Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bekas

24 Januari 2018   08:24 Diperbarui: 25 Januari 2018   02:19 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.pixabay.com

"Jangan berpelukan kalian!" Bentak salah seorang polisi. " Sangat tidak patut perempuan menyukai sesama perempuan."

Sika sedikit tersadar. Dia berbisik pada Rembayung. "Aku tadi sebelum memulai pesta, membuka internet sebentar . Mereka telah banyak membicarakan kita. Mereka telah banyak menghujat kita. Bahkan mereka menganggapp kita parasit. Meskipun mereka sangat menikmati karya-karya kita." Sika menangis. "Padahal, belum tentu kita seperti yang mereka anggap."

"Dwi pasti akan menyelamatkan kita seperti hari itu." Rembayung menenangkannya.

Sika mengingat betapa hari itu begitu membekas. Bahkan bau keringat dari anak-anak SMA itupun tidak dengan mudah dia hilangkan dari tubuhnya. Setiap dia mandi, dia harus berulang kali membersihkan tubuhnya agar tidak lagi mencium bau itu. Bahkan saat dia duduk di samping seorang lelaki, dia akan dengan mudah mencium hadirnya bau keringat itu sehingga dia gemetar.

Dwi baru pulang sekolah dan berteduh dari hujan di kandang kambing itu, saat dia mendengar ketiga teman sekelasnya minta tolong. Dengan cepat dwi berlari menerobos hujan dan memanggil para tetua kampung. Hanya kurang dari 10 menit, seluruh warga sudah mengepung kandang itu. Mereka mendobrak pintu kandang dan menemukan tiga anak perempuan SMP yang terikat dengan tiap orangnya di jaga oleh dua orang anak laki-laki SMA. Semuanya dalam keadaan tanpa berpakaian.

Satu jam kemudian, kandang itu telah terbakar bersama dengan kambing dan seluruh isinya. Kecuali tiga anak SMP yang menangis dipangkuan kedua orang tua masing-masing.

"Apakah kamu ingin selamat namun tetap mendapat sanksi adat seperti sebelumnya" Sika menatap Mata Rembayung.

Rembayung mengingat bagaimana dulu kembang desa muda itu dicampakkan oleh masyarakatnya. Apalagi lelaki yang kerapkali berpapasan dengannya, mereka selalu meludah seolah sangat jijik dengannya. Belum lagi tetangganya, yang kerap kali menggunjingkan dirinya. Di sekolah, setiap anak yang ditemuinya menyebutnya pelacur. 

"Aku tidak ingin."

Suara pecahan kaca jendela terdengar menggema di kamar itu diikuti oleh dua orang yang terbang bebas keluar ruangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun