[caption id="attachment_348092" align="aligncenter" width="605" caption="ILUSTRASI: kanalsatu.com"][/caption]
Perseteruan dalam politik Indonesia bisa dikatakan kental sebagai pertarungan Koalisi Merah Putih Vs Koailisi Indonesia Hebat. Sejak pemilu, dua bendera ini kejar mengejar menghimpun tenaga untuk memenangkan pemilihan. Gandeng menggandeng partai menyatukan kekuatan adalah strategi utama untuk mengumpulkan banyak suara. Singkatnya, dengan pertarungan yang sengit akhirnya pilpresi dimenangkan oleh kubu Indonesia Hebat yang mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Kemenangan ini menjadi pelepas dahaga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai ibu kandung Jokowi. Betapa tidak, selama sepuluh tahun terakhir, PDIP selalu ada di luar pemerintahan, hingga 2014 penantian panjang untuk menjadi penguasa hinggap di genggaman.
Bisa dikatakan, peta kekuatan hampir seimbang antara dua kubu yang sama-sama merupakan rumah besar. Selain itu dua koalisi dihuni oleh sosok-sosok politisi senior yang tentu punya pengaruh besar dalam partai, karena memiliki predikat sebagai “pemilik” partai. Kemenangan yang diraih dengan tidak mudah itu harus tetap diperjuangkan oleh Jokowi. Meski PDIP berhasil memenangkan pemilu, namun Jokowi sendirilah yang harus memperjuangkan kemenangan itu. Kemenangan yang diraih dalam satu hari, harus dipertanggung jawabkan selama lima tahun.
Mulai tercium jika “lawan” Jokowi sesungguhnya bukanlah KMP, bukan Prabowo, melainkan partainya sendiri, PDIP yang menganggap Jokowi adalah hak milik mereka. Sosok Megawati dan Surya Paloh di dalam tubuh PDIP dan Nasdem yang berkoalisi men-“drive” Jokowi sebagai kepala negara, namun bukan sebagai kepala pemerintahan. Kepala yang mengambil keputusan dalam pemerintahan untuk kepentingan bangsa dan negara. Menjadi presiden secara “seremonial” yang hanya bersifat “simbolis” tanpa sebuah power untuk mengatur pemerintahan itu sendiri. Hilangnya hak prerogatifnya sebagai presiden bukan karena dicabut oleh rakyat, namun karena dimonopoli oleh atasannya di partai. “Atasan” yang harusnya tunduk kepadanya, karena mereka sekarang adalah rakyat yang dipimpinnya. Sayangnya pengaruh Megawati cukup kuat dan Jokowi terlalu takut dengan sang bunda yang berjasa menghantarkannya ke kursi kepresidenan.
Jokowi kini ada di persimpangan. Di antara kepentingan rakyat dan kepentingan partai. Rakyat yang dulu kepadanya ia berjanji di masa kampanya, rakyat yang dulu dan hingga kini masih percaya kepada pilihannya. Kepercayaan dari mereka yang harus dijaga dan dipertanggung jawabkan olehnya. Atau ia akan kalah dengan kepentingan partai yang dulu juga sama-sama mengkampanyekan hal yang sama kepada dan untuk rakyat yang sama. Massa yang sama yang mendukung Jokowi dan PDIP. Jokowi kini ada di antara dua persimpangan. Dua hutang yang sama-sama harus dibayar lunas olehnya. Pertama “hutang” kepada partai pengusngnya karena ia telah didaulat menjadi presiden. Kedua hutang kepada rakyat yang berhasil diambil hatinya. Hutang yang mana yang pertama harus dia lunasi tentu bergantung pada seberapa besar keberanian yang dia miliki untuk bertindak.
Jika Jokowi akan memilih membayar hutang terhadap partai, maka ia menghianati dirinya sendiri dan rakyat Indonesia. Namun jika ia memilih membayar hutang kepada rakyat, maka terbuktilah ia adalah pemimpin yang ketegasannya tidak diragukan. Bahkan jika mungkin ia keluar dari PDIP seperti yang dilakukan oleh Gubernur DKI, Ahok. Dengan tegas Ahok mengatakan kalau partai tidak lagi lagi mengutamakan kepentingan rakyat, maka ia harus meninggalkan partainya. Bagi Ahok, alasan untuk tetap bertahan di partai adalah, jika mereka memiliki perjuangan yang sama, visi yang sama yaitu untuk kepentingan rakyat.
Harusnya Jokowi berani mengambil tindakan yang sama, karena sebelumnya Jokowi dan Ahok bisa dikatakan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dua pemimpin yang patut dipercaya karena mereka memperjuangkan kepentingan rakyat. Jokowi harusnya tidak kalah dengan Ahok. Jokowi masih memiliki kekuatan, ia bukan minoritas, sedangkan Ahok yang notabene dicap sebagai orang “double minoritas” berani tegas karena kebenaran. Terbukti, meski dulu banyak yang mengancam bertahannya jabatan Ahok sebagai Gubernur, namun sampai sekarang ia tetap menjadi kepala daerah DKI. Sebab menurutnya jika ia memang di pihak yang benar, maka pasti akan didukung, karena ia percaya masih banyak pejabat partai di DKI yang memiliki hati nurani. Sudah saatnya pak Jokowi menunjukkan ketegasannya. Jangan kalah sama Ahok. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H