipilih dimana kita suka atau mau, seorang Pastor yang saya kenal baik paling tidak mau menerima permintaan misa jenis satu ini. Waktu itu alasannya alat pendukung belum cukup dan ia tidak siap untuk misa seperti itu.

Iya sih... Bisa dibayangkan jika ia memimpin misa sendiri sementara umatnya entah dimana hanya terlihat dalam sekotak layar monitor yang bisa jadi isinya adalah orang-orang dari segala penjuru dunia adalah sebuah misa yang diharapkan sempurna. Tidak ada kendala banyak terutama dari segi teknologi. Padahal jika cuaca atau kondisi lain sedang melanda, siapa yang tahu.

Dokpri Mei 2021
Dokpri Mei 2021

Namun, beberapa hari lalu, saat saya dan dua orang adik membantu seorang Pastor misa streaming untuk sebuah komunitas, saya jadi mengerti mengapa Pastor yang saya ceritakan di atas pernah kekeuh menghindari misa streaming.

Dalam aura khusuk misa yang hanya dihadiri kami berempat termasuk Pastornya, dalam sebuah ruangan yang tidak besar terasa benar bahwa keterbatasan itu sungguh memberi nuansa beda. Ada keharuan, pesta yang Tuhan adakan, begitu sepi. Tamu yang biasanya berbondong-bondong datang, kini hanya sedikit saja. Bukan karena tidak mau, tetapi karena memang masih harus taat menjaga protokol kesehatan.

Dokpri Mei 2021
Dokpri Mei 2021

Perasaan itu semakin tak terhindari begitu beliau berkotbah di depan meja altar dengan menghadap laptop sementara kami rada jauh di belakang laptop itu. Beliau seperti menghadapi benda mati, tanpa reaksi dan interaksi. Apalagi kemudian ketika lagu-lagu pujian dikumandangkan lagi, yang bernyanyi dari pihak komunitas, kami hanya mendengarkan sebab tidak tahu lagunya. Kok, berasa aneh... Benar-benar merasa sebuah kejauhan yang tidak biasa.

Meski secara pribadi saya sungguh bersyukur, Tuhan seperti sudah menyiapkan perangkatNya agar saat harus terjadi gejolak yang juga dialami seluruh dunia ini anak-anakNya tetap bisa berusaha dekat denganNya, tetap saja..., sebuah perjumpaan yang menguatkan antara umat berimah dalam kasih Tuhan tidak bisa digantikan oleh teknologi. Kekusyukan yang mungkin sudah diusahakan diciptakan tidak jauh berbeda kalau kita misa seperti biasa, tetap ada yang kurang.

Seorang ibu sepuh yang karena persyaratan usia setahun ini tidak bisa menerima komuni kudus, begitu diberi kesempatan boleh ikut misa terbatas tidak bisa mengungkapkan rasa hatinya lagi selain berulang kali bilang, "Terima kasih. Rindu saya padaNya sudah terbalas. Saya Bahagia..."

Mungkin hal itu bisa menjadi wakil rasa dari sekian umat Katolik sekarang, dimana pun berada. Kerinduan untuk bisa bersekutu intim dengan Allah dan menerima komuni kudus, membuncah dan seperti tak tertahan lagi.

Semoga pandemi ini bisa berakhir seiring semangat usaha dan tetap banyak doa-doa kita. (anj2021)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun