Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab I

Pindah Rumah

Udara dingin menyelimuti tubuhku, seiring kurasakan jari - jemariku gemetar. Hembusan angin, membawa aroma tanah basah akibat embun menusuk indera penciumanku. Keharumannya menerawang kalbu, sungguh menghipnotisku dan memberikan ketenangan hingga menembus ke permukaan dinding paru - paruku. 

Langkahku gontai menyusuri jalan setapak yang sangat asing bagiku. Pijakanku menyebabkan bunyi ranting dan daun kering bertalu - talu dikeheningan suasana pedesaan nan asri. 

Sinar mentari dengan giatnya berusaha menyelinap masuk ke dalam hamparan hutan belantara untuk menyampaikan fungsinya dalam prosesi fotosintesa untuk setiap pepohonan besar maupun kecil yang tumbuh liar di seantero hutan yang dikendarai oleh sang penguasa alam raya ini. 

Suara merdu burung – burung aneka warna nan mempesona melambaikan sayap – sayap kecilnya dan mengundang kemeriahan habitat di hutan liar ini, sepertinya mereka ingin ikut serta mengiringi perjalanan santaiku pagi ini.

Kesemarakan bunga – bunga cantik mempertontonkan kemolekannya, menonjolkan duri, daun dan batangnya yang hijau kecoklatan dengan riang gembira memukau setiap kupu-kupu dan lebah untuk hinggap dan menghisap madunya, keelokannya merupakan sebuah karya tangan sang pencipta yang tidak dapat disejajarkan dengan hasil yang dikerjakan oleh tangan manusia sekalipun. 

Gemericik aliran sungai yang damai mengundangku untuk mendekatinya dan berinteraksi dengan habitat di sekelilingnya. Ikan – ikan ikut menari menyombongkan siripnya dan kelenturan tubuh mereka dalam menyelam. 

Sesekali mereka melompat keluar dengan lincahnya dari dalam air untuk sejenak mengucapkan terima kasih atas kehidupan yang diberikan oleh sang Khalik atas pagi yang cerah ini.

Ya, hari ini adalah kepindahan kami ke sebuah desa terpencil bernama Banyumanis,  karena ayahku dipindahtugaskan oleh instansinya. Rumah baru yang kami tempati, terletak di tengah desa. 

Memiliki pekarangan yang luas. Rumah ini seperti perpaduan model rumah Jawa dengan sentuhan unsur Belanda klasik. Dengan balutan cat berwarna biru laut, dihias beberapa pasang jendela bergaya Belanda kuno. 

Rumah ini berukuran sedang dan memiliki 2 lantai. Gentengnya masih menggunakan genteng edisi lama berwarna merah yang hampir pudar namun tersusun sangat rapi. Memiliki kebun kecil di bagian belakang dan sebuah lahan kosong kecil yang biasa dipakai sebagai tempat jemuran. 

Rumah ini terlihat simple dari luar tetapi memiliki kerumitan di dalamnya. Tidak ada yang bisa menebak bahwa setiap lekuk – lekuk di dalam rumah ini menceritakan sebuah rahasia yang ingin digali. 

Di dalam ruang tamu, terpampang sebuah lampu gantung yang sangat unik, langit-langitnya memiliki ukiran khas jawa seolah – olah rumah ini dulunya didiami oleh keluarga ningrat, lorong-lorongnya terlihat gelap namun bernuansakan bangunan kuno karena terlihat dari kayu-kayu plitur yang memanjang, keluaran zaman penjajahan Belanda. 

Setiap ruangan berukuran sedang, dari kamar ayahku, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kamarku. Dan setiap ruangan memiliki ukiran, lekuk, plinth dan langit - langit yang bercorak unsur Jawa yang kental dipadukan dengan model rumah Belanda klasik. Bahkan setiap anak tangga dan bentuk kamarku pun dihiasi dengan beberapa ornamen khas kejawen.

Ayah pernah menceritakan padaku, bahwa ia sudah lama mengincar rumah ini untuk menjadi salah satu kandidat rumah yang akan kami tempati, selama penugasannya di desa. Ayah telah menghubungi beberapa rekannya yang sudah mengetahui bahwa rumah ini akan dijual.

Ayah memang lebih senang, untuk membeli rumah daripada menyewanya. Karena menurutnya, bisa menambah asset sebagai media untuk berinvestasi. Sudah kuhitung jumlah rumah yang ayah miliki lebih dari dua puluh rumah dan semuanya dijadikan lahan untuk dijadikan kost-kostan atau rumah kontrakan. 

Dalam usia mudanya, ayah bisa dibilang sangat sukses dengan penghasilan yang tidak sedikit. Dari sekian banyak rumah di desa ini, akhirnya rumah inilah yang dipilih oleh ayah dan aku. Aku sangat menyukai model rumah ini. Rumah ini mengingatkanku pada rumah pertama kami. 

Di mana aku, ayah dan ibu masih tinggal satu rumah. Semuanya nyaris sama dengan ingatanku beberapa tahun lalu, sewaktu aku masih kecil. Walaupun aku masih kecil saat itu, namun ingatanku sangatlah kuat. Mungkin dengan tinggal di rumah ini akan mengembalikan keindahan masa-masa indah dulu.

Jujur saja, sebenarnya aku tidak terlalu setuju dengan kebiasaan ayah yang pindah – pindah tugas, tetapi kami tidak punya pilihan untuk hal ini. Ayah harus survive and struggle for our life. Karena dengan perpindahannya, aku harus beradaptasi lagi di lingkungan dan sekolah yang baru. 

Terkadang aku berpikir, kenapa ayah menerima tawaran atasannya untuk ditempatkan di daerah terpencil seperti ini. “ Apa sih yang ayah cari. ” ucapku pelan. Aku sangat membencinya bila ia tetap menuruti apa kata bosnya, oleh sebab itu aku kabur di hari pertama kami tiba di desa ini. 

Aku marah karena harus menuruti kemauannya terus – menerus. Disaat aku sudah punya beberapa teman baik, aku harus meninggalkan mereka. Ditambah lagi, tidak mudah untuk menemukan teman – teman yang baik di sekolah. Terkadang aku di bully dan di siksa oleh teman – teman yang suka menindas. Puncak kekesalanku pada ayah adalah ketika kami terlibat pertengkaran yang cukup serius. 

Dan yang membuatku lebih kesal adalah ayah membentakku dan mengatakan padaku bahwa suka atau tidak suka, aku harus ikut apa yang ayah katakan. Ayah tidak pernah memikirkanku, pikirku. Yang ayah perdulikan hanya pilihan dan pekerjaannya saja. Mungkin aku hanyalah nomer kesekian untuknya. “ Seandainya ibuku ada di sini, ia pasti tidak akan membiarkanku seperti ini? “ Ucap diriku pelan. 

Masa bodohlah dengan semua itu, aku tidak perduli ! “ Ucapku marah. Dengan senyuman sinis, aku merasa sangat puas, pasti ayahku sedang sibuk mencariku saat ini. Biar saja, pikirku

Oke, ada baiknya aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Nama lengkapku Rifki Putra Sastranegara, teman dan keluargaku pada umumnya memanggilku dengan sebutan Rifki atau Putra, usiaku 11 tahun, tinggiku 167 cm, kulitku lebih terang dari ayah, mungkin karena aku membawa gen dari ibuku yang kulitnya sangat putih, aku memiliki sebuah tanda lahir berupa tahi lalat kecil tepat di tengkukku, aku menyukai pelajaran Sejarah dan Matematika. 

Aku termasuk anak yang pintar karena selalu menjadi juara kelas. Aku orangnya penakut, egois, manja, agak cengeng tetapi menyukai sesuatu yang bisa meningkatkan adrenalin terutama yang berhubungan dengan hal – hal mistik. 

Satu lagi, orang-orang sering bilang wajahku mirip dengan Aliando Syarif, salah satu pemeran utama sinetron di televisi swasta kenamaan berjudul Ganteng- ganteng serigala. Tapi aku tidak merasa demikian, aku hanyalah seorang anak biasa, yang tidak terlalu menarik. 

Menurutku hal yang menarik tentang diriku, bahwa sewaktu lahir ke dunia ini aku terbungkus oleh kulit atau sarung ketuban dari rahim ibuku dan menurut kepercayaan orang – orang zaman dulu, dengan kondisi kelahiran seperti itu, aku bisa melihat mahkluk halus. 

Hal inilah yang membuatku tertarik pada cerita - cerita seram dan hal itu pula yang sering membawaku pada masalah. Karena arwah - arwah gentayangan itu sering merasa terganggu dengan kehadiranku dan tidak sedikit dari mereka yang ingin menyakiti atau menakut-nakutiku.

Ayahku bernama Hamid Aidil Sastranegara, biasanya rekan - rekan kerja ayah memanggilnya Hamid, usianya 35 tahun, ayah memiliki tinggi badan 189 cm, kulitnya coklat, tubuhnya atletis. Aku merasa bahwa ayahku adalah ayah paling keren di dunia ini dan ia sangat berwibawa, bila aku bandingkan dengan ayah - ayahnya temanku. 

Aura dan kharismanya luar biasa terutama kalau ayah diminta untuk memberikan sambutan pada acara - acara penting. Ayah adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang setiap satu tahun sekali akan dipindahtugaskan ke salah satu tempat di wilayah Republik Indonesia, ia baru memperoleh gelar Masternya di bidang Ilmu komunikasi, ia sangat tampan dan terlihat sangat cerdas, olahraga lari adalah salah satu hobbynya. 

Dan satu lagi ia adalah teladanku. Aku ingin seperti dia, walau terkadang aku sering terlibat pertengkaran dengannya tetapi aku sangat menyayanginya. Aku adalah satu-satunya anak dikeluargaku. Aku berpikir mungkin karena aku adalah anak tunggal, membuatku sulit berinteraksi dengan ayah karena sifatku yang terlalu egois. 

Aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Ayah telah bercerai dengan ibu sewaktu aku berusia tujuh tahun, karena ayah mendapati ibuku berselingkuh dengan teman kantornya.

Nama lengkap ibuku adalah Adelita Chyntia Ramadhania, dan biasa dipanggil Lita. Tinggi ibu hampir sama denganku yaitu 166 cm, usianya 30 tahun, ia sangat cantik, kulitnya putih bak batu pualam, perfectionist dan senang mengenakan busana muslim trendy. Ibu berasal dari keluarga yang sangat kaya - raya, ia selalu merasa bahwa ayah tidak bisa mengimbangi kehidupannya yang high class. 

Ibu senang menghabiskan waktu berlibur ke luar negeri dengan teman-teman collegenya, ia senang hanging out dengan teman - temannya di café atau club mewah tempat selebriti - selebriti menghabiskan waktu. 

Perbedaan yang sangat signifikan itu juga yang menjadi salah satu penghalang bagi hubungan ayah dan ibu, puncaknya adalah sewaktu ibu dan ayah berencana untuk menikah. Rencana pernikahan itu mendapatkan pertentangan yang keras dari keluarga ibuku. 

Orang tua ibuku berkata bahwa ayah bukan berasal dari keluarga yang sederajat dengan mereka, sehingga ibu dipaksa untuk meninggalkannya. Ibuku tetap bersikeras dan mempertahankannya hingga sampai ke jenjang pernikahan. Tetapi apa daya, tepat aku menginjak usia tujuh tahun, ayah dan ibuku harus bercerai. Mengesalkan dan kadang membuatku sedih.

Begitulah sepenggal riwayat keluarga kami. Setelah melalui pengadilan perceraian yang rumit dan bertele - tele, ayah memenangkan diriku dan berhak mendapatkan hak asuh sepenuhnya atas diriku. Ibuku menangis tepat di hari kemenangan ayahku. Ia berusaha naik banding untuk mendapatkan aku. 

Tetapi ibu kalah lagi dan harus merelakan aku tinggal dengan ayah. Setelah pengadilan, kami berusaha menyesuaikan diri dengan hal itu, karena memang terasa sangat berat, keputusan pengadilan pun masih memberikan kesempatan kepada ibu untuk menjengukku setiap weekend. Jujur saja, aku agak bingung dengan kondisi ini, baik ayah dan ibu selalu berusaha untuk mengesankan aku. 

Dan aku merasa, aku ada, tetapi harus membagi diriku menjadi dua untuk mereka. Padahal aku menyayangi mereka berdua. Aku ada memang untuk mereka. Mereka berdualah yang terpenting dalam hidupku.

Yah, memang karena kondisi yang mengharuskan ayah pindah - pindah tugas, membuat aku tidak bisa bertemu dengan ibuku. Menurutku, hal itupun bukan menjadi sebuah masalah untuk ibu, aku selalu merasa bahwa ibu memang tidak perduli padaku. Ia selalu memikirkan kehidupan sosialita dan karirnya. 

Dua bulan setelah perceraian ibu dan ayah, ibuku dan teman selingkuhannya merencanakan pernikahan mereka. Mereka tidak mengundang kami. Aku sangat stress membayangkan hal itu akan terjadi. Mudah sekali ibu melupakan kami. 

Apakah aku sudah tidak berarti lagi untuknya? Tepat di hari pernikahan ibu, ayahku mabuk parah sampai ia tidak sadarkan diri. Bahkan aku harus menyeret ayah ke tempat tidurnya. Keesokan paginya ayah muntah-muntah akibat tidak terbiasa dengan minuman keras yang dikonsumsinya.

Yang aku dengar tentang ibuku, saat ini ia sudah hamil tua dan akan segera melahirkan seorang bayi laki-laki. Sejak kehamilannya, ibu lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga barunya dan ibu berubah menjadi ibu yang baik hati. 

Ibu telah meninggalkan kehidupan lamanya yang terlalu berhura-hura. Intinya kehidupan keluarga ibu menjadi keluarga yang sangat sempurna. Aku sekarang menjadi seorang kakak tiri tetapi dari sisi ibuku. 

Aku tidak boleh membenci adik tiriku. Bayi kecil itu tidak bersalah. Ibu sering mengirimkan foto-foto bayinya ke aku melalui email. Dan aku sering mengeceknya melalui laptopku. Bayinya sangat lucu dan menggemaskan, mereka memberi namanya Brian Santoso. Aku memang harus melupakan masa lalu dan membiarkan ibuku bahagia dengan keluarga barunya. Hanya terkadang, tanpa sengaja tiba - tiba aku memikirkannya. Seketika itu juga aku benci terhadap ibu. Kenapa ibu lebih memilih keluarganya dibanding aku dan ayah?

Pernah suatu waktu, ibu menelepon ponsel ayah dan ingin berbicara denganku. Aku girang sekali. Aku menanyakan kabar ibu, ia menjawab baik – baik saja. Ia pun bertanya bagaimana keadaanku dan ayah? Aku mengatakan padanya bahwa kami dalam keadaan baik dan sangat merindukannya, serta sangat berharap suatu saat aku, ayah dan ibu bisa berkumpul dan bersatu lagi. Ibu menjawab, dengan nada datar sekenanya. 

Aku tidak mengerti apakah saat itu ia sedang bad mood ataukah tidak. Ia mengatakan bahwa ia tidak mungkin bersatu lagi dengan ayah. Ia tidak ditakdirkan untuk ayah, lagipula ia sudah bosan dengan ayah. “ Lalu bagaimana dengan aku, berarti bila ayah dan ibu tidak ditakdirkan untuk bersama. Berarti aku adalah bencana untuk ayah dan ibu? Apakah aku adalah musibah untuk ibu, sampai ibu bisa berkata seperti itu ? “ Aku menjawab dengan gemetar kata-kata ibuku dan aku hampir menangis.

Jujur saja, aku marah, sedih dan sakit hati mendengarkan alasannya. Aku tidak percaya akan hal ini. Aku membencinya sejak hari itu. Setiap ibu telepon untuk berbicara denganku, aku selalu menolak berbicara dengannya. Hanya sekali aku menjawab teleponnya, aku berkata lebih baik ibu tidak usah meneleponku lagi dan urus saja keluarga ibu yang baru. Aku tidak tahan akan hal ini, mengapa ibu tidak berjuang atau mempertahankan aku sebagai anaknya. 

Apakah ia tidak menyayangiku lagi? Hal inilah yang selalu membuatku sedih dan terkadang membuatku selalu merasa bad mood di pagi hari, aku tidak percaya bahwa hal seperti ini bisa menimpa aku. 

Yah, menjadi anak yang tumbuh dalam keluarga broken home, is suck. Seolah ada sesuatu yang hilang dan tanpa itu hidupku terasa tidak lengkap. Selalu ada yang kurang dalam hidupku. Iya, yang kubutuhkan adalah keluargaku menjadi utuh kembali.  

Bab II

Tersesat di tengah Hutan

Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hutan belantara hijau ditemani belukar yang mempertontonkan betapa senjanya usia pepohonan di sana. Ditambah rumah penduduk yang sederhana dan jumlahnya bisa kuhitung dengan jari - jemariku yang mungil. Entah sudah berapa kilometer aku berjalan. Lelah juga pikirku. Niatku hanya untuk bersembunyi dari ayahku, kenapa harus berjalan sampai sejauh ini. Hutan ini sangat indah, hanya saja semakin kuperhatikan, terlihat agak menakutkan karena banyak sekali pohon-pohon besar dan tua. Dapat kutaksir usianya puluhan tahun. Hampir tidak terjamah oleh tangan manusia. Kelebatan pohonnya nyaris membuat kondisi hutan ini menjadi gelap gulita. Tanaman – tanaman tumbuh dengan liarnya sesuka hatinya,

Monyet - monyet bergelantungan dari satu ranting kokoh melompat ke ranting pepohonan lainnya, menunjukkan kepiawaian mereka dalam berakrobat. Kucing hutan berlari mencari tikus-tikus tanah untuk di jadikan mangsa, sinaran mata burung elang yang terbang di hamparan luas mencari geliat kelinci - kelinci mungil di darat untuk dijadikan santapan siang bagi anak-anaknya yang masih hijau. Serangga keluar masuk batang pepohonan, mengais rezeki dan membopong mangsanya ke dalam sarang mereka. Intinya, segala binatang boleh dikata, terpenuhi segala kebutuhannya karena hutan ini menyediakan segalanya bagi mereka. Memang kaya sekali sumber daya alam di tanah air tercintaku ini, hanya saja semua sumber daya yang ada belum tereksplore secara sempurna sebagaimanamestinya. Memang hal itulah yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk menggalakkan pembangunan terus - menerus yang bukan hanya dilakukan di kota-kota besar, tetapi juga harus menembus ke desa - desa terpencil sekalipun yang belum tersentuh seperti di desa ini. Tidak heran banyak orang asing yang datang ke Indonesia mengambil sumber daya di Indonesia secara semena-mena. Padahal sumber daya itu adalah milik anak bangsa, dan kitalah yang berhak atas segala isinya yang berada di bawah naungan Republik Indonesia.  

Tanpa kusadari, kembali kupandangi sekitarku. Apa ini, pikirku. Aku mulai mengamati bongkahan batu besar diatas tempatku berdiri. Perlahan aku membungkuk dan mencoba menerka tulisan di atas batu itu. Sebuah batu yang tulisannya hampir pudar akibat dimakan usia. Batu itu bertuliskan Sariyem binti Abdulah lahir 27-05-1909, wafat 02-04-1942. Ya Tuhan, ternyata tempat ini adalah kuburan tua. Tapi dimanakah kuburan lainnya, pikirku. Kembali kulihat ada kuburan lainnya, tepat dibelakang sebuah pohon tua dan dua buah batu nisan berukuran kecil. Aku meluncur ke arah pohon tua itu dan menyusuri jalanan berbatu - batu kecil. Aku terperanjat dengan apa yang kusaksikan. Puluhan kuburan tua menantang dengan keusangan nisannya, dan memang hampir tak terjamah oleh tangan manusia. Dapat terlihat semarak rumput dan ilalang tumbuh dengan santainya menyembul liar di tengah badan kuburan. Semilir angin sepoi – sepoi menerpa diriku. Teriknya matahari menyilaukan pandanganku dan menggelontorkan butir - butir keringat disekujur pori-pori kulitku, menyisakan kelelahan yang teramat sangat hingga ke sendi-sendi tulangku. Sepatu sendalku menebal akibat kepungan tanah liat yang menempel tepat di pijakannya. Seketika bulu kudukku langsung berdiri, karena kulihat dengan jelas ada sesosok bayangan hitam yang memandangiku dari kejauhan, tetapi ketika menoleh kearahnya, tidak ada siapa-siapa disana.

Aku berjalan ke arah bayangan itu, mungkin saja bahwa sosok itu adalah penjaga kuburan ini. Bila memang ada penjaga kuburan, berarti dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik, karena kuburan – kuburan di sini tidak tertata rapi dan membujur sesuka hati tanpa adanya pengaturan yang sistematis, pikirku. Aku membersihkan tanah liat yang menempel di sepatu sendalku menggunakan pecahan keramik yang kutemukan dan beristirahat sejenak melepaskan lelahku dengan duduk di salah satu batu nisan. Tiba – tiba ada tangan yang memegang pundakku. “ Nak, kamu sedang apa di sini? “ sebuah suara dari seorang pria paru baya dari belakangku. Aku kaget dan melihat ke arahnya. Seorang pria dengan wajah membusuk dengan lendir hijau tepat di kedua matanya. Belatung – belatung berwarna krem berjatuhan dari tangannya dan menimbulkan bau anyir pada indra penciumanku. Aku bergidik ngeri, memakai kembali sepatu sendalku dan tunggang langgang meninggalkan pria mengerikan itu.  Nafasku terengah - engah, sekuat tenaga berlari sejauh - jauhnya menghindari pria tua berwajah mengerikan itu. Aku tidak habis pikir, siang-siang seperti ini ada mahkluk astral memperlihatkan wujud aslinya padaku. Menakutkan sekali, pikirku. Aku berusaha mengatur nafasku. Dan berkata pelan, “ ok Rifki kamu bisa melalui ini. Karena kamu sudah pernah mengalami hal yang lebih berat daripada hal ini. “

Langkah kakiku semakin kupercepat. Jangan sampai aku menghadapi hal – hal yang mengerikan lagi, pikirku. Tiba-tiba, aku mendengar ada beberapa orang sedang bercakap -cakap tepat di bawah bukit tidak terlalu jauh dari kuburan. Mungkin penduduk desa, pikirku. Aku mencari suara – suara itu. “ Halo, apakah ada orang di sana? “ Sahutku. Aneh, sama sekali tidak ada suara balasan. Tidak, aku harus kembali ke rumahku. Bodoh sekali aku, untuk apa aku harus berjalan jauh sampai di tempat angker seperti ini. Aku rasa orang desa inipun tidak tahu ada kuburan tua di sini. Aku berusaha kembali ke arah darimana aku datang. Tapi yang menjadi tidak masuk akal, kenapa ketika aku kembali ke arah sebelumnya, bukan jalan setapak yang tadi aku tempuh. Justru semakin banyak kuburan yang aku lihat.

Jantungku berdegup sangat kencang, nafasku terengah - engah. Aku sangat ketakutan. Langkah kakiku semakin cepat dan lebar. Semakin lama, aku mulai berlari tetapi kuburan-kuburan tua zaman penjajahan Belanda semakin banyak kulihat. Gila pikirku, kenapa bisa jadi seperti ini. Aku menengadah ke atas. Matahari sudah hampir tenggelam, sebentar lagi akan maghrib, namun aku belum menemukan jalan menuju rumahku. “ Ya Allah, aku takut sekali. Aku ada di mana saat ini? Ayah, ayah di mana? Aku takut sekali. “ Aku berkata pelan dan gemetaran. Mataku terasa panas dan aku mulai menangis karena tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Tanpa sengaja, kakiku beberapa kali terantuk batu dan jatuh hingga beberapa kali juga. Lolongan panjang serigala di desa itu membuatku merinding ketakutan.  Ada serigala di desa ini, apa ini tidak salah? Pikirku. Tubuhku terasa panas, jantungku berlomba-lomba naik turun karena panik dan rasa haus yang melanda diriku. Air mataku mengalir deras, perasaanku bercampur aduk. Inilah akibatnya kalau aku kurang ajar terhadap ayahku. “ Ayah, aku minta maaf. Aku sayang ayah? “ Ucapku pelan, sambil menangis tersedu-sedu dan terus melangkahkan kakiku.

Aku terduduk pada sebuah batang pohon yang tumbang. Aku merasakan ada sesuatu yang mengenai punggungku. Saat aku membalikkan kepalaku ke arah belakang. Ada sebuah kepala manusia yang melayang – layang di udara. Kepala itu membusuk dan mengeluarkan darah segar. Kedua bola matanya berjatuhan tepat di depanku, pipi-pipinya tersayat dan seketika ulat - ulat kecil menggeliat keluar dari kulit pipinya. Kedua telinganya mengeluarkan nanah berbau anyir. Seketika aku berteriak, “ Tidakkkkkk”. Aku berlari sekuat tenaga dan tidak menoleh ke belakang sama sekali. Aku berhenti sejenak, sangat lelah dan berusaha mengambil nafas panjang. Aku perhatikan ada sebuah kaki terlihat di tengah hutan, kaki itu sepertinya sedang berjalan. Lalu kemana tubuhnya? Pikirku. Ini gila dan tidak masuk akal, suasana petang menampilkan berbagai keanehan dan menunjukkan betapa menakutkannya desa ini, desa yang akan menjadi tempat tinggalku beberapa bulan ke depan.     

Kepalaku terasa sakit sekali. Aku berusaha bangkit di sebuah hamparan rumput hijau dan ilalang yang cukup tinggi. Kenapa aku bisa ada di sini? Pikirku. Aku memegang hidungku, dan kurasakan darah segar yang kurasakan. Memang seperti ini, bila aku panik. Pasti hidungku akan menggelontorkan butiran darah segar. Sudah malam dan tidak ada penerangan umum di desa terpencil seperti ini. Kenapa aku bisa ada di tempat ini? Pikirku. Aku harus mulai berjalan lagi untuk mencari rumahku. Aku berlari secepat mungkin. Langkahku sangat cepat adanya. Namun pekatnya malam, membuatku tidak bisa melihat apa-apa.

Aku menabrak sesuatu. Sebuah orang - orangan sawah yang sangat menyeramkan rupanya. Orang - orangan sawah itu seperti bernyawa dan sekejap mengalirkan darah di kedua matanya. Aku ketakutan setengah mati. Aku mulai berlari lagi. Itu dia, hutan yang aku lalui sore tadi. Aku masuk kembali ke dalam hutan belantara itu, menghalau tanaman-tanaman yang menghalangiku dan berharap menemukan rumah penduduk, yang mungkin bisa membantuku mencari rumahku. Tetapi, itu semua sia-sia. Tidak satupun kutemui rumah penduduk. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang memegang pundakku, saat aku berbalik. Aku melihat seorang anak setinggi aku dengan wajah rata tanpa mata, hidung ataupun mulut. Tangannya membusuk penuh nanah dan campuran darah segar dengan tulang – tulang rangka yang nyaris terlihat. Ia memegang sebuah batu dan menghantamkannya pada tengkukku. Seketika itu juga aku terjerembab jatuh di hadapannya.

Aku memegang tengkukku karena terasa sakit sekali, saat aku sadarkan diri. Aku melihat sekitar, ternyata aku berada di atas tempat tidurku. “ Thanks God, “ ucapku girang. Ternyata aku hanya bermimpi. Aku bangkit dari tempat tidurku, membuka pintu kamarku dan menuruni anak tangga. Aku melihat banyak orang di lantai bawah. Mereka terlihat sangat kaku, wajah mereka berwarna biru. Aku merasa bahwa mereka sangat aneh dan aku yakin mereka bukan manusia. Lebih tepatnya, mereka adalah mahkluk halus. Siapa mereka? kenapa tiba-tiba ada di dalam rumahku? Aku berteriak-teriak. “ Halo-halo. “ Sambil melambaikan tangan tepat di wajah - wajah mereka. Tetapi percuma, tidak ada satupun yang mendengarkan dan memperhatikanku. Apakah aku sudah menjadi bagian dari mereka, pikirku. Jujur saja aku ngeri melihat pemandangan seperti ini ada di dalam rumahku. Wajah mereka sangat menakutkan. Aku berusaha melewati mereka, menyusuri lorong dan masuk ke kamar ayahku. Di dalam kamar, ayah bersender di tempat tidurnya. Ayah terlihat lebih pucat dari wajah mereka. Tiba – tiba tubuh ayah terangkat ke atas dan melayang – layang ke langit. Dari kaki dan pahanya keluar cacing-cacing pita yang sangat menjijikkan dan berbau busuk. Sambil menegadah ke atas. Aku berteriak, “ Ayah, ayah kenapa? Ayah, mengapa ayah seperti ini? “ Teriakku.

Tiba – tiba pintu kamar ayah terbuka, orang-orang yang berwajah pucat itu datang memegang aku, satu persatu tangan – tangan dan kaki – kaki mereka lepas dari tubuh mereka. Wajah dan tubuh mereka mengeluarkan nanah dan darah segar, ulat-ulat keluar dari mata mereka. Beberapa potongan tubuh mereka mengenai diriku. Aku tidak sanggup lagi. Aku berteriak minta tolong. Supaya siapapun yang mendengarku di luar sana untuk menolongku. Tiba – tiba aku pingsan. Sesaat aku mulai sadar, aku bangun ternyata aku masih berada di tengah hamparan rumput hijau. “ Oh God, ternyata aku masih tersesat dan aku sendiri tidak tahu ada di mana sekarang. “ ucapku panik. Aku harus bangkit, walaupun sekujur tubuhku lemas dan aku sangat kelelahan. Lalu aku berlari sekencang-kencangnya. Tidak mau menoleh ke belakang. Hanya berlari saja.       

Sumber: www.99.co
Sumber: www.99.co

Bab III

Menemukan Rumah

Aku mulai mencari-cari jalan setapak yang tadi kulalui. Entah berapa kali, ranting - ranting kecil melukai betis dan kakiku. Aku terlihat sangat kotor dan menjijikkan. Tangan dan kakiku dipenuhi luka, goresan dan darah yang hampir kering menemani basahnya tubuhku. Aku tidak kuat, karena haus yang teramat sangat. Aku terjatuh dan menabrak sebuah sumur tua, bajuku terkait di bibir sumur. Aku mencoba bangkit, pakaianku robek seketika. Tidak dapat kugambarkan kondisiku saat ini. Pakaianku sudah tidak berbentuk, robek di bagian perut dan noda akibat tanah, lumpur sudah menempel di tubuhku. Aku tidak perduli. Yang aku pentingkan saat ini, aku harus menemukan rumahku dan minta maaf pada ayah.

Dari kejauhan nampak samar, aku merasakan bahwa rumahku sudah dekat. Biasanya feelingku kadang benar. Walaupun pekatnya malam menghalangi pandanganku, aku menerobosnya tanpa henti. Berlari dan terus berlari. Aku lelah dan penuh ketakutan akan situasi alam yang masih sangat baru disekitarku. Aku berhenti sejenak, aku merasakan ada seseorang menguntitku. Sepertinya seorang anak kecil. Aku menoleh ke belakang, tetapi tidak melihat siapa-siapa di belakangku. Lalu aku melihat ke depan lagi. Sekonyong- konyong sebuah potongan kepala sampai ke perut menghadang tepat di depanku, tubuh itu sepertinya bekas potongan. Darah dan luka di seluruh kepala dan badannya. Kepala itu tidak berbentuk, luka bacokan tepat di dahinya. Ia menangis dan minta tolong kepadaku. Aku bergidik ngeri, aku menghindar dari potongan tubuh itu, meninggalkannya dan berlari kembali. Aku ketakutan dan tidak kuasa untuk berdiri. Aku terjatuh dan terjerembab pada sebuah kubangan kotor tempat makanan ternak. Ada makanan ternak, pikirku, berarti ada rumah penduduk di sekitar sini. Aku mulai mencari – cari dalam kegelapan. Terus berlari menerjang kegelapan. Iya, itu dia rumahku. Aku berlari sekencang-kencangnya. Masuk ke rumahku. Pintu tidak terkunci. Aku mulai membuka pintu dan mulai berteriak.

“Ayah, ayah di mana ? ” Tidak ada suara balasan.

Apakah ayah sedang mencariku saat ini? Pikirku. Aku takut sekali di rumah sendirian. Kukunci pintu, melewati ruang tamu menuju lorong ke arah ruang makan, mengambil gelas, menuangkan air dari teko di atas meja makan dan menghabiskan 2 gelas air putih untuk menghentikan dehidrasi berkepanjangan yang aku rasakan sejak siang tadi. Aku menyalakan beberapa lampu teras dan ruang makan. Kunaiki anak tangga dan langsung menuju kamar mandi, kunyalakan shower lalu membersihkan tubuhku. Kulitku terasa sangat perih dan ngilu, terutama akibat luka – luka kecil di tangan, sekitar kakiku dan betisku. Kudengar pintu terbuka. “ Siapa disana? “ Teriakku. Kukeringkan tubuh dan mengenakan pakaian bersih. “ Rifki, ini ayah! “ Teriak suara dari balik pintu. Aku mengeringkan tubuhku, mengenakan pakaian bersih dari lemari, menjemur handukku. Lalu aku buka pintu kamar, menuruni anak tangga, menyusuri lorong dan menuju pintu ruang tamu. Aku buka pintu dan langsung memeluk ayahku.

“ Kamu ke mana, sayang? Ayah mencarimu dari sore tadi. ” Ucap ayahku dengan nada tinggi. Ayah langsung memelukku dan mengatakan, “ kamu tidak apa-apa sayang? “ Aku mengangguk. Kemudian ia mengatakan padaku bahwa, ia tidak akan memaafkan dirinya bila terjadi sesuatu pada diriku. Ia mengatakan dengan lembut bahwa ia sangat menyayangiku.  “ Maafkan aku ayah. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. “ Dan aku mengatakan perlahan, “ aku juga sayang ayah. “ Ayah memeriksa tubuhku dan melihat beberapa luka di tubuhku. “ Kamu kenapa sampai mendapatkan luka - luka seperti ini? “ Ungkap ayahku. Aku membalasnya, tadi aku terjatuh dan luka - luka itu akibat ilalang dan ranting pohon yang tajam. “  Ayahku berkata, “ kamu tidak bohongkan sama ayah? “ Ia menyusuri lorong dan menuju dapur. Mengambil sebuah wadah diisi air panas yang ia ambil dari dispenser, mengambil obat antiseptik dari kotak P3K di rak bergantung khusus obat di ruangan pemisah antara dapur dan ruang makan, lalu menuangkan obat itu secukupnya, kemudian mengambil beberapa kapas. Ayah kembali menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Ia duduk di sampingku di sofa. Lalu ayah membersihkan luka-lukaku dengan lembut lalu mengoleskan cairan obat antiseptik di tempat luka - lukaku.

Lalu, ayah menuntunku ke ruang makan. Ia telah membeli soto betawi di dekat perkampungan sebelah. Kami menyantap makan malam dan mengobrol berdua. Ayah mengatakan bahwa aku sudah bisa masuk semester baru di kelas lima. Di Sekolah Dasar Negeri dua mulai bulan depan. Itu artinya tiga minggu dari sekarang, pikirku. Aku mengangguk padanya dan berkata “ Baik ayah. “ Selesai makan, aku mencuci piring kotor kami. Lalu, aku segera menyusuri lorong, menaiki anak tangga dan menuju kamar tidurku di lantai dua. Aku menggosok gigi, cuci muka dan kakiku. Kemudian aku Membuka pakaianku dan menggantinya dengan piyama biru muda kesukaanku. Aku melihat bayangan gelap dari luar yang seolah masuk ke kamarku. Huffffttttt, aku menarik nafas panjang, ternyata hanya bayangan ranting pohon kering di area kebunku. Segera aku menutup gorden jendelaku. Sejenak aku berpikir, bukannya aku tadi sudah menutup gorden kamarku, kenapa bisa terbuka lagi? Pikirku.

Ukuran kamarku tidak terlalu besar, di dalamnya ada sebuah tempat tidur terbuat dari kayu jati dengan pahatan seni tinggi ala Jepara. Sebuah lemari tua agak besar berwarna kecoklatan dengan gagangnya yang hampir lepas, lemari ini cukup kokoh. Di dalamnya aku menyimpan pakaianku, buku komik dan tentu saja mainan-mainan kesuakaanku. Di dinding atas, tepat menghadap tempat tidurku ada sebuah lukisan indah bergambar pemandangan yang menceritakan tujuh bidadari yang turun dari khayangan. Aku selalu mengganggap bahwa lukisan itu seperti sungguhan, karena goresan kuas dengan catnya membuatnya seolah – olah nampak hidup. Seakan bergerak menyesuaikan ritme kehidupan yang nyata. Ada sebuah meja belajar, yang di atasnya berserakan buku - buku dan laptop kecil pemberian ibu. Lalu sebuah jemuran kecil tepat di sebelahnya tepat di samping pintu kamar mandi. Iya, kamar mandi ini terletak di sebelah kanan pojok di dalam kamarku. Ayah memilih rumah ini, karena ada kamar mandi ini yang memudahkan aku untuk buang air kecil di malam hari, karena aku tipe anak yang mudah sekali buang air kecil. Haha lucu sekali, pikirku. Ayah masuk ke kamarku dan segera duduk di pinggir tempat tidur. Dan menarik selimutku menutupi diriku sampai ke pinggangku dan mencium keningku. Aku berkata padanya. “ Ayah, kalau aku takut, bolehkah aku tidur bersama Ayah. Aku merasa masih sangat asing dengan lingkungan baru dan rumah ini. Boleh ya yah? “

“ Masak jagoan ayah takut tidur sendirian. “ ucapnya sambil tersenyum. 

“ Baiklah yah, aku berani kok. Aku akan menunjukkan padanya kalau malam ini, aku bisa tidur sendirian. “ ucapku sambil membela diri, bahwa aku berani. Waktu menunjukkan pukul 23.30. Aku tidak bisa memejamkan mataku. Selain karena takut, menurutku rumah ini agak menyeramkan. Aku buka pintu kamarku dan berlari menuruni anak tangga lalu menuju kamar ayah. Aku mengetuk kamarnya dan berkata, “ ayah, aku mau tidur sama ayah. Aku takut, yah. “ Setelah lima menit aku mengetuk, akhirnya ayah membukakan pintu dan kulihat matanya yang terlihat sangat lelah. Kemudian Ia berkata, “ ya sudah tidur sama ayah lagi, tapi kamu jangan berisik ya. Ayah besok harus berangkat pagi – pagi sekali. “ Ucap ayahku dengan suara datarnya. Aku berlari dan melompat di tempat tidur ayahku, karena senang. Ayah lalu mendekapku dari belakang dan berkata “ Selamat tidur sayang. “ Walaupun sudah bersama ayahku, aku tetap tidak bisa tidur. “ Aku haus yah. Yah, ayah dengar aku tidak sih “ Ucap diriku pelan. Tapi ayah sudah terlelap sangat pulas dan mungkin sudah bermimpi entah kemana. Terpaksa aku harus ambil minum sendiri. Bunyi deritan tempat tidur extra large kayu jati ayahku terdengar jelas ketika aku turun dari tempat tidur itu. Aku membuka pintu kamar. Melihat sekeliling gelap gulita dan yang kudengar hanya suara jangkrik di luar. Ubin marmer berukuran 60 x 60 menjadi saksi bisu perjalananku menuju ruang makan. Aduh, gelap sekali, Pikirku. Ayah selalu saja mematikan lampu. “ Tidak tahu apa, kalau anaknya ini penakut. “ Ucap diriku pelan.

Sumber: exofanfictionindonesia.wordpress.com
Sumber: exofanfictionindonesia.wordpress.com

Bab IV

Kejadian – kejadian aneh

Lalu aku mendengar ada suara anak kecil sedang menangis. Apa aku tidak salah dengar, mana mungkin ada tangisan anak kecil di tengah malam seperti ini. Lagipula, hanya ada satu rumah di tengah hutan ini, yaitu rumahku. Jarak rumah tetanggaku saja berkisar dua puluh – tiga puluh meter. Bagaimana bisa? Pikirku. Aku penasaran dan berusaha mencari arah suara itu. Aku melewati beberapa keramik - keramik buatan China & Timur Tengah koleksi ayahku dan perlahan menyusuri lorong menuju ruang makan, aku ambil gelasku dan menuangkan dua kali ke dalam gelas karena haus yang melanda. Kemudian kudengar kembali tangisan itu dan semakin jelas di dapur. Begitu sampai dapur, suara itu berangsur-angsur hilang. Tetapi kemudian, tangisan itu muncul kembali dan tanpa sengaja, aku menginjak salah satu ubin dan seketika itu juga terbukalah sebuah pintu rahasia. Ruang apa ini, pikirku.

Perlahan, aku beranikan diri memasuki ruang yang gelap itu. Ruangan itu sangat pengap, penuh debu dan dihiasi jaring-jaring hitam laba-laba. Aku terbatuk – batuk untuk menyesuaikan diri dengan minimnya udara di ruangan bawah tanah itu dan berusaha menghalau debu menggunakan tangan, yang mencoba menyelinap ke indera penciumanku. Serangga - serangga berjalan kian kemari seolah - olah ada pesta makanan di ruangan gelap itu. Aku kembali ke dapur dan mengambil senter di lemari gantung yang berada di dapur. Kemudian turun kembali ke ruangan bawah tanah yang baru saja aku temukan. Aku menyenteri ruangan itu. Tangisan anak itu kembali terdengar. Aku menuruni anak tangga kembali dan sudah kuhitung ada tiga ratus anak tangga ke bawah. Sambil terus menuruni anak tangga. Aku sejenak berpikir, tempat apa ini. Apakah rumah ini dijadikan tempat penyiksaan saat Belanda menjajah Indonesia? Pikirku. Aku sampai pada ruangan di bawah tanah. Ruangan itu indah, ada kolam kecil di tengahnya. Ornamen bergaya Belanda terukir indah disetiap sudutnya. Ruangan bawah tanah ini bahkan lebih indah dan kokoh daripada rumahku. Ada sebuah lukisan bunga tulip berwarna oranye terpampang indah di dekat pusaran air mancur di dekat kolam. Sepertinya tempat ini menyimpan sebuah rahasia sejarah, pikirku. Aku berusaha menemukan suara anak kecil yang menangis itu. Tetapi tangisan itu berangsur - angsur menghilang, tidak ada siapa-siapa di sana. Tiba - tiba aku mendengar ada suara kaki melangkah, Aku menoleh ke belakang, mencari arah langkah kaki itu. Aku berkata “Siapa di sana! Ayah, apakah itu ayah? “

Aku mulai ketakutan, aku mulai menaiki anak tangga. Aku tidak sanggup, jumlah anak tangga ini terlalu banyak. Keringatku bercucuran, aku menaiki anak - anak tangga tanpa henti. Saat aku menaiki anak tangga, aku merasakan ada seorang pria yang ikut juga menaiki anak tangga, pria itu batuk tiada henti, aku merasa kasihan. Aku hanya tak habis pikir, mana mungkin ada kehidupan di ruang bawah tanah yang seperti kota mati ini. Ini pasti hanya mahkluk - mahkluk tak kasat mata yang hanya ingin menakutiku. Pria itu dalam sekejap sudah berada di depanku. Aku kaget setengah mati dan Ia memegang baju piyamaku. Tangannya penuh cairan hijau, wajahnya melepuh dan kedua bola matanya hampir keluar. Pria itu meminta pertolonganku. Lututku gemetaran, jari tanganku tak kuasa untuk melepaskan tangannya yang menarik piyamaku. Ya Allah, apa yang akan terjadi padaku di sini, pikirku. Hampir beberapa anak tangga lagi aku tiba di atas, akhirnya aku sampai juga di anak tangga paling atas. Tetapi seketika pintu ruangan bawah tanah itu tertutup. Aku berteriak, “ tidaaakkk! ”

Aku berteriak, “ ayah, ayah, apakah ayah mendengarku? ” Aku memukul pintu ruang bawah tanah berulang- ulang. Aku menangis tersedu - sedu dan berulang kali memanggil ayahku. Senter yang aku pegang hampir padam, sepertinya baterenya sudah suak. Aku merasakan ada bayangan dan beberapa kali melihat ada orang dengan tatapan tajam menatapku. Indra penciumanku seketika merasakan adanya aroma busuk di sekitarku dan dari atap tempatku berdiri, berjatuhan belatung dan ulat – ulat dan sebuah tubuh manusia jatuh tepat di atasku. Aku berteriak, “ tidakkkkk.” Aku ikut jatuh karena tertiban oleh tubuh itu. Aku perhatikan tubuh itu telah membusuk dan hampir terlihat tengkoraknya. Aku menangis karena takut, jantungku naik turun dan bulu kudukku merinding. Dalam kondisiku penuh ketakutan, aku tiba-tiba tak sadarkan diri.

“ Rifki, bangun nak. “ Ucap ayahku dengan lembut.

“Ayah, ayah kenapa ada di sini? Ayah temukan aku di mana? Apakah ayah yang menggendongku ke kamar? ” Sahutku.

“ Tidak sayang, kamu memang tidur di sini semalaman sama ayahkan.” Lirih ayahku.

“ Tidak ayah, aku semalam terkunci di ruang bawah tanah. Mari ikut aku, akan aku tunjukkan ruangan itu. ” Ucapku.

“ Tidak sayang, simpan ilusimu kali ini dan jangan mengarang cerita karena ayah tidak punya waktu untuk itu. Ayah sekarang harus mandi. Ayah ada meeting di kantor. “ Kata ayah tanpa memperdulikan ucapanku.

Ayah berdiri menuju kamar mandi. Aku kesal, karena ayah tidak percaya padaku. Lalu aku terperanjat dengan kondisi piyamaku. Apa ini ada lendir hijau, berarti kejadian kemarin memang benar - benar nyata. Aku merasa pusing karena memikirkan aroma busuk yang aku hirup semalam. Aku turun dari tempat tidur ayah, keluar dari kamarnya lalu menyusuri lorong dan menaiki tangga menuju kamarku. Menyambar handukku dan menuju kamar mandi dan menyalakan shower. Aku membersihkan tubuhku dengan detail, karena aku tidak sengaja bersentuhan dengan pria yang batuk dan di tangannya penuh dengan lendir hijau menjijikkan itu. Setelah selesai membersihkan diri, aku keluar kamar. Menuruni anak tangga dan melewati lorong sebagai perantara ruang makan, ruang tamu dan kamar ayahku. Kemudian menuju kamar ayahku. Menunggunya ganti pakaian. Aku harus menunjukkan pada ayahku kejadian ini. Aku tidak bisa tinggal diam, pikirku. Ayah telah siap dengan seragam coklatnya. Ia baru saja mencukur kumis tipisnya. Itu lebih baik, karena terkadang ia terlihat menyeramkan dengan kumisnya itu, pikirku.

“ Ayah ada yang mau aku tunjukkan pada ayah. “ Aku berkata. Aku menarik jari-jari tangannya yang kasar dan kokoh, kemudian keluar dari kamarnya, menyusuri lorong dan mengajaknya menuju dapur. Sesampai di dapur aku berdiri tepat di atas ubin dan menginjak ubin coklat yang dapat memicu pintu rahasia ruang bawah tanah terbuka. Aku injak sekali, tidak ada tanda apa-apa. Sekali lagi, ternyata tetap sia-sia saja. Tidak ada yang terbuka. Apakah aku bermimpi semalam, pikirku.

“ Ini benar ayah, seharusnya pintu ini terbuka. “ Ucapku.

“ Tidak ada pintu ruang bawah tanah, sayang. Ayo kita sarapan. “ Kata ayahku. Ayah memegang tanganku dan mengajakku ke ruang makan

“ Tapi ini, benar Yah. Aku tidak bohong “. Aku tetap berusaha meyakinkan ayahku. Tetapi ayah tidak perduli, segera Ia mengambil nasi dari rice cooker dan mengambil satu telur mata sapi dari sebuah piring ceper. Aku langsung berkata, “ aku tidak lapar. “

“ Rifki, ayah tidak punya waktu untuk omong kosong kamu ya! Ayah ada meeting pagi ini! “ Bentak ayah. Aku kesal dan merasa tidak bersemangat. Memang sih aku lapar, tapi masih sedikit kesal sama ayah. Dengan ogah - ogahan aku menimba nasi dari rice cooker dan mengambil dua telur mata sapi kesukaanku yang sudah disiapkan ayah. Ketika asyiknya aku dan ayah menyantap sarapan. Aku melihat sekelebat bayangan di ruang tamu. “ Siapa disana! “ Aku berteriak. “ Kenapa Rifki, tidak ada apa – apa disana. Ayo lanjutkan sarapanmu. “ Ungkap ayahku.

“ Tapi, tadi aku lihat ada bayangan di ruang tamu yah. “ ucapku keras. Ayah hanya melihatku agak lama dan menunjuk ke arah makananku supaya aku segera menghabiskan makananku. Ayah mengambil teko transparan berisi air jeruk hangat diisi di gelasnya dan menaruh teko itu supaya dekat dengan jangkauanku. Kemudian aku mengambil teko itu dan mengisi juga di gelasku. Ayah berdiri dari kursinya, menuju dapur dan menaruh piring kotornya di tempat cucian piring. Ia kembali ke ruang makan. Memposisikan dirinya supaya sejajar dengan diriku. Ia membelai kepalaku, maafkan ayah yah tadi sudah berbicara keras sama kamu, ayo kemari peluk ayah. “ Ucap ayahku lembut.

Aku berdiri dari kursiku dan memeluk ayahku. Ayah berkata, “ ayah sayang Rifki, cuma Rifki satu-satunya harta Ayah di dunia, ayah tidak mau Rifki sedih. Jangan sedih ya sayang. “ Kemudian Ia mencium leherku bertubi-tubi

Aku kegelian dan mulai tertawa tak henti-hentinya. Kemudian aku menggelengkan kepalaku ke Ayah dan berkata, “ aku tidak sedih yah, I love you too, even more and more. “ merangkulnya dan mencium pipi ayahku. Ayah berdiri menuju ruang tamu, duduk di sofa dan mengambil sepatu boot favoritnya, yang dipadankan dengan sepasang kaos kaki hitam bergaris. Kemudian dikenakannya. Sepatu itu memang cocok untuk kerja dan juga untuk santai. Ayah membuka pintu ruang tamu dan berangkat kerja dengan menaiki motornya. Kemudian ia melambaikan tangannya padaku, akupun membalas dengan melambaikan tangan padanya.   

