Kali ini, aku bawa anakku menemuimu. Aku kenalkan dia denganmu, pemilik nama yang sekarang kami sematkan pada dirinya. Kamu tentu dapat merasakan kehadirannya kini. Tangan lemahmu itu tentu dapat menyentuh tangan lembutnya. Tangan seorang bayi yang kelak akan mewujudkan cita-cita tertinggimu yang sempat tertunda.
Aku masih merasakan suasana yang sama setiap berada di sisimu. Setiap aku menyaksikan dirimu yang tidak lagi punya kuasa atas kehidupan. Andai saja, saat itu aku langsung mendatangimu setelah membaca berkasmu. Tentu semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Kita akan pergi bersama mendatangi semua jaringan yang dapat melindungi kita.
Tetapi, aku lebih memilih pergi berlawanan arah. Aku berjalan kaki dua ratus meter menjauhimu dan menemui istriku. Kami sama sekali tidak mengira kalau kondisi telah segenting waktu itu. Aku pikir, dirikulah yang pertama mengetahui berkas itu. Namun ternyata, kamu telah menyerahkan salinannya ke pihak yang berwenang terlebih dahulu dan kamu memberikannya padaku karena usahamu tidak mendapatkan jawaban dari mereka.
Begitulah kebodohan kita kawan. Kamu terlalu gegabah dalam mengambil tindakan dan aku terlalu berhati-hati. Keduanya berakhir dengan dirimu yang menjadi korban. Sudah sebelas bulan lamanya setelah mobil box kosong itu menabrakmu bersama penjaga warung. Beruntung saat itu aku datang tepat waktu, sehingga kamu masih terselamatkan. Namun ternyata, keberuntungan itu mendadak berbalik menjadi petaka ketika diketahui tulang belakangmu telah remuk.
Lihat adikmu yang kini hanya mampu menangis saat mengetahui kondisimu. Rasa bersalahnya padamu melebihi kebahagiannya melahirkan buah hatinya. Tubuhnya kering akibat nafsu makannya yang tidak kunjung hadir, setelah mengetahui upaya terakhirmu untuk mengkahiri hidupmu. Dia dokter yang pertama kali menemukan lidahmu terjepit diantara gigi rapihmu. Dia pula dokter yang pertama mengetahui bahwa kemungkinan pulihmu rendah. Aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan kawan. Kamu begitu berarti buat kami.Â
Berkas itu akan tetap aku simpan baik-baik. Mereka tidak akan berani menyentuhku. Kamupun tahu itu, dan harusnya kamu menyerahkan berkas itu padaku terlebih dahulu sebelum ke pihak yang berwenang. Jika saja itu kamu lakukan, tentu tidak seorangpun akan mengetahuinya. Tentu kamu tidak akan terbaring di sini meratapi nasibmu sendiri.Â
Kini akan aku tunaikan permintaan terakhirmu dan teruslah hidup dalam setiap napas keponakanmu, Bahrul Umam muda. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk berkasmu yang sekarang telah aku kirimkan pada Ani, wanita pujaanmu yang menikah denga orang Amerika bulan lalu. Dia sudah tidak sanggup lagi menyaksikan penderitaanmu, terbaring tanpa daya di ruangan pengap ini.
Mendadak listrik rumah sakit padam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H