Hari Jumat tanggal 1 Maret 2019 kemarin bertepatan dengan 70 tahun peristiwa Serangan Umum 1949. Pada waktu itu, Yogyakarta dikuasai militer Belanda. Tapi hanya dalam waktu 6 jam, wilayah Yogyakarta berhasil dikuasai kembali karena perjuangan bangsa kita saat itu.
Seperti yang dijelaskan di website Kemendikbud, Belanda membuat propaganda bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada. Maka, serangan ini dilakukan juga bertujuan untuk menunjukkan eksistensi TNI di mata dunia.
Setelah menyusun rencana, pagi hari pukul 06:00 tanggal 1 Maret 1949 dilakukan secara besar-besaran dan serentak di seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Beberapa tokoh TNI yang memimpin serangan ini adalah Letkol Soeharto yang memimpin di sektor barat sampai ke batas Malioboro, Ventje Sumual yang memimpin pasukan di sektor timur, Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki di sektor kota. TNI berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam, sampai pukul 12.00 siang.
Hal yang tak kalah penting dari Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah dampak psikologis dan politis yang ditimbulkan. Serangan tersebut mampu menaikkan semangat rakyat dan prajurit yang tekah merosot semenjak Agresi Militer Belanda kedua. Secara politis banyak bangsa-bangsa yang bersimpatik terhadap kasus Indonesia di PBB, sehingga membantu proses diplomasi. Pada akhirnya tanggal 27 Desember 1949, Indonesia mendapat kedaulatan penuh karenanya.Â
Refleksi Persatuan Bangsa
Bisa kita rasakan bagaimana persatuan bangsa Indonesia makin rapuh karena aksi teror dan menyebarnya paham anti-Pancasila. Ada pula berbagai konflik dan keributan hanya karena perbedaan pilihan politik. Salah satunya yang belum lama ini terjadi di sekitar Hotel Grand Pacific, Sleman.
Hal inilah yang juga jadi keprihatinan bagi Soemadi Brotosudarmo, veteran yang ikut berjuang dalam Serangan Umum tersebut. Meski saat itu masih berusia 15 tahun, dia sudah berani ikut berjuang dengan tentara melawan Belanda. Ia ikut berjuang tanpa pamrih dan tanpa ajakan siapapun (Tribun Jogja, 2 Maret 2019).
Menurut Soemadi, tidak ada penggolongan ras, agama, dan kaya-miskin saat perjuangan dulu. Semuanya bersatu. Kini, ia prihatin karena terjadi bentrok demi kekuasaan. Lewat peringatan Serangan Umum 1 Maret kemarin, ia berharap semua generasi penerus agar bersatu dan merapatkan barisan dalam binkai kebhinnekaan (Tribun Jogja, 2 Maret 2019).
Dengan adanya peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 kemarin sepatutnya membuat kita kembali sadar bagaimana pendahulu kita memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia dengan susah payah. Mereka telah berjuang dengan mengorbankan harta bahkan nyawa. Maka, tidak sepantasnya bagi kita untuk menolak keberadaan NKRI berikut Pancasila dan terpecah belah karena perbedaan pilihan politik.
Mari sikapi politik secara dewasa dan bermartabat. Salah satu bentuk sikapnya jangan mudah terprovokasi terhadap konten-konten kampanye negatif. Bagi simpatisan, lakukanlah kampanye secara positif dan edukatif, bukan mengandung unsur yang menyudutkan salah satu pihak.
"... saya yakin semua ini (Serangan Umum 1 Maret) bermakna besar bagi bangsa kita, dan yang menjadikan kita Indonesia" (Bambang Soepijanto, calon DPD DIY Nomor Urut 24). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H