Aku menutup dan mengunci pintu. Lalu berjalan menuju ruang makan dan melanjutkan kembali sarapanku. Aku mengambil sambal botol dan menuangkannya di atas kedua telur gorengku. Aku mengunyah makananku kembali dan menelannya sambil memikirkan kira-kira apa yang akan aku lakukan setelah sarapan. Tiba-tiba aku mendengar ada yang buka pintu ruang tamu. “ Ayah, apakah ada yang kelupaan? “ Tidak ada suara balasan. Perlahan aku berjalan mengendap-endap menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Pintu ruang tamu dalam keadaan terbuka. Bodoh sekali aku, apakah aku lupa mengunci pintu ruang tamu, pikirku. Tidak, aku tidak lupa. Aku sudah menguncinya tadi, pikirku lagi.

Seketika aku merasa sangat lemas. Di lorong, aku melihat dua orang sedang berada di lantai, dengan kepala tertunduk ke bawah dan rambut menutupi wajah mereka. Sesekali ada angin yang mengibaskan rambut mereka. Wajah mereka terlihat sangat menyeramkan. Wajah membusuk dengan ulat-ulat menggeliat di pipi dan dahi mereka. Mereka menyeret tubuh mereka menuju arahku. Matanya merah menyala, menyorotkan kebencian dan kemarahan. Aku berusaha beranjak dari tempatku berdiri. Tetapi percuma saja, semakin kuat aku berusaha berjalan dan kabur, tetapi seperti ada yang menahan diriku supaya tidak beranjak dari sana.

Aku takut, kedua mahkluk astral itu hampir mendekatiku. Mereka menyeringai seperti ingin menyantapku. Gigi mereka berwarna hitam dan kotor. Menimbulkan aroma berbau busuk sehingga aku ingin muntah. Kedua lututku gemetaran, jantungku berdetak sangat cepat. Aku sangat mual, kepalaku pusing. Tiba-tiba aku terjatuh dan ada sebuah bayangan gelap menutupi seluruh tubuhku. Saat aku menengadah ke atas. Aku melihat seorang pria raksasa. Kepalanya saja hampir mengenai langit - langit rumah. Pria besar itu menatapku dengan tatapan kosong, matanya merah menyala. Dari jari - jarinya mengeluarkan kobaran api. Sepertinya kaki - kakinya tidak menyentuh tanah. Dari sekujur tubuhnya mengeluarkan api, dan aku bisa merasakan panas yang sangat menyengat. Karna bayangan itu seolah-olah berada dekat dengan aku. Aku berusaha menjauhi bayangan itu, tetapi bayangan itu seperti mengikatku dan membuatku tetap berdiri di sana. Pengaruh ikatan yang sangat kencang di kakiku membuatku rubuh, karena kakiku tidak mampu menopang diriku. Aku terjatuh. Perlahan aku mulai merangkak untuk menghindari bayangan itu. Karena panasnya membuatku tidak sanggup lagi. Aku berteriak, “ tinggalkan aku sendiri. “  Sekelebat bayangan itu seperti menghilang begitu saja. Aku mengehela nafas panjang, “ syukurlah. “ Lalu aku membanting diriku di sofa dan mencoba menenangkan diri.

Aku mencoba memejamkan mataku. Seketika itu juga, layar televisi menyala sendiri dan aku sontak kaget. Awalnya di layar televisi hanya berupa gambar semut tidak beraturan. Seketika, di layar televisi muncul seorang pria tua mengenakan kemeja garis-garis dengan memakai celana bahan. Lalu aku sangat panik. Ketika pria itu mengalami kejang-kejang di sertai batuk. Dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sekonyong-koyong, jari-jarinya membusuk dan tangannya lepas dari lengannya. Kaki dan pahanya lepas dari pangkal paha. Gigi-giginya berjatuhan. Bola matanya menggelinding keluar dari matanya. Mulutnya terbuka dan lidahnya memanjang keluar. Darah dan nanah keluar deras dari tubuhnya. Aku merasa ngeri sekaligus jijik dengan pemandangan yang kusaksikan dari dalam televisi.

Antara sadar dan tidak, aku melihat bahwa potongan demi potongan tubuhnya hampir keluar dari dalam televisi dan keluar dari kaca televisiku. Aku kaget, karena potongan-potongan itu benar-benar keluar dari layar televisi. Potongan demi potongan tubuh yang jatuh memenuhi ruang tamu. Ruang tamu bermandikan darah kental dan aku hampir muntah melihatnya. Aku bisa mencium aroma bau busuk yang sangat keras di ruang tamu. Aku segera beranjak dari sofa dan menuju pintu ruang tamu, berusaha lari keluar rumah. Pintu ruang tamu ini tiba - tiba terasa macet. Dan tidak bisa dibuka. Aku menggedor-gedor pintu berharap ada yang membukakan pintu untukku dari luar. Tetapi sepertinya di luar rumah lengang, tak ada orang.

Takutnya bukan main, potongan - potongan tubuh itu perlahan bergeser ke arahku. Potongan-potongan tubuh penuh dengan sayatan dan koreng mengelilingi luka - luka itu. Bau anyir, bau darah dan bau mayat busuk menyelimuti ruang tamuku. Benar-benar tidak masuk akal, bagaimana mungkin, pikirku. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku harus meninggalkan ruang tamu, aku berjalan menyusuri lorong dan menaiki anak tangga untuk menuju kamarku. Tiba - tiba pandanganku tertuju pada anak-anak tangga. Aku melihat genangan darah kental mengalir deras dari kamarku, hingga membasahi setiap anak - anak tangga. Anak tangga menjadi Licin dan membuatku hampir jatuh. Anak - anak tangga ini menjadi aliran sungai darah kental nan menjijikkan. Tiba - tiba aku menatap ke atas dan pintu kamarku, terbuka dan aku melihat seorang anak seusiaku keluar dari kamarku. Matanya sangat hitam dan darah mengalir deras dari kedua matanya. Ia melangkahkan kakinya dan berusaha menuruni anak tangga.

Pemandangan yang sangat mengerikan dan anak itu berusaha memegang pegangan tangga dengan tangan kanannya. Seketika juga, tangan kirinya lepas dari lengannya. Tangan itu jatuh tepat di atas kepalaku. Aku berteriak, “ tidakkkkk.” Aku berlari menyusuri lorong dan menuju ruang tamu, aku buka pintu ruang tamu dan ternyata, pintu itu dengan mudah terbuka. Aku berlari keluar dengan cepat dan menjauh dari rumahku. Aku berusaha mengatur nafasku dan berlindung di tempat yang agak jauh dari rumahku. Aku duduk sejenak di pos kamling desa untuk mengembalikan nafasku yang terengah-engah. Aku memberanikan diri untuk berlari kembali ke rumahku, setelah berada di luar rumah sekitar satu jam. Aku perlahan membuka pintu ruang tamu. Ya Tuhan, ternyata ruang tamuku sangat bersih, tidak ada satupun potongan tubuh manusia, pikirku. Aku masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Lalu aku berjalan menyusuri lorong dan menuju anak tangga. Ternyata tidak ada setetes darahpun yang banjir di anak tangga. Apa ini, apakah aku berilusi lagi , pikirku.

Lalu, aku menuju ruang makan mengambil piring kotorku, bekas aku makan dan menuju dapur membawa piring kotorku dan mencucinya beserta dengan peralatan masak yang ayah gunakan tadi pagi. Tiba – tiba aku melihat ada sekelebat bayangan. “ Siapa di sana ? “ Teriakku. Aku segera beranjak dari kursiku menuju ruang tamu untuk mengecek kondisi sekitar dan memastikan kembali apakah sudah mengunci pintu ruang tamu dan mengunci semua jendela. Aku kembali ke ruang makan, mengambil sepotong kue bolu yang ayah bawa semalam, menyantapnya dengan cepat. Lalu menghabiskan sisa air jeruk hangat di gelasku, kuhabiskan setiap tetesannya. Antara takut dan lapar masih menghantuiku. Jujur saja, aku tidak bisa mengunyah kue bolu itu dengan tenang, aku merasa takut dan khawatir. Setelah selesai, aku segera mencuci gelasku. Dan menaruhnya di rak piring.

Tiba – tiba aku mendengar ada yang mengetuk rumah. Oh Tuhan, siapa lagikah ini, pikirku. Aku takut sekali. Aku berjalan menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Aku mengintip dari jendela. Siapa itu, wah itu ibu. Aku langsung membuka pintu. Aku berteriak, “ ibu, bagaimana ibu bisa menemukan kami dan rumah ini.”  Ibu menjawab, bahwa ia bertanya pada instansi ayah dan menanyakan kepindahan ayah. Lalu ia mencarinya melalui internet dan akhirnya menemukan rumah ini. Aku memeluk ibu dan berkata padanya bahwa aku kangen padanya. Ibu juga memelukku. Ibu berkata bahwa ia juga kangen padaku. Aku berkata padanya, “ ibu, aku harap ibu bisa tinggal lama di rumah.” Ibu menjawab, bahwa itu tidak mungkin. Ia hanya sebentar di desa ini, karena besok ia harus masuk ke kantor lagi. Aku mengatakan banyak hal yang ingin aku ceritakan pada ibu. Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan ibu dan ayah. Ibu duduk di sofa, kemudian ia menuntunku untuk duduk di sampingnya. Ia berkata, bahwa besok adalah hari penting baginya karena meeting besok itu sangat mempengaruhi promosinya untuk mencapai posisi Finance Director. Aku berkata, ya sudah bu. Bila memang pertemuan itu penting, mungkin kita bisa berkumpul bertiga lain kali. Ibu mencium keningku. Ibu berkata sambil tersenyum, “ terima kasih sayang, kalau kamu mengerti. “

Ibu melihat keadaan sekitar, ia bertanya apakah aku betah tinggal di sini. Aku menjawab bahwa, masih terlalu dini untuk mengatakannya. Karena aku baru beberapa hari di sini. Ibu kemudian melihat-lihat sekeliling. Bertanya bagaimana dengan kamarku. Aku menunjukkan kamarku. Ia berjalan menyusuri lorong dan menaiki anak tangga, dan aku mengikutinya dari belakang. Ia melihat - lihat keadaan kamarku. Ia bertanya, apakah ayah sering mengajakku jalan - jalan. Aku berkata bahwa kami baru pindah jadi aku belum pernah jalan - jalan dengan ayah. Ibu kembali lagi menuruni anak tangga dan menyusuri lorong dan menuju ruang tamu kembali. Lalu aku berkata pada ibu, aku akan menelepon ayah. Ibu menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Ibu berkata bahwa ia tidak mau mengganggu ayah, yang mungkin saat ini sedang sibuk di kantor. “ Tapi ayah pasti akan mengerti, “ ucap diriku pelan. “ Tidak usah sayang, “ kata ibuku.

Kemudian ibu duduk di sofa dan mengecek barang bawaannya. Ia membawa beberapa plastik. Ia membawa bawaannya ke dapur dan aku mengikuti ibu dari belakang. Ibu membuka plastik itu dan mengeluarkan isinya. Ada beberapa buah segar di dalamnya. Berupa apel merah, anggur, pisang dan melon. Ibu lalu menuju dapur dan mengambil wadah buah - buahan yang ada di dapur dan meletakkan buah - buah itu di dalamnya. Ibu kembali ke ruang makan, lalu memasukkan wadah berisi buah - buahan itu ke dalam kulkas dan sisanya ke dalam plastik. Ibu berpesan padaku untuk mengatakan pada ayah, supaya ayah juga bisa mencicipi buah tangannya. Dan aku bisa mengambilnya setiap waktu, bila aku merasa lapar. Aku menggangguk.

Aku berkata pada ibu, bahwa aku tidak memerlukan barang - barang apapun. Aku tidak perduli apabila ibu akan membelikan aku barang paling mahal dan termewah sekalipun untuk aku. Yang aku butuhkan adalah kehadirannya di tengah - tengah kami, yaitu di rumah ini. Dan berkumpul kembali dengan ayah. Ibu terdiam sejenak. Sepertinya ia menitikkan airmata. Lalu ia menciumku. “ Kamu belum mengerti, sayang. Nanti tiba saatnya kalau kamu sudah besar, nanti ibu akan cerita ke kamu. “ Ucap ibuku pelan. Ia mengambil gelas dari dapur dan menuangkan air putih dan meminumnya. Ibu berkata, bahwa tibalah saatnya untuk ia berangkat sekarang. Ibu mencium keningku dengan lembut. Lalu ia berjalan menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Kemudian ibu membuka pintu. Di pekarangan rumah kami, terparkir mobil Toyota Fortuner milik ayah di bagian depan dan sebuah mobil Toyota camry keluaran terbaru di bagian belakang. Seorang pria yang kuduga adalah sopir ibu membukakkan pintu mobil dan mempersilahkan ibu untuk masuk ke dalam mobil. Aku melihat ibu, dengan air mata berlinangan dari matanya. Aku melambaikan tanganku. Aku berteriak, “ aku sayang ibu. “ Mobil itu keluar dari pekarangan rumah dan berjalan perlahan meninggalkan rumahku. Hembusan angin dan kesemarakan dedaunan hijau dan ranting –ranting tanaman merupakan saksi bisu melihat adegan drama keluargaku, yang aku sendiri tidak memahaminya. Kicauan burung-burung gereja dan keindahan dua ekor kupu - kupu yang mempertontonkan sayap-sayap cantiknya di pekarangan rumahku, ikut mengiringi perjalanan ibu ke kota. Sedihnya bukan main, itulah yang kurasakan saat ini. Sulit sekali bagi ibu untuk menyediakan waktunya untuk aku. Aku menutup pintu dan menguncinya. Sejenak aku berdiam di sana. Seperti tidak ada semangat untuk hidup.           

Sumber: anandastoon.com
Sumber: anandastoon.com

Bab V

Teman Baruku

Aku menutup pintu dan menguncinya. Aku menyusuri lorong dan menaiki anak tangga menuju ke kamarku, tiba – tiba perutku terasa sangat sakit sepertinya mau buang air besar. Aku masuk ke dalam kamar mandi. Saat kunyalakan air keran di kamar mandi, aku mendengar ada suara kerikil mengenai jendela kamarku. Aku keluar dari kamar mandi dan melihat, siapakah gerangan yang mengangguku pagi - pagi seperti ini. Wah, ternyata tetanggaku. Dia seusiaku, sepertinya dia ingin mengajakku bermain. Aku buka jendela dan mengatakan sebentar lagi aku turun. Dia mengangguk. Akhirnya, aku punya teman di desa ini. Sudah pasti, tidak akan membosankan, pikirku.

Aku turun dan segera keluar rumah. Burung-burung berkicau di pagi hari yang cerah nan indah ini, matahari pagi memukau dengan terpaan sinarnya menuju rumah – rumah penduduk dengan sombongnya. Induk ayam dan dua anaknya berjalan menyusuri jalan – jalan desa untuk mematuk dan mengais rezeki ditemani bebek – bebek yang bernyanyi mempertontonkan keunikan bulu - bulu mereka yang berwarna kuning kecoklatan. Kami berjabat tangan. “ Saya Roni. “ Ungkap Anak itu. “ Aku Rifki. “ Ucap diriku. Gila, tangannya dingin sekali, pikirku. Aku berkata sekenanya, “ Kamu abis main air ya, tanganmu dingin sekali. “ Dia hanya tersenyum. Tapi senyumnya itu menakutkan, karena wajahnya terlihat pucat. Roni tinggal 30 meter dari rumahku. Dia mengajakku melihat empang di dekat rumahnya. Aku mengikutinya dari belakang. Ada yang janggal dari Roni, tapi aku masih menebak-nebak saja, dalam benakku. Kami tiba di empang dan Roni bilang empang ini milik ayahnya. Ayahnya memelihara Lele dalam empang ini, biasanya bila saatnya tiba, lele – lele ini akan dijual ke pasar dan kota – kota terdekat. Roni biasanya menemani ayahnya bila ayahnya ke pasar dan kota – kota terdekat. “ Empang ini dalamnya 3 meter, aku sering menghabiskan waktu dengan ayah setiap hari sabtu dan minggu di empang ini, “ ungkap Roni.

Roni berkata bahwa ia sangat senang menghabiskan waktunya di empang ini. Ayah Roni juga berternak ayam, bebek dan hobbynya adalah memelihara burung. Setiap pulang sekolah, Roni biasanya bermain dengan itik-itik yang bermain di empangnya. Roni mengambil beberapa kertas yang ada di halaman rumahnya. Ia mengajakku untuk membuat perahu dari kertas - kertas dan menaruhnya di empang. Ia memberikanku tiga lembar kertas, kami melipat beberapa perahu. Sebenarnya origami adalah salah satu kegemaranku juga, perahu - perahu yang kuhasilkan sangatlah unik dan belum banyak orang yang mengetahuinya. Roni senang dengan perahu – perahu buatanku. Ia juga membuat perahu-perahu unik, lalu kami menaruhnya di empang. Angin pagi menjelang siang pada saat itu cukup bagus, sehingga perahu-perahu kami bisa berlayar mengelilingi empang ditemani oleh bebek - bebek yang berenang di empang. Aku senang sekali, begitupula dengan Roni. Kami menghabiskan waktu berdua dan bercerita tentang sekolah. Roni menceritakan tentang mata pelajaran yang ia sukai. Ia sangat menyukai pelajaran menggambar. Dan ia menceritakan pula tentang hobby memancingnya. Pernah ia menghabiskan libur dua hari hanya memancing bersama dengan ayahnya. Wah, pasti menyenangkan sekali, pikirku. Roni berkata padaku, apakah aku ingin bermain di hutan bersamanya. Aku mengatakan padanya bahwa aku sangat menyukai suasana hutan belantara.

Lalu kami berjalan menyusuri jalan setapak desa dan sampai pada sebuah hutan belantara. Aku memperhatikan bahwa senyum Roni agak aneh. Kadang aku berpikir, kenapa Roni sering menyeringai dan tersenyum sendiri. Kami terus saja berjalan dan tibalah kami pada sebuah hamparan rumput yang sangat luas. Aku tidak menyadari bahwa kami berjalan sudah sangat jauh. Dan hamparan rumput ini adalah padang rumput yang berada di tengah hutan sebagai perantara antara desa Banyumanis dengan desa sebelah. Aku melihat Roni, sudah sangat familiar dengan desa ini. Beberapa kali ia berhenti sejenak menyentuh dedaunan putri malu dan melihat reaksinya. Memanjat pohon jambu klutuk, mengambil beberapa dan melemparkannya padaku. Kami pesta jambu klutuk di siang itu. Roni senang berlari dan sering kali melompat-lompat. Betapa girangnya Roni, sepertinya ia tidak memiliki teman selama ini, sehingga ketika aku muncul. Ia merasa senang. Teriknya matahari tidak mempengaruhi kami berdua, kami merasa senang dengan perjalanan tanpa arah ini. Yang jelas, kami hanya dua orang anak yang ingin menghabiskan waktu di luar rumah dan bersenang- senang. Perjalanan kami terhenti, ketika kami tiba di sebuah rumah yang sangat tua di tengah hutan.

Roni berdiam sejenak memperhatikan rumah tua itu, entah apa yang dilakukannya. Lalu ia mengajakku ke dalam rumah tua itu. Aku menggelengkan kepala. Aku berkata padanya bahwa aku tidak mau mencari masalah. Roni tetap nekad, Ia menyusuri jalan setapak menuju rumah tua itu. Kemudian ia mengetuk pintu. Dan berharap ada orang yang akan membukakan pintu. Kreekkk… Ternyata pintu tidak terkunci. Ia lalu masuk ke dalam rumah tua itu dan memberi aba-aba kepadaku untuk mengikutinya. Roni benar - benar nekad, aku saja tidak berani untuk masuk ke dalam sana. Rumah itu sangat menyeramkan. Tidak ada tanaman hidup di samping - sampingnya. Terlihat gersang, bahkan rumah tua itu, sangat menyeramkan karena berada di tengah - tengah hutan belantara ini. Rumah ini catnya sudah kusam, kayu - kayunya sudah reyot, beberapa kaca jendelanya pun sudah pecah. Roni berjalan masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dari belakang. Roni menyusuri ruang tamu. Aku mengikutinya dan melihat keadaan di sekeliling ruang tamu itu, perabotan di dalamnya sudah sangat tua. Debu setebal dua inch dan kondisi di dalam rumah seperti kapal pecah. Sepertinya, rumah ini memang pernah ada yang menempati, tetapi ditinggalkan begitu saja. Bahkan barang - barang yang sudah agak tua ini, sebenarnya masih bisa dipakai. Tetapi oleh pemiliknya di biarkan saja tergeletak seperti ini.

Aku mengajak Roni untuk meninggalkan tempat ini. Tetapi Roni menolak. Ia tetap saja ingin tahu ada apa di belakang sana. Ia membuka setiap kamar dan berusaha mencari tahu. Roni kemudian menuju ruang santai keluarga, ia menemukan beberapa koran edisi lama, ia membongkar kertas-kertas yang ada di bawah meja, ruang santai. Ia menemukan beberapa potongan Koran tentang berita-berita aneh yang terjadi di desa ini. Ia memanggilku dan menyuruhku untuk membacanya. Aku berkata padanya, “ lalu apa yang harus kita lakukan mengenai berita-berita ini. “ Roni tidak perduli, ia tetap menyuruhku untuk tetap membacanya. Aku memperhatikan dengan seksama, apa ini. Ya, di surat kabar itu, menampilkan berita tentang beberapa kejadian lampau yang ada di desa Banyumanis. Berita tentang anak yang hilang. Ada beberapa berita yang tidak aku mengerti. Aku bertanya pada Roni. Ia hanya tersenyum saja. Berita itu sejenak bermain di dalam pikiranku. Tetapi aku langsung mengalihkan pikiranku dan melihat tingkah laku Roni. Roni beranjak dari tempatnya dan masuk ke ruang makan, Ia membuka lemari tua di dalamnya tersimpan piring-piring melamin, gelas-gelas calyx yang kokoh dan ia menemukan beberapa serbet yang tersimpan rapi di atas lemari tua itu.

Tiba – tiba aku kaget sekali karena aku melihat ada yang bergerak di bawah sana, ia itu ada yang bergerak di bawah meja tepat di samping jendela. Bayangan itu keluar dan “ miauuww. “ Oh Tuhan, ternyata cuma seekor kucing hutan, pikirku. Lalu kucing itu berlari dan keluar dari rumah. Aku memanggil Roni, “ Ayo Roni, kita harus keluar dari sini. “ Roni agak malas - malasan mengikutiku dan keluar dari rumah tua itu. Kemudian kami melanjutkan perjalanan siang ini. Kami tiba di sebuah jalanan berbukit - bukit. Aku menemukan beberapa batu nisan, Roni merasa senang dengan temuanku. Ia kemudian berlari ke arahku. Ia membantuku membersihkan batu nisan itu, kemudian Ia menyuruhku untuk memegang batu nisan itu agak lama dan berkata padaku, pejamkan matamu.

Aku melakukan seperti yang ia perintahkan dan juga memejamkan mataku. Tiba - tiba aku merasakan udara yang sangat panas di sekelilingku. Apa ini, aku mulai membuka mata. Sepertinya aku mendapatkan sebuah penglihatan. Aku berada di dalam sebuah rumah yang cukup besar, rumah itu penuh dengan kobaran api. Penghuni rumah itu berteriak satu sama lain. Ayo Yah, keluarkan anak – anak dari lantai atas. Aku hanya memperhatikan. Siapa mereka. Lalu sang pria itu berlari menaiki anak tangga, menggendong dua anak mereka yang masih balita. Kedua balita itu menangis. Aku berusaha ingin meraih mereka, tetapi tidak bisa. Aku tidak mampu untuk menolong mereka. Lalu ketika pria itu berusaha menuju pintu, tiba - tiba sebuah kayu dengan kobaran api jatuh di depan mereka. Sang ibu berusaha menggapai anak mereka dari tangn kanan si ayah.

Mereka berusaha keluar, si ibu berlari mendekati jendela berjarak dua meter dari pintu ruang tamu dan berusaha membuka jendela. Ia tidak tega dengan apa yang akan dilakukannya, tetapi ini adalah jalan terbaik yang harus ditempuh. Ia akan melemparkan salah satu anak mereka melalui jendela mereka yang agak sempit itu. Kemudian aku mencari cara, bagaimana untuk membuka kedua pintu itu. Tetapi percuma, aku tidak bisa memegang barang – barang di sekitarku. Sepertinya aku hanyalah roh pada saat itu. Aku kasihan melihat kedua balita yang masih sangat kecil itu, mereka menangis karena temperatur di dalam rumah itu sangat panas. Kami hampir mendidih di dalam sana. Aku semakin frustasi. Kobaran api semakin besar.

Seketika aku mendengar ledakan dari belakang rumah itu. Sepertinya kompor meledak. Ledakan itu menjalar sampai ke depan. Sepertinya tidak ada harapan. Aku mulai panik, berusaha melihat ke berbagai arah. Adakah ruangan terbuka untuk kami keluar dari sini. Tetapi, sepertinya untung tak dapat diraih, malang tak dapat di hindari. Seketika itu juga kayu - kayu atap rumah mulai berjatuhan dan menimpa sang ayah dan balita dalam dekapannya. Sang ibu yang melihat, langsung berteriak, “ tidakkkk.” Ia menangis sejadi-jadinya. Lalu mulai duduk di pojokan ruang tamu sambil mendekap balita satunya. Sepertinya ia berpasrah pada keadaan. Apabila suami dan anaknya yang satu sudah meninggal. Apalah yang ingin di lakukannya. Ia membiarkan dirinya di hadang api dan membiarkan tubuhnya terbakar api. Ia berpasrah dan menerima kenyataan bahwa nyawa keluarganya harus berakhir dengan cara mengenaskan seperti ini. Aku terperanjat kaku melihat kejadian itu terjadi di depanku. Lalu aku tiba - tiba tersadarkan diri dan melihat Roni. Batu nisan yang kami lihat itu adalah batu nisan atas satu keluarga yang meninggal akibat kebakaran.

Aku bertanya pada Roni, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Bagaimana aku bisa mendapatkan penglihatan itu. Roni berkata padaku, “ aku hanya sebagai mediasi, tetapi kamu sudah mempunyai bakat itu.” Aku terperanjat dengan kata - kata itu. Bagaimana Roni bisa tahu kalau aku bisa melihat mahkluk - mahkluk halus dan dengan bantuannya aku bisa mendapatkan penglihatan sebuah keluarga yang mengalami kebakaran. Kejadian itu terngiang sangat jelas dalam benakku, Roni sepertinya sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Apakah ia ingin merencanakan sesuatu padaku. Apa sebenarnya yang ia ingin lakukan.  Kami berjalan agak jauh menuju hutan belantara. Lalu ia mengajakku untuk kembali ke rumah. Aku mengatakan baiklah, tetapi aku tidak ingat untuk berjalan pulang. Roni berkata, “ tenang aku ingat kok. ” Kami berjalan kira-kira 55 menit lamanya. Dan sampailah kami di depan rumah Roni.           

Roni, kemudian berlari ke arah rumahnya dan berkata bahwa ia harus mengantar rantangan makanan untuk ayahnya di Sawah. Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke rumahku. Aku berteriak, “ sampai ketemu besok! “

Jawab Roni, “ Ok. ” sambil menunjukkan jempolnya.

Kelihatannya di rumah Roni agak ramai. Apakah orang tua Roni akan mengadakan acara di rumahnya? Pikirku. Seorang wanita mengenakan celana panjang pensil dengan t-shirt kuning menuju ke arah pintu. Pasti ia adalah budenya Roni, pikirku. Wajahnya agak menyeramkan sepertinya ia sedang marah. Lalu kuperhatikan sekeliling rumah Roni, sedang ada renovasi. Dan bisa melihat dengan jelas dari jendela samping rumah Roni. Bila kuhitung ada tiga orang kuli bangunan yang sedang mengerjakan rumah Roni. Aku mendengar pembicaraan mereka dan saat mereka berineraksi memanggil nama satu sama lain. Kalau bisa aku konklusikan, Maman adalah pemimpin pembangunan rumah Roni. Ia berwajah sangar dan memiliki kumis tebal. Tugasnya mengawasi pekerja untuk bekerja. Ia terlihat sangat mencurigakan dan sering hilir mudik di depan kamar yang paling besar, sepertinya itu adalah kamar orang tua Roni. Tidak tahu apa yang sedang di rencanakan Maman. Kuli yang kedua bernama Ridwan, Ia bertubuh besar agak gempal dan kulitnya gelap dan kuli yang ketiga adalah Dodi, tubuhnya atletik, di bagian pipinya ada bekas codetan dan di tangan kanannya ada lima bekas sayatan. Intinya mereka terlihat seperti segerombolan penjahat bila dilihat dari kulit luarnya. Dan jelas - jelas tidak terlihat seperti kuli bangunan. Rumah Roni saat ini, adalah rumah yang paling megah dan terindah di desa ini. Aku tidak tahu, bila rumahnya akan di renovasi lagi, pasti akan menyerupai istana super megah di tengah pemukiman desa yang sederhana ini. Dan bila kuperhatikan dengan jelas, perabotannya adalah barang - barang mahal. Di depan halamannya saja, berjejeran tiga buah mobil mewah bila menilik bahwa pemilik mobil-mobil mewah ini adalah penghuni sebuah desa terpencil. Mereka pasti sangat kaya, pikirku.

Saat Roni masuk ke dalam rumahnya, aku menyadari bahwa ketiga kuli bangunan itu tidak menyukainya. Aku berjalan melewati rumahnya di bagian samping, ada sebuah kandang ayam dan bebek yang berdekatan dengan empang, tanaman tumbuh subur di beberapa titik yang menambah keasrian rumah Roni yang mentereng. Kemudian aku memperhatikan dengan detail dari jendela tentang kondisi di dalam rumahnya. Aku melihat Roni keluar membawa rantangan dan menuju ke sawah. Ia terlihat senang. Mungkin karena akan bertemu dengan ayahnya.

Aku kemudian melihat seorang wanita berkerudung merah yang aku taksir pasti ibunya Roni. Berjalan dari arah dapur menuju ruang tamu, ia duduk di ruang tamu dan memulai percakapan dengan wanita yang memakai t-shirt kuning dan celana pensil yang kuduga Budenya Roni. Mereka terlibat pada sebuah pertengkaran yang sengit. Wanita yang berkerudung merah memaki-maki wanita ber t-shirt kuning sambil memegang rokok di tangan. Dan wanita yang ber t-shirt kuning, menunjuk – nunjuk wanita berkerudung merah dengan jarinya. Dan sesekali membalas dengan makian yang lebih pedas. Tidak dapat kubayangkan, sudah seperti neraka. Lebih dari lima belas menit mereka saling mengucapkan umpatan dan makian yang pedas. Aku saja yang tidak terlibat dalam percakapan ini merasa tidak tahan mendengarnya, bagaimana mereka bisa bertahan, pikirku.  Entahlah apa yang mereka ributkan, tetapi sepertinya sangat serius. Yah begitulah orang dewasa, selalu menanggapi segala sesuatu serius. Aku tidak ingin menanggapinya, aku kembali menyusuri jalan setapak menuju rumahku.    

Aku masuk ke rumahku, menutup lalu mengunci pintu ruang tamu. Kulihat sejenak lukisan Monalisa yang terpampang di ruang tamu. Wajahnya cantik tapi menurutku sedikit menakutkan, dari pandanganku sepertinya mulutnya berkomat – komit. Sungguh menyeramkan bila hal itu sampai terjadi. Aku tidak tahu apakah ini ilusiku saja atau tidak. Perlahan aku menyusuri lorong rumahku. Ornamen – ornamen dari beberapa daerah seperti pernak – pernik suku Asmat, miniatur rumah Gadang ala Minangkabau dan perahu dari Maluku yang terbuat dari cengkeh. Menghiasi dinding sebelah kiri sepanjang lorong rumahku dan menonjolkan unsur – unsur mistik yang seolah – olah ingin menambah kalutnya perasaan yang tidak menentu akibat kejadian – kejadian aneh yang kualami sejak kepindahan kami ke desa ini. Keramik – keramik oriental dan Arabic seolah ikut mengundangku untuk melihatnya lebih lama. Semakin kuperhatikan ornamen – ornamen dan keramik bernilai sejarah itu, terkadang membuatku takut. Benda – benda tak hidup itu menjadi saksi bisu atas kejanggalan yang terjadi di kediaman kami.

Aku berjalan menuju ruang makan, ingin mencari makanan dingin di kulkas. Setelah panas yang kurasakan, teriknya matahari siang saat diriku bermain dengan Roni teman baruku. Aku membuka kulkas dan mengambil satu buah apel merah dan berjalan kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu sambil menghabiskan apel merah kesukaanku, tanpa sengaja aku melihat seperti ada sesosok manusia sedang terseok-seok di ruangan tamu. Rambutnya menutupi hampir seluruh wajahnya. Aku seketika lemas, karena tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tetapi, ketika kudekati justru bayangan itu tidak ada. Aku berlari dan menaiki anak tangga menuju kamarku. Aku terjatuh dan terguling ke bawah lantai. Sosok itu muncul di mataku, ia basah dengan tubuh membiru dan kaku. Aku berteriak kepadanya, “ pergi dan jangan ganggu aku. “ Ia menatapku dengan tatapan kosong. Dari mata dan hidungnya keluar air. Air itu memenuhi seluruh lorong. Aku takut setengah mati. Aku bangkit dan berusaha sekuat tenaga menaiki anak tangga, membuka kamarku dan membanting diriku di atas tempat tidur dan menarik selimutku hingga menutupi wajahku. Aku lemas, jari-jariku gemetar dan lututku terasa ngilu dan sakit karena berbagai kejadian yang aneh dan beberapa kali melukai tubuhku. Kali ini tidak main-main, penunggu rumah ini benar – benar ingin meunjukkan arwah mereka pada diriku. Apa sebenarnya maksud dari semua ini.

Ranting - ranting pohon menggesek jendela kamarku, kupandangi awan dari dalam kamarku. Kudengar burung hantu bernyanyi mengeluarkan suaranya yang khas dan sangat menakutkan. Rupanya, matahari sudah hampir tenggelam, tapi ayah belum pulang juga. Aku menarik kembali selimutku. Aku tertidur sudah cukup lama, aku tidak bisa tidur lagi. Aku kemudian masuk ke kamar mandi. Waktu mandiku hanya membutuhkan 15 menit saja. Aku keluar kamar mandi mengambil handuk dan mengeringkan tubuhku di kamar mandi. Aku mengambil baju bersih dan melempar baju kotorku di tempat keranjang pakaian kotor. Tiba – tiba perutku berbunyi, aku merasa lapar sekali. Aku menuruni anak tangga dan kulihat tidak ada air sama sekali di lorong. Berarti aku tadi hanya mimpi lagi. Gila, pikirku. Aku menuju ruang makan. Aku mengambil sisa satu telur mata sapi dan menyendok nasi putih dari rice cooker. Aku mengambil sambal botol melumuri kuning telur dan menyantapnya dengan lahap. Tiba – tiba kudengar kembali suara tangisan anak kecil.

Aku beranjak dari kursi di ruang makan dan menuju dapur. Aku menginjak salah satu ubin dan seketika juga terbukalah pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Apa ini, kenapa dengan mudah bisa terbuka, pikirku. Aku turun perlahan menuju ruangan di bawah tanah itu, perlahan kuturuni ratusan anak tangga menuju sentral ruang bawah tanah, tangisan anak kecil itu semakin jelas di pendengaranku. Hampir sepuluh menit aku menuruni anak tangga, sampailah juga aku di ruang bawah tanah. Aku berusaha mencari dengan sabar asal suara anak kecil itu. Aku menyusuri kolam, iya aku menemukannya. Anak itu sepertinya seusiaku, berada sekitar dua meter dari kolam tepat di belakang batu kali besar. Anak itu membungkuk dengan lutut dan kedua siku tangan menutup wajahnya. Rambutnya sangat kotor, lepek, serta terlihat basah dan aku berusaha mendekatinya. Anak itu menengadah ke arahku. Wajahnya mengerikan dan membusuk dengan separuh pipinya di kerubungi oleh ulat dan serangga. Aku tidak kuat, karena hampir muntah. Anak itu meminta tolong padaku. Tangannya di penuhi borok dan nanah. Siku tangannya hampir lepas dari lengannya, jari-jarinya hampir putus dan menimbulkan bau busuk yang sangat keras.

“ Tolong aku. Tolong keluarkan aku dari sini? Tolong aku Rifki “ bisiknya sambil memegang lenganku. Gila, dia bisa tahu namaku, pikirku. Kejadian janggal ini semakin membebani pikiranku. Aku berlari menaiki anak tangga menuju dapur. Anak itu menangis sejadi - jadinya dan berteriak. “ Tolong, Tolong aku Rifki ! “ Aku dihadang oleh seorang pria yang sedang batuk. Pria itu lagi, pikirku. Aku lemas, aku berusaha menghindarinya dan menaiki anak tangga. Anak yang menangis itu tiba – tiba muncul di hadapanku. Kali ini, wajahnya lebih mengerikan dari sebelumnya. Wajahnya bersimbah darah, tetapi bau busuk yang ditimbulkannya tidak bisa ditepis. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berteriak, “ tinggalkan aku sendiri. “ Ucapku. Tidak terduga, mahkluk - mahkluk astral itu sekejap menghilang dari hadapanku.  

Aku melanjutkan perjalananku menaiki anak tangga dan akhirnya telah sampai pada pintu ruang bawah tanah, pintu itu aku buka dan dengan mudah bisa terbuka. Aku bisa keluar dari tempat menyeramkan itu, pikirku. Aku menyusuri lorong dan menuju ruang tamu Aku membuka pintu dan melihat keadaan di luar sudah sangat gelap, kemudian aku tutup pintu dan menguncinya lagi. Aku menyalakan lampu teras. Aku sangat takut. Aku berlari menuju kamarku. Menyambar handukku dan mulai mandi. Aku tidak percaya, anak itu memegang diriku. Tangannya berlendir, sudah membusuk dan ia memegang - megang lenganku. Aku membersihkan tubuhku dan kukeringkan tubuhku dengan handukku. Seketika aku mendengar ada bunyi langkah sepatu. Pasti ayah sudah pulang. “Siapa di sana? Ayah, apakah ayah sudah pulang? ” Teriakku.

“Ini ayah, Rifki. Kemarilah sebentar. “ Ucap ayahku.

Aku membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga lalu memeluk ayahku. Ayah memang memiliki kunci duplikat ruang tamu, sehingga Ia bisa membuka pintu dengan mudah kapan saja. “ Ayah, kenapa malam sekali pulangnya? Aku takut di rumah sendirian. “ Gumamku. “Iya ayah ada urusan di kantor yang harus di selesaikan. Ini, ayah bawakan Sate Ayam kesukaanmu, Ayo kita makan “. Ucap ayahku, sambil mencium keningku. Ayah membuka sepatu dan kaos kakinya. Lalu menaruhnya di rak sepatu. Kemudian Ayah menutup pintu. 

Kami menyusuri lorong, menuju ruang makan. Ayah menuju dapur mencuci tangan. Lalu kembali ke ruang makan. Aku membuka sate yang ayah beli, Jumlahnya ada dua puluh tusuk. Ayah menimba nasi putih untukku dan untuk ayah dan ayah mengambil sepuluh tusuk sate di piringnya dan membasahi nasi putihnya dengan bumbu sate. Aku pun langsung mengambil ke sepuluh satenya ke dalam piringku. Aku menuangkan air putih untuk ayah. Kami menikmati santap malam kami, sambil menceritakan kejadian aneh yang terjadi selama satu hari ini. Respon ayahku sangat datar dan tidak memperdulikannya. “ Itu hanya ilusi kamu, sayang. Tidak ada lagi hal-hal seperti itu di zaman modern seperti sekarang ini. “ Ungkapnya. “ Yah, sudahlah kalau ayah tidak percaya padaku,” ucapku pelan. Kami telah menyelesaikan makan malam kami. Ayah mengambil piring kotor kami berdua menuju dapur, aku membuntutinya dari belakang. Kemudian ayah mencucinya. Ayah kemudian menuju kamarnya mengambil pakaian kotornya dan menyuruhku juga untuk mengambil pakaian kotorku dari kamarku. Aku bergegas menaiki anak tangga dan sampai di kamarku. Kamarku sangat gelap, aku melihat ada seseorang di atas tempat tidurku, Aku bergidik ngeri. “ Siapa itu? “ Aku berteriak. Aku segera menyambar keranjang pakaian kotorku dan segera membanting pintu kamarku. Aku tidak percaya dengan kegilaan di rumah ini. Aku ke kamar ayahku. “ Ayah, kita pindah saja yah, dari rumah ini. Aku takut ” Ucapku keras. “ Ayahku menatapku dan berkata, “ Kamu kenapa lagi? ”

“ Percuma saja, kalau aku cerita, pasti ayah tidak percaya padaku.” Kataku dengan suara yang meninggi. Ayah keluar dari kamarnya sambil membawa keranjang baju kotornya, menyusuri lorong dan menuju dapur. Aku ikut dari belakang sambil menyeret keranjang baju kotorku dan tangan kiriku menarik baju ayah. Lalu ayah menyalakan mesin cuci dan mulai memisahkan pakaian kotorku dengan pakaian kotornya, untuk dimasukan ke dalam mesin cuci. Aku naik di meja dapur menggunakan kursi kecil. Lalu aku hanya duduk saja di sana, memperhatikan ayah mencuci baju kami. Butuh 45 – 90 menit, ayah mencuci dan mengeringkan pakaian kami. Kemudian ia membuka pintu belakang yang jarang sekali kami buka. Lalu menjemur pakaian itu. Ayah terlihat sangat lelah dan berkeringat. Aku membantu mengembalikan ember ke tempat semula. Ayah mengunci kembali pintu belakang itu. Aku harus meyakinkan ayah tentang kejadian aneh di rumah ini. Aku harus melakukannya atau pindah rumah adalah jalan satu-satunya, pikirku.

“Tapi ini yang terjadi, aku sungguh mengatakan yang sebenarnya! Mengapa ayah tidak percaya padaku. ” Ungkapku dengan putus asa dan hampir menangis. Aku keluar menuju pekaranganku. Membanting pintu karena merasa kesal pada ayah. Lalu aku berjalan sejenak untuk mencari kesegaran. perasaan sumpek dan ketakutan di dalam rumah membuatku ingin melepas lelahku di suasana dinginnya malam hari. Cukup sejuk diluar, semilir angin menambah keanggunan bintang - bintang yang mengintip di balik awan. Rembulan yang malu - malu mulai menampakkan kepiawaiannya dalam menerangi kegelapan malam. Aku berjalan menyusuri jalanan yang sedikit basah. Dan tanpa kusadari aku telah berjalan sampai ke empang milik Roni. Aku melihat empang ini, dan ingin memanggil Roni untuk bermain denganku, tapi sudah agak larut juga kalau aku mengajaknya bermain, pikirku.

Aku tiba-tiba mendengar ketiga kuli bangunan yang bekerja di rumah Roni sedang bercakap - cakap di dekat empang. Aku jongkok dan menyimak pembicaran mereka. Mereka sedang merencanakan sesuatu. Maman berkata, “ Lebih kita tunggu saat mereka keluar rumah!”  Balas Ridwan sekenanya, “ Baik Bos. ”  Dodi yang sedang mengepulkan asap dari kedua hidungnya berkata, “ Tapi kita harus berhati-hati, jangan sampai orang lain sampai tahu. “ Apa maksud mereka, pikirku.  Tiba - tiba aku tidak sengaja menginjak sebuah ranting pohon dan krekkk. “ Siapa disana! “ Teriak Maman. “ Ada yang nguping pembicaraan kita, bos. “ Seru Dodi. Mereka tiba-tiba beranjak dari tempat mereka dan mulai mencari aku. Perlahan aku menyelinap melalui samping rumah Roni, melewati kebun belakangnya. Tiba – tiba Ridwan berkata, “ Bos, itu di sana.” Aku semakin panik. Lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu, dan berusaha mencari jalan tikus untuk kembali ke rumahku. Iya itu dia rumahku, segera aku buka pintu, mengunci pintu, menyusuri lorong dan menaiki anak.tangga menuju kamarku. “ Rifki, apakah itu kamu? ” Ayahku berteriak dari ruang makan. “ Iya, yah ini aku.  “ Aku membalas pertanyaannya. Aku tidak mau menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Pasti ayah juga menganggapku hanya berhalusinasi. Aku masuk kamar, sikat gigi, cuci kaki – tangan dan cuci muka. Mengeringkannya lalu aku ganti piyama. Aku kemudian turun kembali untuk mengobrol dengan ayah di ruang tamu.   

Sumber: www.idntimes.com
Sumber: www.idntimes.com

Bab VI

Kunjungan malam hari

Suara jangkrik terdengar jelas di telinga. Terkadang dibarengi dengan suara burung hantu, seakan ingin menceritakan sejuta narasi kejanggalan yang terjadi di rumahku ini. Seketika terdengar ketukan di pintu ruang tamu. Ayah, beranjak dari sofa dan membuka pintu itu. “ Malam pak, maaf bertamu malam – malam begini. Kami tetangga sebelah ingin memberikan kue - kue ketimus ini. Tadi istri saya ini, membuat kue ketimus agak banyak. Kami ingin memberikan kepada Bapak dan keluarga. Dan hendak menyampaikan, bahwa bapak sangat diterima di lingkungan kami ini. ”  Ungkap sang suami. “ Wah, tidak usah repot - repot. Mari Pak Bu, silahkan masuk.” Kemudian ayah menerima beberapa ketimus itu dari tangan tetangga baru kami dan membawa piring berisi ketimus, lalu menaruhnya di meja makan. Kemudian menuju dapur mengambil dua gelas minuman kemasan untuk tetangga baru kami. “ Silahkan diminum. “ Ucap ayahku.  Aku duduk di sofa sambil memainkan mobil-mobilan yang dibelikan ayah dua bulan lalu. Mobil itu adalah salah satu mainan favoritku. Ayah mengobrol dengan mereka, dan aku ikut mendengarkan. Mulai dari hobby sampai pekerjaan pun di bahas oleh mereka. Dasar orang tua, pasti obrolannya tidak menyenangkan, pikirku. Hingga pada suatu pertanyaan dan aku ikut mendengarkannya. Ayah menanyakan apakah mereka itu punya anak seumuran dengan aku. Si suami tiba - tiba bersedih dan mulai menyenderkan dirinya ke sofa.

“ Sebenarnya kami punya anak, tapi anak kami hilang.” Ucap Bapak itu.

“ Maaf Pak, saya tidak bermaksud untuk mengingatkan kembali kisah kelam ini. ” Ungkap ayahku.

Sang istri, terlihat sangat sedih dan wajahnya memperlihatkan kekhawatiran

“ Tidak, tidak masalah. Lagipula kejadian ini sudah terjadi tiga tahun yang lalu. “ Ungkap bapak itu.

Bapak itu minta izin untuk mengambil satu minuman kemasan yang dibawakan oleh ayahku. Dan ayah mempersilahkannya dan juga istrinya. Ayah menyuruhku mengambil buah - buahan yang dibawa ibu dari kulkas untuk diberikan pada tamu baru kami. Sang istri berkata, “ Tidak usah repot-repot pak. “  Ayah menjawab dengan sigap, “ Tidak, tidak merepotkan sama sekali. “ Aku meninggalkan mainanku, lalu beranjak meninggalkan mereka berdua. Aku menyusuri lorong dan sebuah bayangan tiba - tiba mengagetkanku. Tidak, aku tidak boleh takut. Ada ayah dan tetangga baruku, kenapa harus takut, pikirku. Sekonyong-konyong dari balik kulkas ada sebuah tangan yang hampir membusuk dan memegang tanganku. “ Tidakkk, “ teriaku. “

“ Ada apa Rifki, “ ayah berteriak dan berlari menuju ruang makan. “ Tadi ada tangan yah, yang berusaha memegangku,” ucapku.

“ Mana Rifki, tidak ada apa-apa di sini, “ kata ayah sambil mengecek kulkas.  “ Tapi ini sungguh, yah. “ Ungkap diriku sambil ingin menangis. Ayah membungkuk mengambil buah apel dan pisang dari kulkas, membawanya dan menuntunku menuju ruang tamu.  “ Sudah jangan menangis, tidak malu kamu menangis di depan tetangga baru kita. “ Ucap ayah.

Ayah meletakkan buah-buahan di atas meja ruang tamu dan mempersilahkan tamu kami mencicipinya. Pria itu mengucapkan, “ Saya coba ya pak” “ Silahkan Pak. Mari bu dicoba juga “ Lalu pria itu berkata, “ rumah kami, 20 meter dari sini. Bapak bisa lihat rumah kami yang cat biru laut, dekat dengan empang. Anak saya hilang dan kami sudah putus asa karena tidak menemukannya sampai hari ini juga. ” Ungkap bapak itu kepada ayahku. “ Putra saya, adalah anak yang penurut. Karena setiap kali pulang sekolah, ia dengan gembira mengantarkan rantangan makanan untuk saya di Sawah. Dia anaknya selalu riang dan guru-gurunya mengatakan bahwa putra kami adalah anak yang cerdas. Betapa terpukulnya kami, sewaktu mengetahui bahwa anak kami hilang hari itu. Kami benar-benar merindukan anak kami. “ Ungkap bapak itu. Aku lihat matanya memerah dan mulai berlinangan air mata. Sang istri pun memegang tangan sang suami untuk menguatkan.

“ Memang, anak bapak dan ibu namanya siapa? Kalau boleh saya tahu ” . Ucapku sekenanya.

