Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

(OM) Putaran Batu

4 Juni 2019   09:27 Diperbarui: 4 Juni 2019   09:29 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu saya berumur hampir sekitar 2 tahun.

Untuk melangkah, boleh dibilang sudah lumayan lancar. Tetapi, kalau untuk berjalan cepat pasti masih nabrak-nadrak alias belum imbang. Harus ada yang siap megangi.

Hari itu, saya melangkah sendiri. Entah bagaimana awalnya, Bi Rus yang biasa menjaga saya tidak ada saat itu. Kebetulan Ibu dan seorang Paman sedang ada di ruang tamu yang bisa memerhatikan tingkah saya.

Menurut mereka, saya sengaja didiamkan hingga keluar. Dari balik kaca, mereka memerhatikan saya hendak kemana. Meski lambat, tapi langkah saya pasti menuju ke rumah tetangga yang diceritakan di atas.

Diantara halaman rumah saya dan rumah tetangga tersebut dibatasi oleh sebuah pintu pagar kecil, Di tengahnya ada sebuah batu besar yang entah kenapa ada di situ, tidak pernah sengaja dipinggirkan. Kalau orang dewasa melihatnya pasti akan berusaha menghindari. Tapi, kalau anak kecil seperti saya waktu itu, bisa jadi malah jadi penyebab ia menangis kencang karena kesandung dan jatuh.

Karena hal itulah maka begitu melihat saya mulai mendekati batu besar itu, Ibu segera hendak keluar untuk mendampingi saya. Namun, Paman menahan tangan Ibu supaya tidak meneruskan niatnya.

"Biarkan saja Anjar melangkah. Kita memerhatikan dia saja dari sini," ujarnya.

"Tapi, kalau dia jatuh gimana? Bisa menangis dia..." Ibu cemas.

Nampaknya berbeda dengan Paman saya. Dia tersenyum dan tetap membiarkan saya melangkah seperti sarannya. Di raut wajahnya muncul keyakinan bahwa saya akan selamat sampai ke halam tetangga. Tidak pakai kesandung apalagi jatuh. Sementara Ibu nampak sangat cemas. Mungkin di pikirannya takut terjadi hal yang buruk terhadap diri saya.

Hitungan detik dan langkah mengantar saya sampai ke depan batu tersebut. Kecemasan kedua orang yang sangat menyayangi saya mencapai puncaknya. Ada cemas, takut sekaligus keyakinan saya dapat melewatinya.

Sebentar saya sempet terdiam tepat di depan batu besar itu. Kata Ibu, ia sempat hendak berlari mengambil saya. Tapi, sekali lagi Paman menahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun