Mohon tunggu...
BENTAR SAPUTRO
BENTAR SAPUTRO Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar di semestaNya

ketik huruf, angka dan tanda baca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bruwun Kecipir

14 Juli 2015   09:56 Diperbarui: 14 Juli 2015   09:56 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seingat saya waktu itu masih duduk di bangku SMP hingga SMA. Ada hal yang sangat menarik dan membuat saya sangat gembira untuk menunggu saat-saat itu. Bruwun. Kata ini mungkin terdengar aneh dan sangat jarang ditemukan dalam obrolan-obrolan di warung, kampus, kantor apalagi di kalangan obrolan gaul anak muda jaman sekarang. Bruwun berasal dari kata Jawa, yang artinya memetik, memanen atau mengunduh. Kemungkinan besar kata ‘bruwun’ hanya akan sering terdengar di desa-desa atau bahkan di kampung-kampung pegunungan.

Sejak kecil saya tidak asing dengan kata bruwun. Tanpa disadari dalam keseharianpun saya mempraktekkan langsung aktifitas yang disebut bruwun tadi. Pasalnya, pada musim-musim tertentu (biasanya musim sehabis menanam/’tandur’ padi). Selang beberapa minggu selepas proses menanan padi selesai, biasanya terdapat galengan di sawah. Galengan adalah batasan petak di sawah yang sering dijadikan untuk lewat/melintasi dari tempat satu ke tempat lainnya. Nah, galengan tersebut dijadikan untuk tandur/menanam kecipir. Tentunya yang namanya kecipir tidak kemudian langsung ditanam melalui kecipir itu sendiri. Hal ini yang menjadi pertanyaan besar saya mengenai awal mula bagaimana kecipir itu ditanam. Dari mana benihnya? Setahu saya memang sebelum kecipir lahir layaknya kecipir, benihnya berasal dari “botor”. Lebih dulu mana kecipir atau botor? Tapi tak usahlah kita memperdebatkan itu. Mari kita salami saja nikmat Tuhan ini dengan segala misteriNya.

Botor ini berasal dari kecipir yang umurnya paling tua, sehingga dibiarkan mengering hingga kulit luarnya berwarna hitam yang di dalamnya terdapat biji kecipir berwarna coklat. Begitulah kurang lebih perjalanan si kecipir hingga menjadi botor. Atau sebaliknya, si botor yang menjadi kecipir. Mana yang lebih dulu antara kecipir dan botor? Entahlah, ini mirip dengan kisah antara ayam dan telur.

Pemandangan yang indah dan sejuk menyelimuti proses penanaman kecipir di sawah. Kala itu saya sedang menemani nenek sekaligus membantu nandur kecipir tersebut. Kami melakukan semacam kerjasama dalam hal ini. Saya dan nenek berbagi tugas. Tugas yang pertama adalah manja, sementara tugas yang kedua adalah muwur. Pasti tugas tersebut akan sangat terdengar asing oleh siapapun yang belum pernah mendengarnya. Baik, akan saya jelaskan tugas-tugas tersebut sepemahaman saya. Pertama adalah tugas manja. Ini bukan soal seseorang yang sedang kolokan bagai anak minta dimandiin oleh ibunya setiap pagi. Manja berasal dari kata panja, yakni sepotong kayu (kayu apapun saja) sepanjang ± 1,5 meter yang ujungnya dibuat runcing yang berfungsi untuk melubangi tanah pada saat nanti masuk pada proses muwur. Manja merupakan kata kerja (orang/pelaku yang melakukan kegiatan menggunakan alat bernama panja), sedangkan panja adalah kata benda (alat itu sendiri). Kemudian tugas berikutnya adalah muwur merupakan proses penyebaran benih yang dilakukan dengan memasukkan benih ke dalam tanah berlubang yang sudah dipanja terlebih dahulu. Benih yang dimasukkan ke dalam tanah tidak asal comot, namun ada batasan minimal jumlah butir benih yang dimasukkan. Benih dimaksud adalah botor. Setiap lubang yang di galengan memiliki jumlah minimal 3 – 5 butir/biji. Galengan merupakan batas petak atau semacam jalan yang berada di tengah-tengah sawah (sudah saya singgung di awal tulisan).

Kedua tugas tersebut kami kerjakan dengan sangat teliti dan penuh dengan kehati-hatian. Kami sepakat untuk berbagi tugas, manja dipegang langsung oleh nenek saya sedangkan saya didapuk untuk mengerjakan tugas muwur. Setiap tugas memiliki peran dan caranya sendiri. Proses menanan benih kecipir harus segera dikerjakan sebelum galengan benar-benar kering dan mengeras tanahnya. Ini dimaksudkan supaya pada saat proses manja, tidak diperlukan tenaga yang ekstra untuk mengerjakannya. Apabila tanah pada galengan tersebut sudah mulai mengering dan keras maka akan menyulitkan proses manja tadi. Dalam pengerjaannya proses manja dilakukan dengan cara berdiri dan menghantam-hantamkan panja ke tanah (galengan) hingga membentuk sebuah lubang yang nantinya akan ditaburi biji botor atau benih kecipir yang sudah disiapkan sebelumnya. Lubang yang dipanja tersebut diberi jarak kurang lebih 5 sampai 7 centimeter. Ini dimaksudkan agar jaraknya tidak terlalu rapat, mengingat kecipir ini merupakan jenis tumbuhan yang merambat. Hal ini dilakukan terus-menerus dengan cara melubangi tanah menggunakan panja dari pangkal galengan hingga ke ujung galengan. Itulah gambaran tugas nenek saya pada saat proses me-manja. Sementara itu, tugas saya adalah melakukan muwur, semacam menabur benih. Muwur ini dilakukan dengan cara menunduk dan biasanya mengikuti atau berada tepat di belakang yang sedang manja tadi yakni nenek saya. Mengapa tepat berada di belakang? Karena dimaksudkan supaya proses pengerjaannya berbarengan dengan proses me-manja. Apabila sampai tertinggal dengan yang me-manja, ini akan menjadi tugas berat pe-muwur untuk melakukan proses check and recheck mana saja lubang yang sudah ditaburi benih dan mana saja yang belum ditaburi benih. Tugas pe-muwur memiliki tugas ganda, antara lain (1) melakukan proses muwur itu sendiri (2) mengubur atau menutupi benih tadi dengan tanah yang ada disekitar lubang tersebut. Ini bertujuan untuk menutupi benih-benih yang sudah ditabur supaya tidak dimakan tikus, ayam dan sekutunya atau apapun saja yang biasa ‘menjarah’ area sawah.

Kami melakukan kerjasama dengan sungguh-sungguh yang berkonsentrasi pada tugas dan perannya masing-masing. Setelah kami selesai dengan tugas dan peran yang sudah dimandatkan, pada akhirnya sayapun lega karena dapat menuntaskan pekerjaan yang saya yakin tidak semua anak muda ‘mau’ melakukannya. Untuk yang baru saja saya sebutkan dengan tanda petik, saya tidak akan menjelaskan lebih detil alasan ke-mengapa-annya.

Proses menabur benih kecipir sudah selesai dan masih ada pekerjaan berikutnya untuk tahap paling pamungkas. Pekerjaan yang dimaksud adalah nglanjari. Lagi-lagi istilah yang saya gunakan ini adalah istilah-istilah yang sangat lokal bahkan mungkin ndeso, saya yakin ada istilah lain yang digunakan namun dengan maksud dan pemaknaan yang sama. Istilah nglanjari berasal dari kata lanjaran, yaitu sebuah potongan bambu berukuran ±1,5 cm yang sudah dibelah menjadi beberapa lapis untuk kemudian diruncingkan pada bagian ujungnya. Hampir sama dengan bentuk panja, hanya saja ukuran lanjaran lebih kecil dan terbuat dari bambu sedangkan panja terbuat dari kayu yang agak besar. Lanjaran ini bertujuan untuk menopang tanaman kecipir yang sudah mulai menampakkan pertumbuhannya. Lanjaran merupakan noun, sedangkan nglanjari adalah verb-nya. Yang perlu diingat adalah proses nglanjari dilakukan sekitar 1 minggu setelah tanaman kecipir mulai merambat.

Setelah kami, manusia sudah melakukan tugas dan kewajibannya hal yang dilakukan berikutnya adalah berserah dan seraya memohon kepada Tuhan. Maksud saya adalah setelah manusia sudah berusaha nandur, maka manusia sama sekali tidak memiliki kemungkinan untuk mengatur laju pertumbuhan tanaman yang sudah ditanam tadi. Mati atau hidup, tumbuh atau tidak tumbuh, subur atau tidak subur, dan seterusnya. Kita tidak memiliki kemungkinan untuk mengatur itu semua. Pasti akan ada campur tangan Tuhan yang secara langsung terlibat untuk mengatur laju pertumbuhan kecipir tadi. Apabila Tuhan sudah turun tangan maka giliran kecipir ini yang akan menjalankan tugasnya sesuai dengan perintah Tuhan. Setelah apa yang dilakukan manusia sebagai wujud usaha, ikhtiar dan upaya menanam dengan sungguh-sungguh maka Tuhan akan menaburkan cinta-Nya pada manusia dan kecipir.

Singkat cerita, tanaman kecipirpun tumbuh dengan subur dan mengeluarkan hasil yang nyata. Akhirnya kami menyambutnya dengan gegap gempita menyambut kehadiran kecipir yang nampak hijau muda nan menggoda untuk segera dipanen (baca: bruwun). Kurang lebih itulah pengalaman saya bersama dengan kecipir. Sungguh saya sangat senang melakukannya, bersamaan dengan liburan sekolah maupun tidak liburanpun saya mengalaminya secara langsung. Saya yakin pengalaman seperti ini tidak akan dijumpai pada setiap anak seusia saya waktu itu. Jangankan anak-anak yang tinggal di pelosok-pelosok perkotaan yang nota-bene nya jarang ditemukan sawah, anak-anak yang tinggal di pusat pedesaaan atau pegununganpun belum tentu memiliki pengalaman yang sudah saya jlentrehkan di atas. Namun itu semua bukan berarti mereka yang tidak pernah mengalami hal yang saya alami lantas kemudian tidak suka atau gengsi bahkan malu melakukannya, hanya saja mereka belum pernah merasakan nikmatnya itu semua. Yang harus dilakukan adalah terjun langsung dan sama-sama ‘mengalami’.

 

Semarang, 6 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun