[caption id="attachment_332154" align="aligncenter" width="460" caption="sumber: detik.com"][/caption]
Hampir setiap periode pemilu sepertinya calon-calon anggota DPR dan para politisi mampu meluluhkan hati untuk menggunakan hak pilih. Dari dua ratusan juta penduduk Indonesia, lebih dari 50% selalu menggunakan hak pilihnya. Apatisme warga terhadap para pemimpin memang terbilang akut, karena dari tahun ke tahun pergantian pemimpin dan wakil rakyat kondisi negeri ini tetap saja sama menderitanya. Hanya saja, politikus sangat pandai mencitrakan diri di mata masyarakat, sehingga tertipu. Maka terpilihlah pemimpin yang tidak layak namun berhasil membuat rakyat menyukainya.
Tengoklah ke dalam gedung DPR/MPR yang dihuni oleh orang-orang yang pada pemilu lalu berhasil meyakinkan rakyat untuk memilih mereka. Penuh percaya diri dan tanpa rasa ada salah, demokrasi berjalan tak tentu arah. Pertarungan adu kuat untuk menentukan siapa berhak menyandang gelar penguasa bagai hukum rimba siapa gagah ia berjaya. Memalukan! Begitulah masyarakat mengelus dada menyaksikan orang-orang yang mereka pilih diikuti rasa penyesalan. Pasca dilantik pada Oktober yang lalu, alih-alih melaksanakan tugasnya, anggota dewan justru sibuk bertikai. Dua kubu saling sikut menjadi pimpinan di parlemen.
Semakin jelaslah memang terlihat belang para anggota dewan yang terpilih. Tidak adanya keinginan untuk memperjuangkan nasib rakyat kian terlihat ketika mereka mempertontonkan keributan yang menggelikan. Cukup dangkal, apa yang mereka kejar hanyalah kedudukan, bukan nasib rakyat yang harusnya menjadi beban berat yang membuat mereka tak nyaman dengan jabatan. Harusnya mereka segera bergegas melakukan tugasnya sebagai penyerap, penghimpun dan penindaklanjut aspirasi rakyat yang mereka wakili.
Rakyat akan menyesali diri telah memilih anggota dewan entah sampai kapan, atau akan habis kesabaran sehinngga rakyat tidak lagi sanggup menahan diri untuk menghukum mereka. Bukan tidak mungkin. Demokrasi suka-suka yang dijalankan oleh DPR akan memperpanjang masa penderitaan yang tak kunjung terpulihkan. Koalisi Merah Putih yang kalah dalam Pilpres terlihat menjadi aktor utama yang begitu bernafsu menjadi penguasa. Nafsu yang tak tertahankan membuat mereka gagal mengendalikan diri, hingga diperbudak oleh kerakusannya sendiri.
Demokrasi, demos = rakyat, kratos = kekuatan/kekuasaan, demokrasi = kekuasaan rakyat, artinya rakyatlah yang berkuasa. Rakyatlah yang seharusnya duduk di atas tahta kekuasaan dan mendapat pelayanan dari wakil-wakilnya. Sayangnya, wakil-wakil rakyat nampaknya mendurhaka sehingga melupakan rakyat, sehingga mereka lebih melayani kratos-kekuasaan bagi diri sendiri. Rakyat sebagai penguasa akhirnya menderita ditindas oleh penghianatan pelayannya. Mengerikan.
Demokrasi haruslah untuk kepentingan rakyat, rakyat harus dikedepankan kepentingannya karena demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Kemenangan yang diraih dalam pemilu yang disebut pesta demokrasi hendaknya tidak menjadi euphoria yang membuat rakyat terlupakan. Kemenangan demokrasi harusnya menjadi kemenangan rakyat, bukan golongan tertentu dan untuk kepentingannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H