Dalam sebuah artikel, Profesor Niobe Way, pakar ilmu psikologi terapan di New York University, AS, menulikan bahwa budaya di masyarakat yang mengatakan anak laki-laki tidak boleh sensitif dan emosional seperti anak perempuan adalah salah. Ia menyatakan, "Sama seperti anak perempuan, anak laki-laki juga penuh perasaan dan emosional, Namun, sering kali  mereka tidak mengerti bahwa hal tersebut penting untuk diungkapkan."Â
Seiring usia, pengamatan dan atau didikan mereka selama dalam keluarga maupun sekolah, seorang anak laki-laki bisa jadi menganggap tidak pantas memiliki perasaan sedih yang berujung pada sebuah tangisan. Biasanya ada sesuatu yang membuat mereka memilih menekan perasaan itu lalu memendam sendiri. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi depresi.
Seperti yang dikatakan sang professor tadi, sebenarnya anak laki-laki juga boleh menangis, mengeluarkan segenap emosi serta tidak perlu merasa ada yang tidak beres saat hendak melakukan hal tersebut. Mereka akan tetap menjadi seorang laki-laki sebagaimana laki-laki pada umumnya, tidak akan berkurang kondisi itu setelah menangis.
Lalu, bagaimana menumbuhkan kesadaran bahwa mereka boleh buat meluapkan emosi tersebut? Mungkin bisa dilakukan dengan beberapa penjelasan ini:
1. Diingatkan bahwa semua manusia punya emosi dan perasaan yang bisa terjelaskan dengan beberapa hal, jika gembira bagaimana, jika sedih bagaimana. Perasaan atau emosi ini bagian dari anugerah hidup maka sangat diperbolehkan untuk melampiaskannya dengan bertanggungjawab.
2. Menangis itu (tidak) sama dengan cengeng. Seringkali kalimat itu terlontar begitu saja jika ada seorang anak hobinya menangis. Bisa jadi karena hal tersebut maka seorang anak laki-laki merasa tabu jika dibilang cengeng. Itu hal yang memalukan. Padahal jika menangis dilakukan dengan alasan tertentu, tidak bisa lantas dibilang cengeng.
3. Menyediakan telinga dan waktu untuk mendengarkan keluh kesah serta pelampiasan emosi yang mungkin terbawa karenanya. Bila pelampiasan tersebut bentuknya dengan menangis, sebaiknya dibiarkan dulu hingga mereka tenang dengan tidak menyertakan komentar-komentar yang bisa jadi kian membuat mereka kembali bersedih.
O ya, menangis juga tidak mengenal strata. Ia bisa tiba-tiba menghampiri siapa pun orang yang memang sedang membutuhkannya. Dan, setelah tangisan itu bisa keluar dengan bebas tanpa perlu ditahan, ada bagian dalam diri yang pasti seperti lepas. Perlahan hilang. Kemudian lega. Ringan. Semoga lebih siap menghadapi perjuangan hidup selanjutnya. (anj 19)
Keteranga judul:
OM = Orang Muda.
Kisah atau artikel ini berhubungan dengan saya sebagai pendamping orang muda khususnya mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H