Mohon tunggu...
Benyaris A Pardosi
Benyaris A Pardosi Mohon Tunggu... profesional -

Pendatang di Negeri Orang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengamati Indonesia dari “Jauh”

9 Oktober 2014   18:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:44 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lahir dan besar di Indonesia, ayah dan ibuku asli orang Indonesia, hingga kini aku masih di sini tetap ada di Indonesia. Aku cukup bangga dilahirkan sebagai orang Indonesia, meski sesekali muncul kekesalan, kejengkelan, kemarahan, bahkan rasa muak atas negeri ini. Menjalani hidup sebagai rakyat memanglah serba salah, sebab kita seolah ditempatkan di posisi sebagai penonton, pengamat dan menjalani saja ritme hidup.

Di negeri ini saya hidup dengan mewakilkan diri kepada orang-orang yang disebut anggota DPR. Dengan demikian keberadaan mereka di sana akan menyuarakan isi hati saya, menyampaikan aspirasi saya sebagai orang yang diwakilinya. Begitu dekat rasanya hubungan saya dengan wakil saya, sebelum ia kuutus ke gedung parlemen. Namun setelah ia sampai di sana, di gedung yang megah itu, dengan berharap-harap cemas, menunggu-nunggu saat ia menyatakan rasa sakit yang kualami sebagai rakat kecil. Kutunggu-tunggu sepatah kata keluar dari mulutnya tentang penderitaanku, tentang kemiskinanku, tentang kemelaratanku, namun tak sedikit pun kudengar ia mengucapkan itu.

Ah, memang aku yang bodoh. Sebab bukan kali ini saja aku diperdaya olehnya, wakilku itu memang licik, licik sehingga selalu saja ia mampu  membuatku tetap percaya. Tetap saja, dari tahun ke tahun kuwakilkan diriku padanya meski sudah berualang ia ingkar akan janjinya. Memang aku yang bodoh.

Jarak antara aku dan dia kini sangat jauh, meski kami ada di rumah yang sama, di Indonesia tanah kelahiranku ini. Meski aku adalah bangsa Indonesia namun begitu jauh rasanya aku dari negara ini. Seolah namaku hanya tercatat sebagai warga bangsa, namun negara seperti tak pernah melihat, bahkan ingat akan aku.

Lihatlah mereka di sana, di gedung itu. Jika engkau juga mewakilkan dirimu pada mereka. Ia dan kawan-kawannya sibuk mengejar kuasa, harta bagi dirinya sendiri. Lihatlah betapa enak ia duduk melipat tangan menyandarkan punggung di gedung itu. Sebentar lagi ia tertidur.  Selalu saja, selalu saja aku harus menjadi pengamat, melihat-lihat dari jauh negaraku tercinta itu.

Aku masih berharap-harap, bilakah ia ingat janji semula yang dulu itu? Ah, semoga saja. Semoga ia tidak jadi lupa, atau kudoakan ia masuk neraka. Sepertinya hanya Tuhanlah yang mendengarkan suara rakyat jelata.

Ilustrasi: INI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun