Pernikahan menjadi sebuah simbol kebahagiaan. Di Indonesia status telah menikah seolah menjadi kewajiban bagi semua orang, baik pria maupun wanita. Seolah-olah kebahagiaan itu hanya akan diraih dengan menikah. Jika seseorang tidak menikah, orang akan menilai bahwa ia hidup tanpa sebuah tujuan, tanpa menikmati kebahagiaan yang sejati. Melalui film, sejak dulu kita sudah disajikan adegan-adegan dengan ending “mereka berdua kemudian hidup bahagia selamanya.”
Berapa banyak orang yang belum menikah merasa iri dengan pasangan-pasangan suami istri di sekitar mereka. Postingan foto-foto keluarga di media sosial yang “mengiklankan” bahagianya menikah. Ketika melihat postingan-postingan pamer kemesraan di dunia maya, berapa banyak jombowan dan jomblowati yang diam-diam merasa teriris hatinya dalam kesendiriannya melihat semua itu.
Lalu apakah setiap orang yang menikah sudah pasti bahagia?
Cukup sulit menemukan pasangan yang berani mempublikasikan keributan yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Hal ini membuat pemberitaan tentang pernikahan menjadi tidak seimbang. Berapa kali kita menyakiti hati pasangan kita dalam satu minggu, baik dengan sikap maupun dengan perkataan kita. Berapa kali kita ribut karena salah paham dalam rumah tangga dengan pasangan kita. Setiap kali ketegangan terjadi dalam rumah tangga, yang kita lakukan adalah mengunci pintu, menutup diri dari dunia luar. Berusaha agar tidak ada orang yang tahu kalau kita sedang bertikai dengan pasangan. Atau jika tiba-tiba ada tamu tak terduga saat kita dengan pasangan sedang tidak akur, para pasangan pada umumnya berpura-pura bersikap baik.
Dalam pernikahan, cukup banyak mimpi-mimpi bersama semasa pacaran yang akhirnya tidak sanggup dilaksanakan. Sebelum menikah, kedua pasangan diam-diam sudah menyusun rencana untuk selalu membuat pasangannya bahagia, berjanji dalam hati tidak akan pernah menyakitinya. Sayangnya, silahkan jujur, berapa banyak diantara kita yang sudah menikah berhasil membuat pasangannya bahagia. Bukankah justru kita diam-diam juga menunggu untuk dibahagiakan daripada membahagiakan pasangan kita?
Harusnya realitas pernikahan yang sesungguhnya terpublikasi dengan seimbang, agar semua orang memahami bahwa bukan status “telah menikahnya” yang membuat bahagia. Kebahagiaan itu harus diusahakan, bukan datang sendiri. Artinya dengan menikah atau tidak, kita akan tetap bisa bahagia, tergantung bagiamana kita mengusahakannya.
Misalnya dalam pernikahan yang sudah kami jalani selama lebih kurang enam bulan. Kadang kami bertikai karena masalah sepele, karena salah paham, hal yang sederhana menjadi sangat menyakitkan. Tanpa sadar saya dan pasangan ternyata sama-sama egois. Kadang saya membuat istri saya menangis, hal yang tidak pernah terjadi bahkan terbersit untuk melakukan itu saat pacaran (dulu). Kemudian muncul sisi dirinya yang tidak pernah kuduga membuatku terkejut, ternyata dia pun bisa membuatku terluka. Saat-saat seperti inilah, kebahagiaan itu harus diusahakan.
Saat keadaan telah normal, maka kami membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam rumah tangga kami ke depan. Akhirnya kami sepakati bahwa kami bisa bertikai, saling memarahi, tapi jangan sampai kemarahan dibawa hingga besok hari. Artinya, maksimal sebelum tidur, salah satu diantara kami harus dengan rendah hati minta maaf. Sangat tidak mudah untuk minta maaf, namun saat-saat seperti iniah kebahagiaan itu sedang kami usahakan senantiasa dalam rumah tangga kami, sangat tidak membahagiakan untuk mengusahakan kebahagiaan itu.
Di balik sebuah kebahagiaan, selalu ada usaha keras yang tidak membahagiakan untuk meraihnya.
Berapa banyak diantara pasangan yang akhirnya memilih berpisah karena tidak sanggup melewati masa-masa kritis dalam hubungan mereka. Banyak yang terjebak dalam kebahagiaan ilusi, kebahagiaan yang mereka pikir datang begitu saja tanpa usaha.