“ Rifki, kamu jangan ikut campur pembicaraan orang tuaku ! “ Ungkap ayahku.

“ Tidak, tidak Pak, tidak apa dia menanyakannya”. Ungkap tetangga baru kami itu

“ Namanya Roni. “ Ucap si ibu. Aku mulai ketakutan dan jantungku berdetak sangat cepat.

Lalu aku memberanikan diri bertanya lagi, apakah aku boleh melihat fotonya. Ayah marah dan menyuruhku naik ke kamarku. “ Ayah, aku kan cuma mau lihat fotonya saja. “ Ucapku  

Sang suami segera mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan foto Roni yang berfoto dengan keluarganya kepadaku.

“ Tidaakk, tapi anak ini baru bermain denganku sore ini di depan rumah! Kami berhenti bermain, karena Roni bilang ia harus mengantarkan rantangan makanan utnuk ayahnya di sawah. “ Ungkapku dengan terbata-bata.

“ Apakah itu benar, nak. ”  Ucap Bapak, tetangga baru kami.

“ Benar, pak. “ Gumamku.  Aku langsung berkata sekenanya, “ Apakah bapak dan ibu, pernah membersihkan empang milik bapak dan ibu ? Karena tadi siang Roni berkata bahwa ia sangat suka bermain di empang itu dengan bebek - bebek yang Bapak pelihara. “

“ Kalau memang Roni tenggelam di empang itu, harusnya jasadnya akan mengapung di empang itu. Itu tidak mungkin. “  Ungkap sang suami yang bernama lengkap Ilham Sanusi.

Pak Ilham dan istrinya pamit dan mendapatkan ide untuk melakukan pembongkaran empangnya. Ia menyalami ayah dan beranjak dari sofa, lalu menuju pintu ruang tamu di temani ayahku. Ayah kemudian menutup pintu dan menguncinya. Lalu ayah duduk kembali di sofa dan menyuruhku untuk segera tidur, sambil tangan kanannya menekan tombol remote televisi. Tapi aku menolak untuk tidur dan memilih untuk menemani ayah menonton berita di salah satu televisi swasta. “ Kamu ini, selalu saja mengikuti apa yang ayah lakukan. “ Ucap ayahku.    

Sumber: womantalk.com
Sumber: womantalk.com

Bab VII

Pembongkaran Empang

Malam telah berganti dengan keangkuhan subuh yang telah menantang kegelapan dan bersiap untuk menjalankan tugasnya. Embun dan kabut mengiringi perpisahan gelap dan terang menemani perjalanan terbitnya matahari. Dedaunan dan bunga – bunga di padang tidak mau kalah ikut berpartisipasi dalam bernyanyi, untuk menyongsong terangnya pagi. Gemericik air di sungai pertanda adanya kehidupan yang akan dimulai. Busungan dada sang ayam jantan mempertontonkan keangkuhannya, memecah pagi hari dengan kokoknya yang berwibawa. Semut - semut merah berbaris untuk mengangkut jarahan mereka ke sarang dan membahagiakan ratu mereka dengan makanan seminggu yang akan memuaskan perut mereka yang takkan pernah puas. Adakah hari ini kan membawa pada sebuah solusi atas teka – teki hilangnya Roni? Ataukah hanya petunjuk demi petunjuk yang di hasilkannya. Kicauan burung membahana di rumah Pak Ilham, burung – burung peliharaan pak Ilham merasa senang kediaman tuannya di kunjungi oleh banyak orang. Penduduk desa berbondong – bondong ke rumah Pak Ilham, karena Ia memang mengundang warga untuk membantunya membersihkan empangnya. Nyonya Ifa, iya itulah nama ibunya Roni. Ia terlihat sangat sedih. Ia duduk di sebuah kursi plastik paling depan untuk menyaksikan pembongkaran empang. Ia terlihat sangat menawan dengan kerudung oranye dipadu kacamata hitam, membuatnya seperti Syahrini sang artis ibukota. Memang tak jarang, penduduk desa, terutama kaum Adam yang terpesona dengan kecntikan istri Pak Ilham ini.

Tujuh pria besar terjun ke empang dan menangkap lele – lele untuk ditampung di sebuah ember besar. 20 buah ember digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam empang. Warga menyaksikan dan menanti dengan penuh antusias. Di antara mereka pun berpendapat, seandainya ditemukan Roni juga, pasti sudah jadi tulang – belulang. Sudah hampir empat jam empang ini dikuras, belum juga ada tanda-tanda ditemukannya jasad Roni. Pak Ilham menyediakan makanan kotak kepada warga sebagai ganti makan siang, karena sudah merepotkan mereka untuk terlibat dalam pembersihan empangnya. Warga senang karena pak Ilham adalah orang yang dermawan di desa ini dan tidak jarang menyumbangkan sembako kepada warga desa. Empang dibersihkan dan ada bekas galian aneh di sudut empang yang berkedalaman tiga meter ini. Galian itu dibuka dan apa yang ditemukan, membuat warga shock. Sebuah plastik hitam diambil berisi tengkorak dengan tulang – tulang yang tidak lengkap. Kemudian disatukan kesemua rerangka tengkorak dan tulang. Didapati hanya struktur tubuh manusia dari kepala sampai ke pinggang saja. Sudah jelas, bahwa tengkorak ini pasti tubuh manusia yang dibunuh dan dimutilasi, karena rangkanya tidak lengkap. Dan sudah pasti rangka itu adalah milik Roni.

Sejak pembongkaran empang itu, aku semakin tidak tenang. Aku sering bermimpi buruk. Dan aku menduga, sepertinya Roni ingin menunjukkan sesuatu padaku. Dia ingin menunjukkan dimana sisa tulangnya berada. Jujur saja, aku semakin penasaran. Roni adalah anak yang baik dan termasuk siswa cerdas, bagaimana mungkin seseorang menginginkan kematiannya. Bila menilik kembali, seorang Pak Ilham yang sangat disegani oleh warga desa karena kebaikan dan sifatnya yang dermawan. Hal ini tidak masuk akal, bila ada yang ingin menyakiti keluarga mereka. Teka – teki ini sepertinya buntu. Apakah ada hubungannya dengan mahkluk-mahkluk halus di rumah yang kutinggali sekarang ini.  

Aku yakin, pasti sisa tulang itu ada di suatu tempat. Dan tempat itu pasti ada di rumahku. Tapi apa yang dipikirkan pembunuh gila itu, sampai melakukan mutilasi dengan menyebarkan potongan tubuh Roni di berbagai tempat. Apa salahnya Roni, sampai harus mengalami hal segila ini atau apakah ayah Roni yang dibenci oleh psikopat itu, sampai-sampai anaknya yang harus mengalami kekejaman seperti ini.

Aku mengambil dua buah ketimus di kulkas. Membuka daunnya dan menuju dapur membuang daunnya di tempat sampah dekat tempat cucian piring. Aku duduk di kursi ruang makan. Menuangkan air jeruk dari teko transparan dan menikmatinya perlahan. Kemudian aku beranjak dari kursi dan menuju dapur untuk keluar dari pintu belakang. Aku mengangkat jemuran kering yang sudah di jemur semalam. Aku menaruhnya pada keranjang dan membawanya ke kamar ayah. Nanti, tinggal ayah yang akan menyetrikanya, pikirku. Biasanya aku membantu ayahku menyelesaikan pekerjaan di rumah. Kami sudah membagi tugas untuk hal itu. Dan peraturan ayahku adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, jadi aku harus menurutinya. Aku mengambil sapu dan mulai membersihkan rumah dari dapur sampai ke depan. Lalu aku menuju kamar mandi dekat dapur. Aku heran kenapa ember untuk pel sudah terisi, disaat aku memang ingin mengepel rumah. Ketika aku memasukkan kain pel dengan memegang gagang kain pel ke dalam ember, aku merasa ada yang mengganjal di dalam ember. Aku berusaha mengeluarkan ganjalan itu. Aku kaget ketika aku ambil ternyata sebuah tangan manusia lengkap dengan kelima jarinya. Air kain pel berubah dalam sekejap menjadi darah kental. Sontak, aku melempar tangan yang kupegang dan membuang darah kental yang berada di dalam ember. Aku merasa mual dan ingin muntah dengan yang kulihat.

Aku panik dan berlari menyusuri lorong dan menuju pintu ruang tamu. Lantai penuh dengan darah, pijakan kakiku lengket akibat darah kental yang sudah menyebar ke mana-mana. Aku mencoba buka pintu, tetapi pintu terkunci dan tidak ada kunci yang tergantung disana. Aku mencoba membuka pintu kembali. Aku ketakutan. Tiba-tiba ada yang menarik bajuku dari belakang. Aku masih menggigil karena keringat dan berusaha menoleh ke belakang, apa itu! Aku melihat sepotong tangan yang melayang-layang sedang menarik celanaku tanpa henti. Aku menghalau tangan itu supaya menghentikannya menarik bajuku. Potongan tangan itu mental ke dinding ruang tamu. Aku tetap mencoba membuka pintu. Saat aku berbalik ada sebuah kepala yang menatapku dari atas meja ruang tamu. Kepala itu mengeluarkan darah segar dari mulutnya, kedua bola matanya membelalak keluar. Lalu kepala itu terbang menuju arahku. Aku mulai ketakutan dan hampir pingsan melihat kepala melayang-layang di depanku.  Aku mencoba membuka dengan paksa pintu ruang tamu. Akhirnya terbuka. Aku mengambil langkah seribu, berlari keluar rumah dan segera mencari tempat berlindung dari mahkluk-mahkluk halus menyeramkan ini.

Aku terus berjalan. Untung saja aku ingat, bahwa sekitar tiga puluh meter ke arah utara ada rumah pak RT. Pasti Ia bisa menolongku. Menemaniku sampai ayahku pulang. Aku tetap berjalan dan mencari-cari rumah pak RT. Ada seekor kucing hutan berwarna hitam melewatiku dan matanya sanagat menyeramkan. Aku terus berjalan dan akhirnya menemukan rumah pak RT. Aneh sekali, lampu depan di halaman rumahnya menyala, lalu aku mengetuk pintu beberapa kali dan menunggu cukup lama diluar. Tetapi tidak ada yang membuka pintu. Sepertinya tidak orang di rumah. Aku bingung dan tidak tahu harus kemana. Aku ingin ke rumah pak Ilham, tetapi aku dengar dari ayah bahwa pak Ilham bersama keluarganya sedang liburan ke luar kota hari ini. Iya, aku akan menelepon ayahku. Tapi pasti ayah akan marah kalau aku meneleponya siang-siang begini. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku berjalan dan akhirnya berlari secepatnya berharap bisa melupakan kejadian – kejadian aneh yang baru saja terjadi. Aku berdiri di pekarangan rumahku, cukup lama aku berdiri di sana. Aku menunggu sampai keberanianku terkumpul.  

Sekitar dua puluh menit aku di luar rumah merasa ketakutan. Aku beranikan diri untuk masuk kembali, saat kukembali tidak ada noda darah sekalipun di lantai. Aku menyusuri lorong dan menuju kamar mandi dekat dapur. Pintu kamar mandi kubuka perlahan, luar biasa kagetnya aku. Ternyata tidak ada bekas darah setitik pun di sana dan tangan yang kulempar di luar dapur pun tidak ada. Hal ini semakin aneh. aku melanjutkan kembali kegiatanku membersihkan rumah, dan berpikir keras tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi belakangan ini.

Aku menaiki anak tangga untuk ke kamarku, sambil tangan kananku menggenggam sebuah sapu dan kemoceng, lalu tangan kiri menggenggam pengki. Aku membuka pintu kamarku. Entahlah, sejak kepindahan kami ke rumah ini. Aku belum pernah membersihkan kamarku. Aku mulai membersihkan dari ujung kamarku sampai ke pintu kamarku. Aku menemukan beberapa kejanggalan di kamarku. Sepertinya ada sesuatu di kamar ini. Bentuk kamar ini agak unik dan pasti menyimpan suatu rahasia juga di dalamnya. Tetapi itu pasti hanya ilusiku saja, pikirku. Aku menyapu, mengepel kamar dan merapikan meja belajarku. Setelah selesai. Aku membuka pintu kamar, keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Lalu menyusuri lorong.

Bab VIII

Potongan fotocopy KTP

Aku menuju ruang tamu mengunci pintu. Kemudian kembali lagi menuju lorong dan menaiki anak tangga untuk naik ke kamarku. Aku menarik handukku dan masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower, menekan tombol sabun cair dan menampungnya di telapak tanganku, kemudian aku menggosok seluruh tubuhku. Hampir dua puluh menit aku habiskan di kamar mandi dan aku malas untuk keluar dari sana. Kesegaran air dingin sungguh melegakan kepenatan tubuhku, setelah berbagai kejadian menyeramkan yang terjadi. Memang itu yang kubutuhkan saat ini. Tubuhku sangat lelah dan terkadang aku tidak bisa tidur sejak kejadian-kejadian aneh yang terjadi, padahal aku baru 4 hari di desa Banyumanis ini.

Aku mengeringkan tubuhku dan mengenakan pakaian bersih. Aku menyadari bahwa ada tetesan air tepat di tempatku berdiri, ketika aku sedang bercermin di depan kaca, tepat disamping lemari. Aku mendongak ke atas, untuk memeriksa ada apa gerangan di atasku. Aku terperanjat hebat yang menyebabkan nafasku berhenti sesaat, sesosok mayat pria menempel di atas kamarku. Dari mayat itu meneteskan bulir-bulir darah kental dan sekejap mengotori kamarku. Derasnya darah segar yang keluar dari mayat itu menyebabkan kamarku menjadi lautan merah yang mengerikan. Aku berlari keluar dari kamar, dan membuka pintu. Gelombang darah nan kental mengalir deras seiring terbukanya pintu kamarku. Menjijikan sekaligus menyeramkan, aku menuruni anak tangga. Aku yang habis mandi seperti tidak habis mandi. Aku terlihat sangat kacau dan kotor. Kemudian masuk ke kamar mandi bawah dan mulai mandi lagi. Aku takut akan ada kejadian yang menyeramkan lagi. Setelah selesai mandi. Perlahan kujejakkan langkah demi langkah menuju lorong kuperhatikan anak tangga satu persatu. Tidak ada darah sama sekali. Ini sangat gila, lama kelamaan aku yang bisa gila menghadapi ini semua.

Aku kembali menaiki anak tangga ke atas menuju kamarku. Aku melihat kondisi kamarku bersih dan tidak ada noda darah setitikpun, aku mengucek mataku seolah tidak percaya. Benar – benar tidak ada mayat yang bergantungan di langit - langit kamarku. Huftt, sejenak aku lega. Aku merasa, apakah ini adalah ilusiku saja atau bukan? Hanya aku dan rumah ini saja yang tahu. Bahwa ini semua nyata ataukah hanya fatamorgana sesaat. Aku memeriksa kamarku dengan seksama. Berusaha mencari tahu dan menguak rahasia yang terjadi di rumahku. Kuperhatikan dinding, lukisan dan setiap detail. Apakah ada ruang atau tempat rahasia yang bisa membuka tabir keanehan yang terjadi di rumah ini.

Semua terlihat tidak ada yang aneh, kamarku tidak memiliki ruangan rahasia. Dan aku tidak memiliki petunjuk satupun di kamarku. Apa yang diinginkan penghuni tak kasat mata di rumah ini kepadaku, apa yang ingin ditunjukkannya padaku. Bila ingin menunjukkan sesuatu padaku. Lalu itu apa? Pikirku. Aku membuka jendela kamarku lebar – lebar dan aku memperhatikan sesuatu yang berterbangan di pengait jendela kamarku. Aku mengambilnya, aku memperhatikannya. Ini seperti robekan pakaian dan ada noda darahnya. Aku mengambilnya. Dan mulai menghubungkan puzzle penuh tanda tanya ini. Apakah robekan pakaian bernoda darah ini ada kaitannya dengan mayat di langit-langit kamarku, pikirku. Aku menyimpan robekan kain itu dan menyimpannya di dalam laci meja belajarku.   

Iya, pasti di ruang bawah tanah rumahku. Aku menuju dapur dan mulai menginjak ubin untuk memicu terbukanya pintu ruang bawah tanah. Aku berusaha mencari celah setiap lekuk-lekuk dari ruangan bawah tanah rumahku. Apa ini, ada potongan fotokopi kartu identitas penduduk di sebutkan namanya Nazril. Aku kemudian menaiki kembali anak tangga di ruang bawah tanah dan menuju ke atas. Lalu segera menelepon ayahku di kantor. “ Ayah, aku mau tanya. Dengan siapakah ayah melakukan transaksi ketika membeli rumah kita ini? ” Kataku. Ayahku menjawab secara spontan dan membuatku kaget. “ Dengan pak Nazril, sayang. Lagipula, orang itu sudah meninggal sewaktu kita pindah ke rumah itu. Sudah dulu ya Rifki, “ Ucap ayah. Aku membalasnya, “ tapi bagaimana ceritanya sampai Ia meninggal, yah? ”

“ Rifki, ayah sedang sibuk saat ini. Nanti ayah akan meneleponmu, ayah janji. “ Ungkap ayahku seraya menutup teleponnya. Selang beberapa jam, dering telepon berbunyi membahana di seluruh ruangan rumahku. Wah, ternyata ayah benar-benar menepati janjinya, Ia benar-benar meneleponku. Aku membuka pintu kamar, menuruni anak tangga lalu berlari menyusuri lorong menuju ruang tamu. Aku mengangkat gagang telepon. “ Halo, kamu Rifki.” Suara dari seberang telepon. Suara bapak - bapak dan agak parau. “ Dengar baik-baik anak nakal. Saya adalah mimpi terburuk kamu. Siapa yang suruh kamu tinggal di rumahku. Saya akan membuat kamu sangat menderita dan kamu tahu, saya akan membunuhmu malam ini juga.”  Teriak pria itu dari seberang telepon. Jantungku naik turun, gagang telepon terlepas dari tanganku.

Sungguh, aku merasa sangat lemas. Lutut-lututku terasa ngilu. Aku menuju pintu ruang tamu, memastikan lagi pintu, jendela telah terkunci. Aku menuju dapur, memastikan pintu dapur telah terkunci. Lalu menyusuri lorong kembali, menaiki anak tangga dan masuk ke kamarku. Mengunci jendelaku. Lalu aku turun ke bawah lagi dan menuju ruang tamu. Aku mencoba telepon ayah di handphone. Tetapi percuma saja, ayah tidak mengangkatnya. Ayah pasti akan kaget, ada sekitar dua puluh satu misscalled dari rumah. Apakah ayah sedang meeting sekarang? Jujur saja aku takut sekali dengan ancaman pria di telepon tadi. Aku terduduk di ruang tamu cukup lama. “ Memang salahku apa? Sampai aku ingin dibunuh. Aku kan tidak melakukan apa-apa. Sungguh menjadi pertanyaan besar untukku. “ Ucapku pelan

Tiba – tiba dalam kesendirian dan ketakutanku, aku dikagetkan oleh dering telepon yang menggema. Aku rasa volume telepon rumahku ini sangat besar. Telingaku saja hampir tak kuasa mendengarnya. Ini pasti ayah, pikirku. “ Halo selamat siang.” Ucapku. “ Rifki, ini ayah” Ucap suara dari seberang telepon. “ Ayah, aku tadi mendapatkan telepon ancaman. “ Ucapku penuh ketakutan sambil sesenggukan. Aku menceritakan secara rinci perkataan pria di telepon tadi. Ayah menjawab dengan sigap. Ia mengatakan bahwa ia masih ada di luar kota sekarang. Tadi ada pemberitahuan dari pimpinan proyek bahwa mereka harus meeting di pusat kota, tetapi akan kembali malam nanti. Ayah mengingatkanku untuk mengunci pintu dan jangan buka pintu kepada siapapun, nanti ayah akan hubungi Pak RT untuk mengecek keadaanku dan aku hanya boleh buka pintu, apabila Pak RT yang mengetuk pintu. Kemudian ia menutup teleponnya dan mengatakan bahwa ia menyayangiku. Aku menjawab, “ baik, yah. Aku juga sayang ayah. ”  Setelah kutunggu beberapa lama, pak RT belum datang-datang juga. Lalu ayah meneleponku kembali, ternyata pak RT beserta dengan keluarganya masih liburan ke Jogja. Ayah tidak bisa menghubungi ponsel pak Ilham atau istrinya, dari tadi ponsel mereka berdua berada di luar jangkauan area. Lalu bude Tati dan eyang Putri juga sedang ke Pekalongan, jadi tidak ada orang dewasa yang akan menjagaku. Berarti aku harus bisa menjaga diriku sendiri, pikirku. Ayah berkata bahwa aku harus tenang, diam di rumah sampai nanti malam ayah pulang.       

Dalam ketakutanku akibat ancaman mengerikan. Aku tetap memutar otakku, siapa pak Nazril ini. Kenapa dia sudah meninggal. Aku menghabiskan makan siangku dan tidak terlalu perduli dengan ancaman tadi, aku memutuskan untuk keluar rumah. Berusaha mencari titik terang atas kejadian aneh dan sangat janggal yang terjadi di rumahku. Aku berjalan sendiri di tengah teriknya matahari melewati sawah, kebun dan perumahan warga desa. Aku berjalan sambil berpikir, apa yang harus aku lakukan untuk menguak misteri ini. Aku sampai pada sebuah hutan yang sangat lebat. Apakah ini hutan yang tempo hari aku tempuh? Pikirku dalam hati. Aku terus berjalan dan memikirkan kenapa semua ini harus terjadi padaku. Aku berhenti di sebuah warung bubur kacang hijau dan memesan es teh manis kepada penjual, karena udara luar yang sangat panas. Lalu aku bertanya kepada penjual itu, apakah ia mengenal Pak Nazril.

Lalu penjual itu menjelaskan, “ pak Nazril itu dulu tinggal, di rumah jalan Wates 3 yang ada pohon jambu airnya” . Aku mengatakan padanya, “ Iya, pak. Itu rumahku yang sekarang aku tempati dengan ayahku” . Penjual itu berkata lagi, “ pak Nazril meninggal di Singapura sewaktu mengobati penyakit TBCnya selama bertahun-tahun. Ia dimakamkan di Singapura berdekatan dengan orangtuanya yang juga dikuburkan di sana. Tapi sebelumnya kami dengar ada desas-desus bahwa istri pak Ilham ada selingkuh dengan pak Nazril. Aku harus mengetahui ada apa gerangan ini, pikirku. “ Tapi memang den, istri Pak Ilham itu orangnya genit dan menikahi pak Ilham karena pak Ilham adalah salah satu orang terkaya di desa ini, dia itu adalah ibu tiri Roni. Kadang, bila Pak Ilham ke Sawah, Roni sering sekali di pukuli oleh ibu tirinya itu. “ Kami orang kampung tidak suka dengan istrinya itu. “ Ungkap penjual bubur itu dengan suara berbisik. Wah ternyata Roni adalah anak tiri nyonya Ifa. Setiap petunjuk menjadikan semua teka – teki ini menjadi menarik untuk diidentifikasi, pikirku.

Aku berjalan menyusuri jalanan kampung yang becek, sedang berpikir dan tanpa sengaja aku melewati rumah pak Ilham. Perlahan aku ke arah samping melewati rumahnya dan menuju ke arah pekarangan belakang rumah pak Ilham. Seorang wanita cantik berkerudung merah muda sedang bercakap-cakap di telepon sambil mengepulkan asap rokok dari kedua hidungnya yang bangir. Siapa wanita itu, wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutupi oleh gorden berwarna abu-abu transparan. Apakah itu nyonya Ifa? Tadi ayah mencoba telepon Nyonya Ifa, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Padahal nyonya Ifa sepertinya ada di rumah, ini sangat aneh menurutku. Aku masih menduga-duga, mengingat rumah pak Ilham, akhir- akhir ini sering dikunjungi keluarganya. Memang gorden bertirai abu - abu mengaburkan pandanganku ke dalam kediaman pak Ilham. Aku bisa mendengar jelas. Wanita itu memaki – maki orang di telepon genggamnya. “ Urus Ilham segera, atau saya yang akan mengurus pemakamanmu, dasar bodoh!” Bentak Wanita itu dengan kasar. “ Dasar manusia tidak berguna, apa tangan-tangan lentik ini yang harus mengurus semuanya ! “ Ungkap wanita itu dipenuhi senyuman sinis di wajahnya.

Bab IX

Petunjuk jitu

Klakson motor ayah terdengar jelas dari kejauhan. Wah ayah pulang cepat, pikirku. Aku melihat jam dinding berbentuk kereta api yang terpampang di atas pesawat televisi, di ruang tamu kami. Jarum jam, baru menunjukkan pukul 15.00. Ayah tiba di depan pekarangan rumah. Aku membuka pintu. “ Ayah, “ aku berteriak. Ayah turun dari motor besarnya dan melepas helmnya dan menaruhnya di kaca spion bagian kanan. Aku memeluk ayah, ayah terlihat sangat besar dengan jaketnya. Ayah menhujaniku dengan ciuman di leherku sesekali menggesekan kumis dan jenggotnya yang tipis, aku kegelian. Lalu Ia membuka tas ranselnya mengeluarkan sebuah kardus kecil berisi helikopter mini dengan remote dan dua buah batere. “ Wah, terima kasih ayah. “ Ucapku. Aku melihat mainan baru yang ayah berikan. Ini adalah mainan yang aku inginkan sejak dulu karena aku sudah melihat iklannya di layar televisi beberapa minggu lalu sebelum kami pindah di rumah ini. “ Kamu suka? “ Ucap ayahku. “ Iya, aku sangat menyukainya. “ Ayah menyodorkan pipinya dan menunjuk dengan jari telunjuk kanannya, sebagai aba-aba padaku untuk segera menciumnya. Aku mencium ayahku berkali - kali. Karena merasa senang dengan mainan yang dibelikannya. Setidaknya mainan ini bisa melupakan kejadian – kejadian aneh yang menyeramkan di rumah ini.

Kami berdua masuk ke rumah. Ayah duduk di sofa. Membuka kaos kaki dan sepatunya. Menaruhnya di rak sepatu dekat dengan sofa. Beranjak dari sofa membuka jaketnya, lalu membawa jaket dan ranselnya menyusuri lorong dan menuju ke kamarnya. Seperti biasa aku mengikuti ayah dari belakang. Aku berlari ke atas tempat tidurnya dan berguling-guling sesukanya. Ayah menaggantung jaketnya di gantungan pakaian di belakang pintu, menaruh ransel di atas meja kerjanya. Kemudian ia mengganti seragamnya dengan celana pendek dan kaos oblong. Aku melihat ayah mengangkat keranjang berisi pakaian yang kuangkut dari jemuran sebelumnya. Ia membawa keranjang itu dan menaruhnya tepat di depan lorong di depan kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang. Ayah menuju ruang tamu, mengunci pintu. Lalu berjalan kembali menyusuri lorong, membawa keranjang. Aku hanya mengikutinya dari belakang. Pasti ayah akan menyetrika baju-baju kami.

Oh Tuhan, aku melihat ada bayangan di ruang tamu dan sesosok manusia tertunduk di depan lorong rumahku.. Aku merasa sangat takut. Maka aku menarik baju ayah dari belakang. Aku berkata, “ ayah lihat ke sana. “  Ucapku sambil jari telunjukku menunjuk ke arah sosok itu. Ayah menoleh dan berkata, “ Memangnya ada apa Rifki, ayah tidak lihat apa apa di sana? “

“ Masak, ayah tidak lihat apa - apa, coba lihat baik – baik Yah “ ucapku keras

Ketika aku memperhatikannya kembali, sosok manusia itu melihat kami dengan tajam. Tapi percuma saja, ternyata ayah tidak lihat apa yang bisa aku lihat. Memang aku sudah menyadari sejak lama bahwa aku bisa melihat hal-hal yang tidak kasat mata dan sebagai anak indigo aku harus berani menghadapi hal-hal ini. Tidak tahu apakah talenta yang diberikan Allah ini adalah anugerah atau bencana. Sungguh ironis menurutku. Ayah tidak memusingkan apa yang kukatakan. Ia tetap menyusuri lorong dan menuju dapur, ayah sudah membuka meja setrikaan dan mulai menyetrika baju – baju kami. Aku mengisi air di ceret, lalu menaruhnya di atas kompor. Mengambil gelas dan menggunting satu sachet kopi dari dalam tempat penyimpanan roti tawar di dapur. Mengguntingnya dan menuangkannya dalam cangkir kopi ayah, lalu mengambil toples berisi gula dan menuangkan satu sendok teh ke dalamnya. Lalu aku mengambil sebuah gelas yang berukuran paling besar di rumah, itu adalah gelas air putih ayah. Menuangkan air putih ke dalam dan memberikan kepada ayah. Ayah menerimanya sambil tersenyum kemudian meminumnya hampir setengah dari isinya. Aku mengisinya kembali dan membawa gelas itu dan menaruhnya di atas meja makan.

Tiba -  tiba aku kaget, karena ceret berbunyi. Sudah mendidih, pikirku. Aku ke dapur, mematikan kompor lalu menuangkan air panas ke gelas yang berisi kopi dan mengaduknya menggunakan sendok berukuran mini. Aku membawa gelas itu menuju ruang makan dan menaruhnya di meja makan dekat dengan gelas besar ayah dan berkata, “ ayah kopinya sudah jadi ya. “  Ayahpun membalas, “ terima kasih Rifki. ”  Ayah sudah selesai menyetrika kemudian menyuruhku untuk membawa pakaianku ke kamarku. Ia merapikan meja setrika, melipat meja itu dan mendirikannya dekat dengan pintu belakang dapur yang bersebelahan dengan mesin cuci. Aku mengambil pakaianku dan menyusuri lorong, menaiki anak tangga dan menuju kamarku. Aku menaruh pakaianku di atas tempat tidur, kemudian membuka lemariku. Sekonyong – konyong muncul sebuah kepala bocah yang seusia denganku, berlumuran darah, kedua matanya hampir keluar dan di kepalanya ada bekas bacokkan. Aku berteriak dan spontan membanting pintu lemari, “ tidakkk. “

“ Rifki, kamu kenapa. “ Ayahku berteriak dari lorong di bawah. “ Tidak yah, tidak apa – apa. “ ucapku datar. “ Kamu ini buat ayah panik saja. “ Suara ayahku dari lorong, dan lama – kelamaan menghilang. Percuma saja aku berkata padanya, pasti ayah juga tidak percaya. Memang benar, ketika aku membuka kembali lemariku. Tidak ada apa di sana, bahkan setetes darahpun tidak nampak di sana Lalu aku memasukan pakaianku satu persatu ke dalam lemari. Sore menjelang, matahari mulai menunjukkan kesederhanaannya dengan menyelinap masuk secara perlahan di ufuk barat. Biasanya kalau sudah sore, ayahku berolahraga lari keliling desa. Dan akan kembali ke rumah menjelang mahgrib. Ayah berteriak dari bawah, “ Rifki, ayah olah raga dulu ya. “

Aku menjawab, “ baik yah, jangan malam – malam ya pulangnya. “ Aku berlari menuruni tangga dan menyusuri lorong untuk menuju kamar ayahku. Ayah sudah berganti pakaian dengan shorts dan baju olah raga yang menonjolkan otot-otot lengannya yang kokoh. Ia memakai sepatu sport yang sangat keren. Dan aku juga punya versi juniornya untuk sepatu itu. Hehehe. Ayah membuka pintu, melakukan pemanasan lalu mulai berlari.  

Bab X

Ayah Pulang Lebih Awal

Kemudian aku menutup dan mengunci pintu, mengunci jendela dan membantingkan diri di sofa sambil menyalakan remote televisi. Setelah bosan menonton acara televisi yang itu – itu saja. Aku mematikan televisi dan segera menyusuri lorong dan menaiki anak tangga menuju kamar mandiku dan segera menyalakan shower. Pegal kurasakan di seluruh tubuhku, aku mengeringkan tubuhku dan mengambil pakaian bersih di lemari dan bersandar sejenak di tempat tidur. Pikiranku melayang dan berusaha memecahkan teka - teki ini. Aku keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Aku mendapati seorang anak sedang duduk di kursi di ruangan makan.

“ Roni, apakah itu kamu? “ Ungkapku pelan. Sosok yang nampak tidak nyata itu tiba-tiba menangis dan perlahan satu - persatu anggota tubuhnya terlepas dari tubuhnya. Pemandangan itu sangat mengerikan. Tubuhnya mengeluarkan darah dan bau busuk, aku tidak tahan berada di dekatnya. Kemudian aku membuka pintu dan aku terperanjat kaget, Maman, Ridwan dan Dodi yang adalah ketiga kuli bangunan pak Ilham sedang di berdiri depan pekarangan rumahku. Masing-masing dari mereka membawa celurit, pisau belati dan botol minuman keras yang dasarnya telah dipecahkan. “ Hei bocah, semalam kamu nguping pembicaraan kami ya? ” Kata Ridwan dengan nada kasar. Aku mulai bergidik ngeri. Dengan terbata - bata aku mengatakan, “ tidak dan aku tidak mengerti pembicaraan apa ya pak, maksudnya ? ” Berpura – pura tidak mengerti apa yang sedang dibicarakannya.

“ Sudah tidak usah pura-pura.” Kata Maman. Aku semakin ngeri, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Aku bisa saja dibunuh didepan rumahku, pikirku. Sungguh mengerikan. Tiba - tiba aku melihat seorang anak keluar dari semak-semak dari pekaranganku. Itu adalah arwah Roni, jujur saja wajahnya sangat mengerikan. Dari matanya keluar darah kental, di sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka dan bernanah, tangan kirinya lepas dari lengannya, pahanya lepas dari pangkal paha. Tiba – tiba Roni merangkak menuju ketiga kuli bangunan yang sedang menggila untuk mencoba membunuhku. Ketiga kuli bangunan itu lari tunggang langgang dan berteriak, “ Setaaaaannnnnn !!! ” Aku bersyukur karena Roni telah menolongku. Aku masuk ke dalam rumah dan segera mengunci pintu, aku segera menuju ruang makan dan mencari apakah ada makanan yang bisa aku santap untuk mengganjal perutku, sebelum makan malam.     

“ Rifki! “ Suara dari balik pintu ruang tamu. “ Thanks God, “ Ucapku. Ayah akhirnya tiba dari olah raga sorenya. Ia mengetuk pintu. Aku berlari menyusuri lorong menuju ruang tamu. Membuka slot pintu ruang tamu dan berteriak, “ ayah. “ Ayah terlihat sangat kelelahan dan tubuhnya berkilat, bersimbah keringat. Ia kemudian membuka kaos kaki dan sepatu sportnya. Aku senang sekali dengan kedatangan ayah, lalu aku menceritakan secara mendetail kejadian yang baru saja aku alami. Ayah berkata dan merasa heran mengapa ketiga kuli bangunan itu ingin menyakitiku. Ayah bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku menjawab tentu saja, karena aku tadi di tolong oleh Roni. Ayah mempercayai keseluruhan ceritaku tapi tidak percaya tentang kemunculan Roni dari semak-semak pekarangan rumah, itu adalah omong kosong. Pikirku, ya sudahlah kalau ayah tidak percaya. Ayah sangat marah dan mengatakan, bahwa ia tidak akan tinggal diam dan melaporkan ancaman ketiga kuli bangunan pada polisi. Ayah memutar nomor telepon polisi terdekat dan menjelaskan kejadian yang baru saja aku alami kepada polisi. Tapi ayah berkata bahwa, ia membutuhkan bukti untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara atas usaha percobaan pembunuhan terhadap diriku. Setelah bekata demikian, ia bersender sejenak di sofa dan menghela nafas panjang.

Ayah menaruh sepatu dan kaos kakinya di rak sepatu yang ada di ruang tamu. Lalu menyusuri lorong dan menuju dapur. Mencuci tangan, kemudian mengambil sayuran segar dan sekerat daging dari kulkas. Mencuci sayuran dan merendam daging sapi itu. Ayah akan memasak makan malam untuk kami berdua. Aku mengambil kursi kecil dan duduk di meja dapur yang berada di pojok dapur. Aku akan menonton ayahku memasak, ia sangat piawai dalam memasak. Ayah membuka lemari gantung yang berada di atasnya. Mengambil sebuah wadah berisi bumbu dapur. Memilihnya, lalu mencucinya. Kemudian mengambil panci, mengisinya dengan air mentah yang ditadahnya dari keran tempat pencucian piring. Ia menaruh panci itu ke atas kompor dan menyalakan kompor. Lalu mengambil talenan dan memotong daging berukuran dadu, yang telah ia rendam dalam air. Memotong cabai, bawang dan beberapa bumbu dapur lainnya. Meraciknya lalu memasaknya. Ayah sangat cekatan, hanya membutuhkan waktu satu jam saja. Ayah sudah selesai memasak.

Ayah menaruh masakannya di dalam sebuah mangkuk keramik berwarna putih bercorak bunga mawar berwarna merah di bagian pinggirnya dan menyuruhku menaruhnya di ruang makan. Aku membawa dua piring berisi sayur dan semur daging yang dibuat ayah, lalu menyusuri lorong dan menaruhnya di ruang makan, lalu menaruh panci – panci kotor di tempat cucian piring. Tanpa diperintah ayah, aku mencuci semua perlengkapan masak ayah. Dan ayah membersihkan kompor dengan lap basah. Dan juga membersihkan meja di dapur karena kotor oleh minyak dan bumbu dapur. Ayah mengambil sampah yang sudah penuh kemudian menyusuri lorong dan menuju ruang tamu untuk membuang sampah yang sudah penuh itu ke bak sampah yang ada di pekarangan rumah kami. Saat ayah menuju ruang tamu, aku mendengar ada yang terseok - seok di belakangku. Aku tidak mau menoleh ke belakang, itu pasti Roni. Aku berkeringat dingin dan tidak konsentrasi dalam mencuci piring. Sesosok itu mendekatiku lalu menempel di telingaku. Aku hampir berteriak seketika Tetapi tidak sampai dua menit, ayah telah kembali dan menaruh tempat sampah di tempatnya. Syukurlah, pikirku. Mahkluk halus itu tiba - tiba menghilang, karena kemunculan ayahku. Aku meneruskan mencuci perabotan memasak ayah, setelah itu pasti ayah akan mandi.       

Aku memegang tangan kiri ayah. Ayah berkata, “ kamu ini, selalu saja ikut ke mana ayah pergi. “ Aku tidak memperdulikannya. Ayah menutup gorden jendela kamarnya. Kemudian Ia membuka celana dan baju olah raganya melemparnya ke keranjang kotornya. Dan meninggalkanku sendirian karena segera masuk ke kamar mandi.  Aku duduk di meja kerja ayah, yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Kemudian menyalakan komputer ayah.

Aku senang menghabiskan waktu bermain game di komputer ayah, daripada di laptopku sendiri. Butuh dua menit supaya screen dapat menyala dengan sempurna. Tiba – tiba microsoft outlook milik ayah terbuka secara otomatis dan ada ketikan muncul di layar: “ Tolong, tolong aku. “ Aku merasa kaget, karena aku tidak mengetik apapun. Karena takut, aku langsung menekan tombol on / off supaya komputer segera shutdown. Layar komputer kemudian menjadi gelap. Tetapi aku tiba - tiba tersontak kaget, karena komputer tiba - tiba menyala secara otomatis dan outlook kembali terbuka dan ketikan: “ Tolong, tolong aku. “ Ketikan itu berulang –ulang tampil di sana hingga menjadi sebuah paragraph panjang. Aku menekan tombol on / off  kembali dan segera beranjak dari kursi yang berada di depan meja kerja ayah. Aneh dan tidak masuk akal.

Ayah sudah selesai mandi, aku tidak mau cerita dengan kejadian yang baru saja terjadi. Tetap percuma saja bila aku cerita. Ayah juga tidak akan percaya, lebih baik aku cerita saat semua kejadian ini terkuak dan aku sudah memegang semua bukti, pikirku. Ayah sudah keluar dari kamar mandi dan telah mengganti pakaiannya. Ayah berkata, ayo kita makan malam. Ayah menjemur handuknya di jemuran mini yang terletak di samping kamar mandinya. Kemudian membuka pintu, menyusuri lorong dan menuju ruang makan. Aku mengikuti ayah dari belakang. Ayah duduk dan aku menimba nasi putih dari rice cooker dan memberikannya kepada ayah. Aku menimba nasi di piringku, lalu menaruhnya di meja. Ayah meyendok sayur, mengambil beberapa potong semur daging dan membasahi nasinya dan nasiku dengan kuah semur daging. Kami bercerita banyak hal dan aku minta ayah untuk cuti dan sekali waktu menghabiskan satu hari untukku. Ayah mengangguk dan telah memilih satu hari cuti saat Ia sudah menyelesaikan pendingan pekerjaannya. Aku sangat excited mendengarkannya.    

Selesai makan, aku membawa piring kotor ayah dan piring kotorku. Aku menuju dapur dan mencucinya. Ayah berseru, bahwa ia akan ke ruang tamu dan menonton televisi. Akupun mengikutinya dari dapur dan ikut duduk di sofa, berdekatan dengan ayah. Saat kami menonton televisi, entah sudah berapa kali aku melihat bayangan yang lalu lalang melewati kami. Aku sangat sensitif bila ada sesuatu yang aneh terjadi di sekelilingku. Ayah sama sekali tidak menyadarinya. Aku berusaha tetap fokus pada acara yang kami tonton dan tidak memusingkan hal – hal mistik yang terjadi di sekelilingku. Itu mungkin akan lebih menenangkan menurutku.

     Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. Ayah menyuruhku tidur. Aku memang sudah sangat mengantuk. Dengan posisi tubuh yang malas-malasan aku bangkit dari sofa. Mengucapkan selamat tidur kepada ayah, lalu aku menyusuri lorong dan menaiki anak tangga untuk menuju kamarku. Sesampai di kamar, aku menutup gorden dan menuju kamar mandi, menggosok gigiku, cuci tangan, muka dan cuci kaki. Lalu mengeringkannya dengan handuk kecil. Mengganti pakaianku dengan piyama lalu segera naik ke atas tempat tidur. Aku mendengar ayah naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku. Ayah duduk di samping tempat tidurku. Ia mencium dahiku dan memelukku. Iapun berkata bahwa ia sayang padaku. Akupun bangkit dari posisi tidurku, mencium pipinya dan berkata bahwa aku juga sangat menyayanginya dan juga ibu. “ Terkadang aku sangat rindu ibu. “ Ucapku. Ayahpun berkata bahwa Ia juga sangat merindukan ibu. Kasihan ayah, pikirku. 

Sumber: liputan6.com
Sumber: liputan6.com

Bab XI

Rahasia Terkuak

Ayah beranjak dari tempat tidurku lalu keluar dari kamarku. Aku kemudian mengatakan kepadanya, “ Sampai besok yah.” Ia menoleh dan tersenyum padaku. Tadi aku merasa sangat mengantuk. Tetapi, setelah ditinggalkan ayah, aku merasa takut dan rasa kantuk yang melandapun sekejap sirna. Aku beberapa kali bolak - balik di tempat tidur dan tetap tidak bisa tidur. Dalam tidur ayamku, aku merasakan ada sesosok manusia sedang mengamatiku. Orang itu berdiri di samping tidurku. Ia memiliki sorotan mata berwarna merah. Aku menarik selimutku menutupi wajah. Kemudian aku menarik turun selimutku. Sosok manusia itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Lalu di luar kamarku, aku mendengar ada yang memanggil namaku berulang – ulang. “ Rifki, Rifki ayo ikut aku. “ Suara itu berangsur-angsur menghilang. Aku turun dari tempat tidurku, membuka pintu kamarku. Deritan pintu kamarku menambah tegangnya suasana di hatiku. Ada seorang anak kecil yang berdiri di bawah, anak itu mengisyaratkan supaya aku ikut dengannya. Perlahan aku menuruni tangga. Lalu bergegas menyusuri lorong. Anak itu sudah berdiri tepat di pintu masuk menuju ruang bawah tanah.

Aku menuruni anak tangga, kuperhatikan anak itu menuruni tangga sangat cepat sekali. Tiba – tiba aku mengalami sebuah penglihatan. Aku seperti dibawa pada suatu malam di mana Roni, nyonya Ifa dan pak Nazril ada di ruangan bawah tanah ini. Ruangan bawah tanah ini seolah nyata dan hidup di hadapanku. Obor lampu di sejumlah titik di ruangan bawah tanah berkobar-kobar. Anak tangga terlihat sangat bersih, setiap lukisan dan ornamen yang berada di ruangan itu terlihat sangat hidup. Kolam di tengah memancarkan kesegaran, air mancur di tengahnya menambah kesemarakan ruangan bawah tanah ini. Ikan – ikan kecil dan katak pun yang berada di kolam ikut menghiasai kolam mini itu. Beberapa tanaman gelombang cinta dan bougenville ada di sudut kolam. Hidup berdampingan seolah ingin beradaptasi, karena dalam sebuah ekosistem yang saling bergantung satu sama lain.

Aku menuruni anak tangga perlahan, kemudian dengan bertumpu pada sebuah arca batu di pinggir tangga. Aku menghentikan langkahku, kemudian duduk menghadap pada kronologis sebuah kejadian yang mungkin akan menguak rahasia kematian Roni. Sekonyong-konyong penglihatanku berubah dan aku dibawa kepada suatu tempat. Iya, itu adalah rumah pak Ilham. Tepat di ruang tamunya yang berukuran sangat besar.

Nyonya Ifa, berkerudung merah marun, memakai khaftan mewah berwarna merah tua yang di padukan dengan sepatu boot berwarna hitam. Wajahnya sangat cantik, matanya tajam sangat sempurna dengan kulit wajah yang halus bak pualam. Ia memegang tangan pak Nazril, yang saat itu mengenakan kemeja tangan panjang garis-garis, celana hitam dan sepatu putih dengan list hitam di bagian pinggirnya dan berkata, “ Aku hanya butuh sedikit waktu untuk menyingkirkan Ilham Sanusi. Lalu kita akan bersama. “

Pak Nazril berkata, “ Apa kamu yakin dengan semua ini? Tidak akan semudah itu Ifa. “

“ Aku yakin, aku harus mendapatkan hartanya dan setelah itu kita akan menikah kan Nazril. Kamu tahu bahwa aku tidak pernah mencintai Ilham, Ilham hanya seorang pria bodoh yang berkantong tebal. “ Ucap Nyonya Ifa dengan nada menggoda, sambil kepalanya di senderkan ke dada Pak Nazril. 

Aku melihat Roni berdiri di belakang kamarnya, memperhatikan dengan baik gerak-gerik dan percakapan antara pak Nazril dan ibu tirinya, Nyonya Ifa. Tanpa sengaja, siku Roni menyenggol rak kecil yang berada tepat di belakangnya dan menjatuhkan keramik kucing kecil berwarna coklat dan “ praannnggg. “  Keramik itu pecah tercerai berai.

Mata nyonya Ifa terbelalak kaget dan melihat Roni berada di belakang kamarnya. Nyonya Ifa naik pitam karena Roni berada di sana cukup lama dan mendengarkan pembicaraan mereka. Nyonya Ifa dengan nafas terengah-engah karena merasa marah, segera mengambil kampak pak Ilham yang terletak di depan pekarangan rumahnya dan menuju ke arah Roni. pak Nazril berusaha melindungi Roni supaya tidak dibunuh. Kedua tangannya berusaha mencegah nyonya Ifa. Dalam penglihatan yang samar-samar itu, tiba-tiba pak Ilham, ayah Roni muncul. Ia memukul kepala istrinya nyonya Ifa, karena melihat perselingkuhan terkutuk itu secara langsung. Nyonya Ifa jatuh terjerembab ke lantai. pak Ilham mengambil kampak dari genggaman nyonya Ifa, lalu mengayunkan kampak itu ke pak Nazril. Pak Nazril mampu mengelak sabetan kampak yang diayunkan pak Ilham. Untung tak dapat di raih, malang tak dapat dihindari. Sabetan kampak mengenai kepala Roni putranya. Pak Ilham, panik karena tidak sengaja membunuh putra kandungnya sendiri. Hal itu membuat ia semakin naik pitam, ia mencabut kampak yang menghujam tubuh Roni dan menyabet secara membabi buta, yang mengakibatkan tangan Pak Nazril terputus, lalu membacok leher Pak Nazril. Seketika itu juga pak Nazril jatuh, bersimbah darah dengan kepala yang hampir terputus dan juga tangan terputus. Pak Ilham menggendong istrinya yang pingsan ke ruang tidur mereka.

Masih dalam penglihatanku. Dengan kepanikan teramat sangat, pak Ilham mengunci pintu ruang tamunya. Lalu memotong jenazah Roni dan Pak Nazril menjadi beberapa bagian. Untuk menutupi bukti. Setelah membaginya ke dalam beberapa plastik. Ia mulai ke empang, menguburkan bagian kepala dan tubuh Roni. Membawa potongan pahanya dan jari – jari Roni yang telah di masukkan ke dalam plastik hitam dan jenazah pak Nazril yang telah di potong, dimasukkan ke dalam karung dan menyeret potongan-potongan tubuh itu ke ruang bawah tanah rumah pak Nazril dan menguburkannya di sana. Lalu pak Ilham membersihkan setiap noda darah yang tercecer dan menyembunyikan semua barang - barang bukti. Kampak di cuci dan di taruhnya di dalam bagasi mobil Honda jazz yang terpakir di depan pekarangan rumahnya. Pakaian kerja yang terkena darah di mana-mana, di bungkus dan dimasukan ke dalam plastik. Lalu pak Ilham mengganti pakaiannya dan mengenakan pakaian yang casual dan membawa potongan kaki serta tangan Roni ke tengah hutan belantara dan menguburkan sisa potongan jasad Roni, kampak, pakaiannya yang berlumuran darah di sana.

 Nyonya Ifa siuman satu jam kemudian setelah kepalanya dipukul oleh suaminya. Pak Ilham pulang ke rumah dan nyonya Ifa, sambil berlinangan air mata memohon maaf kepada pak Ilham karena telah berselingkuh. Ia mengatakan bahwa hubungannya dengan Nazril sudah berakhir. Nyonya Ifa bertanya di mana Roni. Sepertinya akibat pukulan ke punggungnya yang cukup keras, nyonya Ifa lupa bahwa ia yang ingin membunuh Roni. Dengan santai, pak Ilham mengatakan bahwa Roni tadi minta diantarkan ke rumah temannya di desa sebelah. Karena besok ada kemping untuk anak-anak pramuka. Aku shock, terperanjat menyaksikan penglihatan itu. Aku berpikir, pasti Roni sangat ketakutan saat sabetan kampak ayahnya mengenai dia. Pak Nazril pun harus menutup usia di saat ingin menyelamatkan diri, sungguh tragis. Aku tidak tahu apakah dari kejadian ini aku harus melaporkan kepada polisi atau tidak. Karena aku harus menemukan sisa tulang Roni, baru kasus ini bisa diungkapkan pada polisi.

Aku melihat dari kejauhan. Roni tersenyum padaku. Sebenarnya hal inilah yang ingin diperlihatkannya padaku. Aku menaiki anak tangga, seketika pintu ruang bawah tanah tertutup. Aku sontak kaget dan berteriak, “ Roni, bukannya aku sudah mendapatkan penglihatan itu dan aku akan membantumu mencari tulang-tulangmu. Lalu apa lagi. “ Tiba – tiba di anak tangga tempatku berpijak, di penuhi oleh berbagai jenis ular. Aku tidak mampu melihatnya. Lalu aku melihat Roni dari kejauhan. Sekonyong - konyong ada ular berwarna coklat kehitam - hitaman keluar dari kedua indera penciuman Roni, dari telinganya keluar dua ekor ular pohon berwarna hijau dan dari mulutnya keluar ular piton. Bola mata Roni seketika keluar dari tempatnya dan menggelinding. Ular yang keluar dari mulut Roni, turun ke bawah dan menyantap kedua bola matanya dan menelannya begitu saja.

Tiba - tiba Roni berjalan mendekatiku, ia meronta – ronta kesakitan. Matanya mengeluarkan darah dan bisa kulihat dengan jelas ada belatung dan cacing kecil di seputar area matanya. Dari tangan-tangannya keluar belatung berbau anyir dan cacing-cacing tanah keluar dari pori - pori kulitnya. Sekejap tangan Roni lepas dari tungkainya. Punggung Roni terbelah menjadi dua, paha dan kakinya lepas dari pangkal pahanya, begitupula jari-jarinya pun lepas dari tangannya. Itu belum seberapa, tangan dan jari-jari Roni merangkak perlahan menaiki tubuhku. Aku merasa jijik bercampur ngeri, aku berusaha menghalau jari dan tangan itu menaiki tubuhku. Aku berusaha beranjak dari tempatku berdiri. Aku berusaha menaiki anak tangga dan menghindari ular yang melingkar-lingkar di mata kakiku. Aku berlari dengan cepat menaiki anak tangga dan sampai pada pintu ruang bawah tanah.

Aku menggedor-gedor pintu itu dan berteriak minta tolong. Memohon pada ayah supaya membukakannya dari luar. Tiba – tiba pintu terbuka dan ayah berada di balik pintu, aku memeluknya. Aku takut sekali Yah. Agak aneh menurutku. Karena ayah terasa sangat dingin, wajahnya terlihat membiru. Ayah berjalan dengan tatapan kosong, menyusuri lorong dan menuju ke ruang tamu. Ayah duduk di sofa dan aku mengikutinya dari belakang. Ayah yang duduk di sofa tiba-tiba memegang kepalanya dan mencabut kepalanya dan menaruhnya tepat dipangkuanku. “ Tidakkkkk. “ Teriakku ditengah malam memecah keheningan. Tubuh ayah sekonyong-konyong meluber dan menjadi cairan kental. Aku bergidik ngeri dan perasaanku bercampur aduk. Aku beranjak dari kursi ruang tamu, berlari menyusuri lorong dan menaiki anak tangga, Sekejap aku dikagetkan dari belakang oleh sebuah suara parau seorang Bapak-bapak, Wajahnya mengerikan seperti serigala jadi-jadian. Hampir seluruh wajahnya membusuk dan nafasnya berbau busuk. Aku merasa sangat jijik dan ketakutan. Lututku gemetaran, jantungku berdegup kencang. Sekonyong-konyong permukaan tangga menjadi licin dan aku terjatuh ke dasar lantai. sangat gila, pikirku. Berapa kali aku harus mengalami kejadian mengerikan seperti ini. Kakiku sangat sakit dan ngilu, sulit bagiku untuk berdiri, aku masih shock dengan kejadian demi kejadian yang sangat mengerikan ini.

Saat aku berdiri, aku melihat pria itu lagi ia mengejarku dan aku mengambil langkah seribu. Berlari melewati kolam di tengah dan sampai pada pojokan ruangan ini. Aku terduduk, karena tiba-tiba kakiku kram. Lalu tanpa sengaja tanganku menekan sebuah batu dan seketika terbuka sebuah ruangan rahasia lagi. Apa ini, pikirku. Aku masuk ke dalam, aku berharap pria tua menyeramkan itu akan meninggalkanku. Ada sebuah pemandangan yang sangat indah dan artistik di dalam ruangan itu. Ada beberapa ukiran indah dan tiga buah arca terindah yang pernah kulihat. Sebuah lukisan bergambar dua wanita Belanda dengan pakaian zaman Renaisance. Luar biasa indahnya pikirku. Aku berjalan sejenak dan menikmati betapa damainya tempat ini. Aku melewati beberapa tikungan dan terlihat dari kejauhan tulang-tulang tengkorak berserakan. Ya Tuhan, apa itu. Apakah ini tulang-tulang Roni dan pak Nazril ? pikirku dalam hati.

Aku keluar dari ruangan itu dan saat kuperhatikan. Semua tampak normal, tidak ada yang mengerikan seperti ular ataukah dua sosok yang mengerikan itu. Aku berlari menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan. Sesampai di ujung tangga teratas, aku merasa excited karena pintu ruang bawah tanah yang berhubungan dengan dapurku tidak tertutup. Aku segera keluar dari sana. Berlari menuju lorong dan menaiki anak tangga. Aku segera masuk ke kamarku. Masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower, aku memikirkan bagaimana hal – hal yang menjijikkan terjadi di ruang bawah tanah. Aku harus membersihkan tubuhku. Saat aku hendak mengambil sabun cair. Aku memegang sebuah benda lunak, saat aku mengambilnya, aku memegang sebuah tangan manusia yang hampir membusuk dan seketika dari langit-langit kamar mandiku berjatuhan cacing – cacing tanah dan belatung berukuran besar mengenai tubuhku. Aku kaget dan segera meloncat keluar dari kamar mandi. Waktu yang aku habiskan untuk mandi dan membersihkan tubuhku, menjadi sangat percuma. Aku merasa sangat jijik dengan apa yang baru saja kualami. Aku keluar dari kamar mandiku, membuka pintu kamarku, menuruni tangga dan menyusuri lorong untuk mandi di kamar mandi bawah.  

Bab XII

Jalan – jalan dengan ayah

Malam berganti subuh dan subuh menjelang pagi. Tetesan embun membasahi dedaunan hijau yang tumbuh liar di tanaman - tanaman sekeliling rumahku. Ayam jantan berkokok membantu penduduk untuk bangun dari lelapnya kegelapan malam. Aku bangkit dari tempat tidurku. Membuka perlahan dua buah daun jendela kamarku. Aku bisa mencium kesegaran aroma pagi yang menenangkan. Serangga berjalan menyusuri kayu jendelaku. Burung – burung menebarkan kemolekan sayapnya. Ratusan semut berjalan di pepohonan menyusuri ranting-ranting kecilnya. Hari ini ayah cuti dan ia berjanji, ia akan bersamaku sepanjang hari. Kejadian aneh dan mengerikan yang terjadi semalam, tetap aku rahasiakan di dalam hati. Bahkan aku tidak akan menceritakannya pada ayah. Aku membuka pintu kamarku. Kemudian menuruni anak tangga dan sampai pada lorong dan menuju ke ruang makan.

Pagi ini, aku yang akan menyiapkan sarapan untuk ayah dan aku. Karena ayah pun pasti masih tidur. Aku mengambil 4 butir telur ayam, tomat dan sayuran dari kulkas bagian bawah dan mengambil daging sapi yang telah dipotong pipih dari freezer. Lalu menuju ke dapur, merendam daging sapi ke dalam sebuah wadah plastik, mencuci tomat dan sayuran lainnya. Dan mengambil panci berukuran kecil, menyalakan keran dan menadah airnya ke dalam panci. Kemudian aku meletakkan telur ke dalamnya dan menaruh panci di atas kompor. Aku menyalakan kompor. Setelah itu aku mengambil kuali memasukan minyak ke dalamnya dan menyalakan kompor. Kemudian mengambil daging sapi pipih yang telah direndam dan memasukannya ke dalam kuali yang telah mendidih untuk menggoreng daging sapi tersebut. Sekitar 20 menit, pasti air untuk merebus telurnya sudah mendidih. Kulihat, air di dalam panci menimbulkan gelombang yang besar, kurasa sudah matang telur-telur ini, pikirku. aku mengangkat panci itu, membuang airnya dan menggantinya dengan air keran supaya telur-telur itu menjadi dingin. Kemudian aku meniriskan daging sapi yang telah di goreng. Setelah itu, 10 menit kemudian aku mengupas ke empat telur tersebut. Memotong-motong telur, daging sapi yang telah matang, tomat dan sayuran pendukung lainnya. Lalu aku menuju ke ruang makan mengambil roti tawar. Menyusun setiap helai daging, telur, tomat dan sayuran di atas roti tawar dan menuangkan sedikit mustard yang baru dibeli ayah dari lemari gantung di dapur. Lalu aku menaruh roti tawar di atasnya. Jadilah sudah, sarapan untuk ayah. Aku pun membuatkan satu juga untuk diriku.

Setelah itu, aku membuatkan minuman panas dari dispenser berupa kopi dan teh panas untuk ayah dan aku. Aku menyiapkan sarapan sederhana itu di atas meja makan. Kemudian aku mencuci perabotan memasak yang kotor, setelah membuatkan sarapan super kilat ini. Kemudian aku menyusuri lorong dan menaiki anak tangga. Saat kaki kananku menginjak anak tangga yang kedua, aku merasakan seperti ada seseorang berpakaian putih sedang menatapku dari arah pintu ruang tamu. Aku berteriak, “ siapa di sana ?” tidak ada suara balasan. Seketika aku mencium wewangian beraromakan bunga kamboja. Aku sungguh heran dan ngeri, pagi-pagi seperti ini berbau bunganya orang mati. Aku takut setengah mati dan segera menaiki anak tangga dan menuju kamarku. Aku mengunci kamarku, aku menarik handukku dari jemuran mini di kamarku. Lalu menyalakan shower. Dinginnya bukan main, air mancur ini seperti air es, pikirku. Walupun dingin, tetapi sangat menyegarkan. Aku menggosok tubuhku. Tiba – tiba aku merasakan ada yang aneh kenapa tiba-tiba tubuhku berlendir. Saat aku menegadah ke atas, ternyata cacing-cacing berukuran kecil keluar dari lubang - lubang showerku bercampur dengan darah kental. “ Hoeekkkk, “ seketika itu juga aku muntah karena melihat cacing- cacing itu dan bau busuk yang ditimbulkannya.

Aku membuka pintu kamar mandiku, berlari keluar sambil membersihkan cacing-cacing yang menjalar di tubuhku. Lantai kamarku seketika menjadi kotor dan berbau busuk akibat cacing dan cairan darah yang kental. Aku berusaha kembali ke kamar mandiku untuk membersihkan tubuhku dengan menggunakan air yang berada di ember. Saat kubuka pintu kamar mandi, tidak ada cacing atau noda sekalipun. Ini benar-benar gila. Lalu aku membersihkan tubuhku. Menyemprotkan sabun cair ke atas telapak tanganku dan membersihkan tubuhku hingga tuntas. Setelah bersih, aku keluar kamar mandi. Dan kejanggalan terjadi kembali, tidak ada bekas cacing atau noda darah di atas kesetku atau di lantai kamarku. Apakah ini adalah ilusiku juga. Aku membuka lemari pakaianku, mengambil  salah satu t-shirt bola dan celana pendek army kesukaanku lalu mengenakannya. Kemudian aku membuka pintu kamar, menuruni anak tangga, menyusuri lorong dan memuju kamar ayah.

Sambil mengetuk pintu kamar ayah, aku berteriak, “ ayah, ayah sudah bangun belum? “  Aku membuka pintu kamar ayah ternyata tidak dikunci. Aku masuk ke dalam kamarnya dan menaiki tempat tidurnya dan menarik tangan ayah. “ Ayah, ayo bangun. Hari ini kita kan akan jalan-jalan.” Ucapku. Ayah membuka matanya perlahan, sambil berkata, “ Rifki, kamu ini ganggu tidur ayah saja. Sana, main dulu jangan ganggu ayah tidur.” Aku berteriak, “ tapi, ayah kan sudah janji, akan mengajakku jalan-jalan. “ Ayah membalasku dengan berkata pelan, “ iya, sayang. Tapi tidak jam segini juga kita jalan-jalannya. Lihat itu masih pukul 07.00 pagi. “  Apa, masih sepagi ini, aku saja tidak menyadarinya, pikirku. Lalu aku merebahkan tubuhku di samping ayah. Dan ayah bilang, “ lebih baik kamu tidur lagi. Nanti kita jalannya jam 09.00 saja. ” Sambil tangannya memelukku dari belakang. Setelah ayah mengatakan itu, Ia malah tidak bisa tidur. Dasar ayah, ada-ada saja deh, pikirku. Lalu Ia mengelitiki perutku. Aku tertawa terbahak-bahak dan memutar-mutar di atas tempat tidurnya. “ Sudah-sudah nanti seprei ayah berantakan kemana-mana.” Ucap ayahku.

“ Ayah, aku sudah membuatkan sarapan untuk ayah dan aku juga sudah mandi. Aku sekarang sudah siap untuk jalan-jalan dengan ayah.” Kataku. “ Anak pintar, sini ayah cium dulu. “ Aku mendekatinya, seketika itu juga ayah mengelitiki perutku dan menciumku menggunakan kumis dan jenggot halusnya. Aku berontak kegelian, Aku berteriak, “ sudah ah Yah, aku kan ga kuat kalau dikelitiki.” Lalu, ayah melepaskan aku dari dekapannya dan bangkit dari tempat tidurnya, kemudian menyambar handuknya dari jemuran kecil di samping pintu kamar mandinya. Ayah menutup pintu kamar mandi dan aku tetap di atas tempat tidur. Tiba-tiba pintu kamar ayah terbuka, sekelebat bayangan seperti baru saja lewat di depan kamarnya. Aku turun dari tempat tidur ayah dan berjalan menuju pintu kamar ayah. Saat aku mendongakan kepala, aku melihat asap hitam berada di sepanjang lorong rumahku. Asap itu membentuk sesosok tubuh manusia dengan ukuran yang sangat besar. Aku bisa melihat sorotan matanya yang menyala oleh kobaran api. Kemudian, sekejap asap itu seperti menghilang menuju dapur dan masuk melalu celah-celah pintu belakang. Sangat mengerikan rumahku ini.

Ayah sudah selesai mandi dan sementara mengeringkan tubuhnya, Ia mengenakan celana jeans dan t-shirt bola kegemarannya. Hari ini aku akan kembaran dengan ayah. Ayah menyemprotkan parfum ke bagian ketiaknya dan aku tidak mau kalah mengangkat kedua tanganku. Ayah tersenyum dan menyemprotkan parfum mahalnya ke tubuhku. Ia lalu menjemur handuknya. Kami berdua menuju ruang makan, ayah duduk di kursi makan membuka tutup gelas kopinya. Ia meminumnya dan kaget dengan roti daging yang aku buat. “ Anak ayah ternyata sudah jago buat roti dagingnya. “ Ucap ayah. Kami berdua menyantapnya dan menghabiskan minuman kami. Teh manis hangat di pagi hari juga, setidaknya bisa memberikan energi untukku di pagi hari. Setelah sarapan, ayah menyiapkan botol minuman kecil untukku dan juga botol besar untuknya. Ayah kemudian menyusuri lorong menuju ruang tamu. Duduk di sofa, mengenakan sepatu ketsnya dan akupun mengeluarkan sepatu ketsku. Ayah beranjak dari sofa, kemudian menyambar kunci mobil yang Ia gantung di tempat kunci. Memang, kalau ke kantor ayah selalu mengendarai motornya, dikarenakan kantornya tidak terlalu jauh dari rumah. Tetapi bila jalan-jalan denganku, ayah selalu menyetir mobilnya. Jalan-jalan ini adalah salah satu cara, supaya aku keluar sejenak dari gangguan mahkluk-mahkluk halus ini. Sehingga aku sangat antusias menghadapinya. Hari ini adalah hari yang sudah kutunggu-tunggu. Aku sudah membayangkan kebahagiaan yang akan aku alami hari ini.

Ayah mengunci pintu dan aku membawa botol minumanku dan juga punya ayah. Ayah naik ke dalam mobil dan mengenakan kacamata reybennya. Ayah mulai menyalakan mesin mobil, lalu kami masing-masing mengenakan seat belt. Lalu, aku merasakan ada angin yang menerpa punggungku. Aku menoleh ke belakang, sepertinya ada dua orang yang sedang duduk di kursi belakang mobilku. Aku berkata, “ ayah, aku melihat sesuatu di belakang. “ Ayah melihatku agak lama dan memperhatikan kaca di depan tepat di atas kepalanya, untuk mengecek kondisi di belakang. “ Tidak ada apa di belakang Rifki, “ ucap ayahku. Aku menoleh kembali ke belakang, memang tidak ada apa-aa di sana. Aku menyalakan volume musik tape, sungguh luar biasa housemusic adalah favoritku dan juga favorit ayah. Kami berjalan-jalan ke pusat kota. Makan siang dengan mencoba menu masakan tradisional sekitar, ke tempat bermain anak di mall untuk bermain bom-bom car dengan ayah dan sejumlah permainan lainnya, makan es krim dan coklat, foto di Photo box, menonton film di bioskop, jalan – jalan ke museum, ke tempat bersejarah dan kembali lagi ke mall untuk makan malam. Ayah bertanya padaku, “ apakah aku senang hari ini? “ Aku memeluk dan menciumnya dan berkata, “ Aku sangat senang dan terima kasih untuk hari yang menyenangkan ini, hari ini adalah hari yang paling menggembirakan dalam hidupku. Walaupun ibu tidak ada bersama kita, tapi aku merasa senang ayah sudah menjadi ayah sekaligus ibuku. “ Ayah membalas, “ ayah senang kalau kamu senang. Ayah juga sayang Rifki. “ Sambil mengelus rambutku.

Kemudian ayah mengendarai mobilnya menuju ke tempat yang lebih tinggi. Jalanan itu sedikit berliku-liku dan agak menakutkan karena tebing berada di samping kanannya. Hampir 45 menit ayah mengendarai mobil, akhirnya kami sampai di sebuah spot yang sangat menakjubkan. Dari atas sini, kami bisa melihat pemandangan kota dari jauh dengan suasana malam. Sungguh indah, kami duduk di mobil bagian depan. Ayah berkata, bahwa tempat ini adalah salah satu tempat favoritnya bila pikirannya sedang kalut. Aku berkata pada ayah, bila ayah ada sesuatu yang ingin diceritakan. Aku siap menjadi teman yang ingin mendengarkannya. Kasihan ayah, karena ibu tidak ada membuat ayah menjadi sangat kesepian. Padahal aku sudah berulang kali mengatakan kepada ayah dan malam ini aku mengatakan lagi, kalau aku tidak masalah bila ayah mau mencari pengganti ibu. Ayah berkata bahwa waktunya akan tiba, untuk ayah memperkenalkannya padaku. Aku senang mendengarkan itu. 

Ayah melihat jam tangannya, Ia berkata bahwa sudah pukul 21.00 jadi kita harus pulang. Aku mengangguk padanya, tanda setuju tetapi sedih juga karena hari yang membahagiakan ini akan berakhir. Kemudian kami turun dari depan mobil dan masuk ke dalam mobil lalu memasang seat belt. Ayah memutar mobilnya dan menuju rumah. Sekelebat aku melihat kembali ada bayangan hitam di belakang mobilku. Aku tidak mau mencari tahu, bayangan hitam itu sepertinya berusaha mendekatiku. “ Ayahhh, ayah lihat tidak di belakang? “ Aku berteriak. Ayah membalas sambil menoleh ke belakang dan memperhatikan kaca di atas kepalanya, “ lihat apa Rifki, tidak ada apa-apa di belakang sana, kamu jangan berhalusinasi lagi ya.” Memang setelah ayah berkata demikian, bayangan hitam itu menghilang dalam sekejap.

Kami berdua terdiam selama perjalanan. Kemudian aku melihat ayah yang sedang menyetir. Aku bertanya padanya, “ ayah, apakah ayah kelelahan? ” Ayah berkata, “ tidak sayang, memangnya kenapa? “ Aku melihat ayah sangat aneh karena wajahnya sangat pucat. Kemudian dari telapak tangan kanan dan kirinya, keluar semacam cangkang dan mirip dengan akar yang menjalar. Ayah membuka mulutnya dan serangga – serangga mengerikan keluar dari mulutnya. Saat aku melihat ayah, bola matanya tidak ada. Dari dadanya keluar seperti cangkang kepiting, dan kaos t-shirt nya robek seketika, celana jeansnya robek dan pahanya membesar. Ayah kemudian tertawa terbahak-bahak. Lendir hijau dan sangat kental keluar dari mulutnya. Gigi-giginya tanggal satu persatu, rambutnya rontok berjatuhan kemana-mana. Telinganya mengeluarkan cacing-cacing pita yang menjijikkan. Aku berteriak sekuat-kuatnya, “ tidak, turunkan aku sekarang juga. “    

“ Rifki, sayang kamu kenapa? “ Ayah memanggilku sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku kaget dan tubuhku berkeringat. “ Oh Tuhan, ternyata aku hanya bermimpi. “ Ayah tetap menyetir di dalam kegelapan. Hanya sorot lampu mobilnya yang menerangi jalan raya. Aku berkata pelan, “ kira-kira kita sampai rumah jam berapa yah? “ Ayah melihat jamnya dan berkata 30 menit lagi kita akan tiba di desa Banyumanis. “ Ayah aku lapar, “ aku berkata pelan. Ayah membalas, “ Ok, kita akan berhenti di warung bubur ayam. Kamu mau kan.”  Aku menjawab “ Baik, yah.” Sambil mengacungkan jempolku tanda setuju. Ayah berusaha memperhatikan jalanan yang sangat gelap. Kemudian berusaha melihat palang Kilometer yang berwarna hijau. Untuk mencari warung tukang bubur ayam. “ Itu dia yah, “ aku berkata sambil menunjuk ke arah warung di pinggir jalan. Ayah meminggirkan mobilnya, memarkirnya di pinggir warung. Aku melihat kondisi warung itu agak menyeramkan karena tempatnya remang-remang sekali. Bahkan tidak ada pembeli lainnya di warung itu.

Ayah mematikan mesin mobil dan lampu sein depan, lalu kami turun dari mobil. Lalu ayah mengunci mobil secara otomatis dari remote kunci mobil yang dipegangnya. Kami berjalan memasuki sebuah warung kaki lima di pinggir jalan bertuliskan “ Bubur Ayam Umi Sinta “. Irama musik dangdut koplo terdengar di telinga dari sebuah radio kecil yang dinyalakan oleh warung tersebut, rasa kantukku seketika hilang karena musik ini benar-benar bisa meningkatkan adrenalinku. Kemudian kami berdua duduk di kursi kayu panjang dan ayah memesan dua mangkuk bubur ayam komplit dengan dua gelas susu coklat panas, sang penjual adalah seorang ibu tua dan seorang anaknya. Aroma bubur ayam sangat terasa ke dalam indera penciumanku. Perutku memang sudah sangat lapar sejak tadi. Setelah 6 menit kami menunggu, bubur ayam dihidangkan di hadapan kami. Disuguhkan empat menit setelah makanan keluar, susu hangat pun akhirnya keluar. Aku mengambil kecap dan menuangkan yang banyak ke mangkukku dan menuangkan sedikit samabal di dalamnya. Ayah mengambil sambal dan menuangkannya ke dalam mangkuknya. Kami berdua menyantap makan malam kami dengan lahap. Ayah bertanya padaku, apakah aku ingin tambah. Aku menggeleng, sambil berkata padanya, bahwa aku tidak mau tambah. Ayah mengacungkan jarinya dan berkata sang penjual bubur bahwa Ia minta satu mangkuk lagi untuknya. Rupanya ayah masih lapar. Hanya tiga menit menunggu, bubur ayam porsi yang kedua akhirnya keluar. Ayah menuangkan sedikit kecap dan sambal ke dalam mangkuknya. Selera ayah masih saja tinggi, Ia melahapnya dengan cepat.

Kami berdua telah menyantap bubur ayam kami masing-masing, lalu kemudian beralih ke susu panas yang telah dihidangkan. Sungguh nikmat, setelah makan bisa minum minuman panas. Karena perutku langsung terasa hangat. Ayah bertanya kepada ibu tua itu berapa semua makanan ini. Kemudian ayah membayarnya. Lalu kami keluar dari warung itu. Mataku tertuju pada bagian belakang mobilku. Aku seperti melihat ada seorang anak kecil seusiaku yang melihatku dari kejauhan. Iya, anak itu mirip sekali dengan Roni. “ Oh Tuhan, kenapa Roni mengikutiku sampai sejauh ini? Apakah penampakannya di rumahku belum cukup untuk menakutiku? Sungguh menyeramkan, pikirku. Aku tidak mau melihat lama-lama. Aku sudah yakin itu adalah Roni. Ayah sudah naik ke mobil dan, “ oh Tuhan, ternyata arwah Roni juga sudah duduk di kursi belakang mobil. ” Ucapku pelan. Ayah berkata, “ kamu bicara dengan siapa, Rifki? “ Aku berkata dengan lantang, “ oh tidak yah, aku tadi hanya bergumam saja.   

Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk berbicara dengan ayah. Karena memikirkan Roni sedang berada di belakangku. Aku berusaha melirik sejenak ke belakang. Roni sedang duduk diam, wajahnya membiru sangat kaku. Sesekali Ia menyeringai ke arahku. Sorotan matanya menyeramkan. Sungguh mengerikan pemandangan di kursi belakang mobilku ini.

Mobil kami telah memasuki desa Banyumanis. Lalu menyusuri jalanan desa yang berbatu-batu. Sungguh melelahkan juga karena jalanan yang belum di aspal ini membuat kami seperti melakukan akrobat di dalam mobil. Aku tidak sabar untuk sampai rumah, karena aku harus buang air kecil. Ayah mengatakan sebentar lagi sampai. Jadi aku harus tahan. Akhirnya kami memasuki pekarangan rumah. Aku meminta kunci pintu rumah dari ayah, lalu aku turun dari mobil, membuka pintu rumahku dan berlari menyusuri lorong dan menuju kamar mandi. Lega sekali rasanya, akhirnya aku sudah buang air kecil. Aku keluar dari kamar mandi dan kembali keluar rumah, memberi aba-aba kepada ayah untuk memarkirkan mobilnya. Setelah itu ayah turun dari mobil dan bersama-sama denganku masuk ke rumah. Ayah mengunci pintu, lalu membantingkan tubuhnya di sofa. Baik aku dan ayah lalu membuka sepatu kets dan kaos kaki. Aku menaruhnya ke dalam rak sepatu dan ayahpun menyuruhku untuk menaruh sepatunya ke dalam rak sepatu. Ayah berkata padaku, bahwa Ia sangat kegerahan, jadi Ia mau mandi dulu.

Akupun menyusuri lorong, menaiki anak tangga dan menuju kamarku. Aku menutup jendelaku lalu menutup gorden, untung saja rumah ini dipasangi teralis. Bagaimana kalau tidak, pasti orang akan mudah keluar masuk ke dalam rumah ini, pikirku. Lalu aku duduk sejenak di atas tempat tidur, lalu berdiri dan membuka pakaianku. Kemudian menaruhnya ke dalam keranjang baju kotor. Aku masuk ke kamar mandi, mengambil odol dan sikat gigi, lalu menyikat gigiku. Kemudian aku membersihkan busa odol dari sikat gigiku dan berkumur. Setelah itu kunyalakan shower. Segarnya air yang keluar dan mengenai ubun-ubunku, membuatku sedikit kaget. Aku membubuhkan sabun cair dan menggosok tubuhku, lalu membilas tubuhku. Kemudian aku menarik handukku dari jemuran mini di samping pintu kamar mandiku. Aku mulai mengeringkan tubuhku dan mengenakan piyamaku. Aku menjemur handukku, kemudian duduk di atas tempat tidur. Aku mengambil majalah anak yang dibeli ayah sebelum kami pindah ke rumah ini. Biasanya, aku tertarik dengan cerpen yang ada di majalah ini. Aku mulai melihat daftar isi dan mencari di halaman berapa cerpennya. Aku bisa membaca cerita pendek ataupun cerita bersambung dari satu majalah ke majalah lain. Bahkan sampai larut malam. Bahkan ayah sering memarahiku, kalau aku membaca sampai larut malam. Apalagi, kalau esoknya aku harus masuk sekolah.

Asyiknya membaca di tempat tidur, aku bisa berimajinasi dengan sempurna dan berfantasi mengikuti alur cerita cerita pendek yang kubaca. Aku mendengar adanya aliran air di samping tempat tidurku. Saat aku berusaha duduk dari tempat tidur, dan kakiku menggantung dari atas tempat tidur. Aku sangat kaget, ternyata di bawah tempat tidurku. Darah kental membanjiri lantai kamarku. Bila aku ukur dari dinding kamarku, sepertinya darah kental ini sudah setinggi mata kakiku. Apa itu, aku melihat tangan, kaki, paha dan jari-jari tergenang bersama darah kental di kamarku. Aku sangat panik melihat hal itu. Kemudian dari bawah tempat tidurku muncul kepala dengan wajah yang rata. Aku berusaha berteriak tetapi mulutku tidak bisa dibuka. Apakah aku mulai berhalusinasi lagi. Aku berusaha berteriak lagi, tetapi percuma saja. Aku tidak bisa mengeluarkan suara.

Aku berusaha turun dari tempat tidurku. Berjalan perlahan, mengarungi banjir darah di kamarku yang kecil ini. Aku berusaha menghindari untuk tidak menginjak potongan-potongan tubuh yang berserakan di lantai. Aku berusaha membuka pintu kamarku. Tetapi aku tidak bisa membukanya. Sepertinya terkunci, aku berusaha mencari kuncinya tetapi tidak tergantung di pintuku. Aku menggedor-gedor pintu kamarku. Tetapi aku tidak bisa berteriak. Suaraku tidak keluar sama sekali. Genangan darah itu semakin meninggi dan sudah selututku. Aku semakin ngeri karena potongan demi potongan tubuh itu mendekati aku. Aku tidak kuat lagi. Seketika aku terbangun dari tidurku. Terima kasih Tuhan, ternyata aku hanya bermimpi, pikirku. Piyamaku basah kuyup. Aku melihat ke arah bawah ternyata tidak ada banjir darah. Aku membuka piyamaku dan menggantinya dengan piyama baru. Aku duduk sejenak di pinggir tempat tidurku dan membaca doa, memohon Allah untuk menjaga tidurku malam ini, menjauhkan aku dari mahkluk-mahkluk halus yang menggangguku, sejak kedatanganku ke rumah ini dan berharap besok pagi aku bisa bangun, sehat walafiat seperti biasa.    

Setelah doa, aku merasa tenang dan merebahkan diriku di tempat tidur.  Aku berusaha memejamkan mataku. Seperti biasa aku tidak bisa tidur dan aku merasa haus. Akibat keringat yang mengucur terlalu banyak membuatku mejadi dehidrasi. Aku memberanikan diri untuk membuka kamarku, menuruni tangga dan menyusuri lorong dan menuju ruang makan. Aku membuka kulkas, mengambil botol berisi air dan menuangkan air ke dalam gelasku dan meneguknya sekaligus. Sungguh terasa lega tenggorokanku. Aku membuka laci kulkas paling bawah. Aku mengambil tiga buah pisang dan menyantapnya perlahan. Kemudian aku menyusuri lorong dan menuju kamar ayah, aku mengetuk pintunya sambil berkata, “ ayah, apakah ayah sudah tidur? ” Ayah menjawab, dari dalam kamar. “ Belum Rifki, kemari nak. “ Aku masuk kamar ayah. Ayah sedang baring di tempat tidur dan menguap cukup lama. Aku berkata, “ ayah, aku tidur di sini lagi ya?” Ayah menjawab, “ ok, tapi jangan berisik ya. Karena besok ayah harus berangkat pagi. “ Aku mengangguk padanya tanda setuju. “ Aku tidak bisa tidur yah, “ aku berkata pelan. Aku tidur di samping ayah dan aku bercerita banyak kepada ayah. Ayah mendengarkan ceritaku sambil terkantuk-kantuk. Hmmhh, pasti ayah sudah mengantuk. Aku melihat ayah disampingku, ia sudah terlelap. Ya sudahlah, aku tidak mau cerita lagi, pikirku.

Aku tetap tidak bisa memejamkan mataku. Lalu aku bangkit dari tempat tidur dan mulai mencari-cari apakah ada ruang rahasia di kamar ayah. Aku berusaha mencari setiap lekuk, bahkan mencoba menginjak salah satu ubin berharap ada pintu yang terbuka. Tidak ada satupun yang terbuka. Aku mulai bosan dengan yang aku cari. Lalu aku berjalan keluar dari kamar ayah. Aku menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Duduk di sofa dan mengambil remote televisi dan menekan tombol on / off. Setelah itu aku mulai menekan tombol program dan menekan tanda panah atas atau bawah untuk mencari salah satu acara televisi kesukaanku dan biasanya memang diputar jam malam seperti ini. Iya sebuah film kartun yang mudah sekali mengocok perutku. Saat asyiknya sedang menonton televisi, tiba-tiba listrik padam. Aku berusaha bangkit dari sofa dalam kegelapan. Menyusuri lorong dan menuju kamar ayahku.

Perlahan, aku menyusuri lorong dan menuju kamar ayah. Aku berkata dengan suara agak keras, “ ayah, ayah listriknya padam. ” Pasti ayah sudah tertidur sangat lelap, pikirku. Biasanya ayah mengkonsumsi obat tidur supaya tidurnya lebih nyenyak. Sudah pasti ayah tidak mendengar suaraku. Aku berusaha mencari senter di kamar ayah. Sepertinya tidak ada, padahal seingatku ayah meletakkannya di atas meja kerjanya di dalam kamar. Alternatif lain adalah aku harus mencari lilin. Iya ada di dapur, ayah biasa meletakkannya di lemari gantung bagian paling pojok di dapur. Aku keluar dari kamar ayah, kemudian berjalan menyusuri lorong dan menuju dapur. Aku berdiri di atas sebuah kursi plastik, lalu meraba bagian pojok lemari gantung yang berada di dapur dan menemukan sebuah kotak. Ini dia, pasti kotak berisi lilin. Aku mengambilnya dan membuka kotak itu. Ada empat buah lilin di dalamnya. Kemudian aku menuju kompor dan menyalakan kompor.

Kunyalakan lilin dari api kompor. Terangnya lilin ini setidaknya bisa membuatku lebih tenang. Karena ada cahaya yang dihasilkannya. Kemudian aku menyusuri lorong dan menuju kamar ayah. Aku berusaha membuka kamar ayah. Tetapi agak macet pintu itu, saat aku bersikeras untuk membukanya. Tangan kiriku memegang lilin dan tangan kananku masih berusaha membuka pintu kamar ayah. Percuma saja pintu ini tiba-tiba macet. Aku mulai merasakan ada aura negatif lagi di sekelilingku. Benar saja, tiba – tiba ada bayangan yang muncul di belakangku. Bulu kudukku langsung berdiri. Bayangan itu sekejap membentuk sebuah asap hitam di lorong rumahku. Lilin ini merupakan satu-satunya peneranganku untuk melihat asap hitam yang tiba-tiba berubah bentuk. Asap itu membentuk dua sosok manusia yang sangat menyeramkan. Aku melihat asap itu sambil berusaha mengetuk pintu ayah dan memanggilnya berulang-ulang kali. Asap itu perlahan mendekatiku. Asap itu membentuk angin puting beliung dan berputar-putar mengelilingiku. Sesekali asap itu berusaha masuk ke dalam mulutku dan hidungku. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Supaya asap laknat itu tidak masuk ke dalam indera penciuman dan indera pengecapku.

Aku sampai kehabisan udara. Lilin yang kupegang nyaris padam, karena terpaan angin yang ditimbulkan asap berwujud mahkluk astral itu. Aku tidak sanggup, aku harus bergegas dan lekas beranjak dari tempatku berdiri. Sambil memegang lilin di tangan kiri, aku berusaha menerobos asap yang telah mengepungku. Kali ini, aku harus menang. Mahkluk-mahkluk halus itu tidak memiliki kuasa apapun atas diriku. Aku yang masih hidup, memiliki daya untuk menghalau segala gangguan-gangguan iblis ini. Dalam kondisiku yang sesak nafas dan kelelahan, aku berlari menyusuri lorong rumahku. Menaiki anak tangga, kemudian masuk ke dalam kamarku. Aku mengunci pintuku, memastikan kembali semua jendela telah terkunci. Aku berpikir keras, kira-kira apakah kelemahan mahkluk-mahkluk mengerikan ini. Apa yang bisa menghentikan kegilaan mereka menampakkan diri sesuka mereka ke hadapanku. Aku mulai flashback. Mengingat secara detail, setiap kejadian aneh di rumah ini, bila aku tertidur, setan-setan itu sesukanya bergentayangan dalam mimpiku. Kali ini, hal itu tidak akan kuperkenankan. Iya, satu-satunya jalan aku tidak boleh terlelap atau tertidur. Bila aku tertidur mereka mudah sekali menghantuiku dan masuk ke alam bawah sadarku. Aku harus tetap terjaga. Dan kali ini aku harus mendaraskan doa kepada Allah Subhana Wattaallah memohon keridohanNya, menjauhkan aku dari mahkluk-mahkluk terkutuk ini dan apabila Allah menghendaki supaya aku mengungkap kematian Roni atau pak Nazril, maka terjadilah sesuai dengan kehendak-Nya.

Aku duduk di pinggir tempat tidur. Aku memejamkan mata. Aku berdoa dari dalam hati memohon perlindungannya. Supaya aku bisa melewati malam yang mengerikan ini. Dan berharap dengan sangat supaya besok aku bisa lebih tenang dalam menjalani hidupku. Sesudah mengucapkan ayat-ayat suci, seakan – akan aku memiliki power untuk keluar dari dalam kamarku. Perlahan aku menekan tombol kunci supaya pintu kamarku segera terbuka. Membuka pintu dan mengeluarkan kepalaku untuk melihat kondisi sekitar, aku menuruni anak tangga dan menuju ke bawah.  Aku sampai di lorong, berjalan perlahan menuju dapur. Menuangkan air mineral dari teko kecil yang terbuat dari kaca ke dalam gelasku. Aku menghabiskannya, lalu aku menuangkannya kembali untuk menghabiskan minumanku tahap yang kedua. Saat khawatir atau ketakutan muncul, biasanya aku menjadi sangat dehidrasi. Rasanya ingin kuhabiskan 1 galon air. Karena rasa haus ini tidak kunjung sirna.

Setelah minum, kuletakan gelasku di atas meja makan, menutupnya dengan tutup gelas yang terbuat dari melamin bercorak batik berwarna kuning kecoklatan. Aku berjalan kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu. Asap yang berbentuk sosok manusia itu seakan sirna, hilang di telan bumi. Kemudian aku membuka jendela yang berada di ruang tamu. Pandanganku tertuju pada tanaman depan rumahku. Sepertinya ada sesuatu di sana.

 

Sumber: m.liputan6.com
Sumber: m.liputan6.com

Bab XIII

Kena Kau

Aku melihat sekelebat bayangan melihatku dari jendela luar. Orang itu sepertinya berjalan menuju pekarangan belakang dan terdengar bunyi seperti batu besar yang tergeser. Aku berlari keluar untuk mengecek keadaan sekitar. Orang itu berhasil masuk melewati batu besar itu. Apa yang dilakukannya, pikirku. Orang itu mengambil sebungkus plastik hitam. Aku berusaha mengendap-endap dari belakang. Saat kuperhatikan, ia adalah pak Ilham. Pria itu mengambil sesuatu dari pintu rahasia yang berada tepat di pekarangan belakangku yang bisa menghubungkannya dengan ruang bawah tanah dan berusaha kabur membawa plastik itu. Aku merasakan sepertinya ada orang di belakangku. Ternyata Roni dengan wajah membusuk, tepat berdiri di belakangku. Memegang sebuah kampak dengan kedua tangan mungilnya.

Sekejap, ia mengarahkan kampak ke arah perut ayahnya dan mengambil kuda - kuda untuk menghujamkan kampak itu tepat di perut ayahnya. Aku berkata dengan lembut kepada Roni, “ Roni, pak Ilham adalah ayahmu. Ia tidak sengaja menghujamkan kampaknya kepadamu, karena sebenarnya Ia ingin membunuh pak Nazril. Arwah Roni tertunduk dan wajahnya nampak sedih. Pak Ilham berkata, “ Maafkan ayah nak, ayah memang tidak pantas untuk hidup. “ Ayah Roni merampas kampak itu dari Roni dan menhujamkan ke perutnya sendiri. Seketika itu juga darah segar mengalir dari perutnya, Ia terjatuh dan tewas di tempat seketika. Perlahan kuperhatikan arwah Roni terbang dan naik menuju ke langit. Arwahnya membentuk sebuah titik yang menyala – nyala dan hilang di lautan awan nan hitam disertai dengan kilatan dan gemuruh di angkasa raya. Aku berlari ke halaman depan rumahku karena shock dengan apa yang baru saja kulihat. Lutut - lututku gemetaran dan jantungku berpacu sangat cepat karena takut. Aku memanggil ayahku. Ayah muncul dari pintu ruang tamu. Aku memegang tangannya dan mengajaknya menuju kebun di belakang rumah. Ayah melihat pak Ilham tewas di sana. Ayah memelukku dan berkata, “ maafkan ayah karena tidak percaya dengan ceritamu. “  Ayah baru saja ditelepon polisi mengenai kejadian ini dan polisi berkata bahwa pembunuh Roni sudah diungkap. Pak Ilhamlah yang talah membunuh putranya sendiri. Ayah sendiri juga tidak percaya dengan kejadian ini.

Pagi yang cerah menyelimuti pedesaan kami. Beberapa polisi datang menginformasikan kepada keluarga besar pak Ilham dan warga desa, bahwa jasad Roni telah ditemukan dan memang terpisah-pisah di berbagai tempat karena di mutilasi. Potongan kepala dan badan Roni di temukan di empang milik pak Ilham, paha dan kaki Roni berada di ruang bawah tanah rumah yang kutempati sekarang dan kedua tangan Roni di dekat kuburan tua di hutan belantara di tengah desa. Motif pembunuhan ini karena Roni mengetahui perselingkuhan ibu tirinya dengan pak Nazril. Ibu tirinya naik pitam, dan ingin menghabisi Roni secara membabi buta dengan sebilah kampak. Tiba-tiba pak Ilham muncul dan berusaha membunuh pak Nazril, pak Nazril berhasil mengelak. Sabetan kampak itu seketika mengenai Roni, putra kandungnya sendiri. Pak Ilham naik pitam dan merasa bersalah telah membunuh anaknya. Kemudian Ia mengambil kampak yang ternodai oleh darah itu dan mengayunkan kampak itu ke pak Nazril. Seketika, mengenai tangannya dan langsung putus. Belum puas sampai di sana, Pak Ilham membacok lagi leher Pak Nazril hingga putus. Tubuh pak Nazril dan Roni dimutilasi dan disebarkan oleh pak Ilham diberbagai tempat untuk menutupi jejaknya. Sunggu miris mendengarkan ini. Jasad pak Nazril yang sudah ditemukan berada dekat pohon besar di antara kuburan tua di tengah hutan belantara.

Kasus kematian pak Nazril yang diinfokan kepada warga desa selama ini bahwa ia sakit dan dikubur di Singapura hanyalah karangan belaka pak Ilham. Sobekan pakaian dengan noda darah yang ditemukan di kamarku. Diambil oleh polisi untuk diperiksa DNAnya. Hasil pemeriksaan diketahui bahwa DNA itu milik pak Nazril. Pak Ilham membawa potongan hidung, mulut, mata dan telinga pak Nazril dan menguburkannya di dinding kamarku. Pak Ilham berusaha membuang pakaian Pak Nazril dari lantai 2 kamarku. Ternyata pakaian itu tersangkut di jendela kamarku.    

Aku bisa melihat ada guratan kebahagiaan di wajah nyonya Ifa. Dua minggu kemudian, nyonya Ifa dihubungi oleh seorang pengacara yang katanya mengurusi surat wasiat pak Ilham. Pak Ilham sudah membuat surat wasiat ini sekitar satu tahun yang lalu, untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi padanya. Maka sang pengacara mengundang ibu dari pak Ilham, adiknya Tati yang tinggal di kampung sebelah, karena mereka berdualah yang merupakan keluarga terdekat, yang tersisa yang dimiliki oleh pak Ilham. Nyonya Ifa berpikir, tidak mungkin Ilham memberikan harta kepada adik dan ibunya. Mengingat mereka bertengkar hebat karena ibu dan adiknya melarang Ilham untuk menikahi nyonya Ifa beberapa tahun silam. Dan hampir dua tahun mereka memutuskan tali silaturahmi. Ilham lebih memilihku daripada mendengarkan adik dan ibunya yang bodoh. Yah, memang rezeki tidak akan kemana, pikir nyonya Ifa sambil bersorak sorai di dalam hati.

Pagi itu terasa sangat dingin. Burung-burung menyanyikan melodi dengan indahnya. Bunga – bunga melebarkan kuncupnya menantikan embun pagi membasahi kelopak mereka. Daun – daun ikut gembira ria menemani serangga yang hilir mudik di tangkai, batang dan akar tanaman di pedesaan nan asri itu. Keindahan alam ini mungkin menggambarkan suasana hati Nyonya Ifa yang akan mendapatkan harta berlimpah bak durian runtuh. Nyonya Ifa sudah bangun sangat pagi, ia bersiap mengenakan makeup ringan, memadukannya dengan sebuah khaftan hitam yang hampir menyentuh tanah, Ia memakai sebuah kerudung trendi berwarna coklat dan memakai sebuah kacamata reyben, menambah keelokan rupanya. Ia sangat bahagia tetapi masih berpura-pura dalam suasana berkabung. Ia menerima sang pengacara di rumahnya, mempersilahkannya masuk ke dalam rumahnya. Baik ibu dan adiknya Ilham sudah duduk di ruang tamu. Mereka tidak terlalu antusias mengenai pembagian harta warisan ini. Karena yang terpenting bagi mereka adalah Ilham bisa tetap hidup dan kembali hidup rukun dengan mereka. Itu saja, sudah cukup tentunya bagi mereka. Sejenak, pengacara membuka tas kerjanya dan mengeluarkan beberapa dokumen. Ia membacakan dengan seksama surat wasiat yang diberikan Pak Ilham. Nyonya Ifa berharap dengan cemas dan tidak sabar mendengarkan bahwa Ia akan mendapatkan minimal 90% dari keseluruhan asset pak Ilham. Dasar Ilham bodoh. Aku tidak perlu menggunakan tanganku untuk menghabisi orang-orang yang tidak berguna itu. Kamu benar-benar membuka jalan lebar untukku supaya mendapatkan semua hartamu, pikir Nyonya Ifa dalam hati.

Pengacara menyebutkan bahwa harta yang dimiliki oleh pak Ilham akan diserahkan sepenuhnya kepada adiknya Tati dan neneknya Roni, Eyang Putri. Dan nyonya Ifa berkata “ Lalu untuk aku, bagaimana Pak ? ” Bentak Nyonya Ifa kepada sang pengacara. Sang pengacara berkata, “ maaf bu Ifa, saya mendapat perintah dari bapak untuk mencoret nama ibu dalam daftar wasiatnya beberapa bulan lalu. “ Nyonya Ifa pun berteriak, “ tidakkkkkkk, kenapa bisa seperti itu. ” Suara nyonya Ifa menggelegar di seluruh kampung. “ Untuk alasannya saya tidak tahu, Bu. “ Ujar sang pengacara datar.

Satu minggu setelah kematian pak Ilham, ketiga kuli bangunan yang bekerja di rumah pak Ilham ditangkap oleh polisi. Mereka tertangkap tangan ketika berusaha membobol brankas milik pak Ilham di dalam kamar pak Ilham, saat rumah pak Ilham kosong. Maman, Ridwan dan Dodi digiring ke kepolisian terdekat dan dipenjara atas beberapa tuduhan kejahatan yang telah mereka lakukan. Selain itu mereka merupakan narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan karena tuduhan perampokan bernilai milyaran rupiah di beberapa kota di Indonesia.

Aku mulai mengambil kesimpulan. Kenapa sejak aku sampai di kuburan tua di tengah hutan belantara sepertinya memang Roni menginginkanku untuk menguak rahasia pembunuhannya dan menemukan potongan – potongan tubuhnya supaya Ia bisa beristirahat dengan tenang selamanya. Tetapi apa mau dikata, ternyata orang terdekatnyalah yang menghabisi nyawa Roni.

S.E.K.I.A.N

Sumber: https://www.namesnack.com/guides/father-son-business-names
Sumber: https://www.namesnack.com/guides/father-son-business-names

 

 

    

 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun