Ramainya polemik tentang SARA yang dianggap saru menjelang Pilkada putaran ke 2 DKI, menurut saya bisa dijadikan tolok ukur sensivitas rakyat/masyarakat pemilih terhadap isu tersebut. Efektifitas pemakaian isu itu sendiri juga perlu dipertanyakan dengan melihat hasil akhir nantinya.
Soal SARA yang dianggap saru, tentu saja ini dilakukan pemerintah dengan pertimbangan pemakaian isu tersebut berpotensi menimbulkan gesekan yang kontraproduktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun pelarangan penggunaan isu SARA diberlakukan, tetapi kebijakan tersebut tidak bisa menghilangkan sama sekali bertebarannya isu SARA, termasuk di Pilkada DKI. Naluri survive dalam perbedaan manusia dan saat ini didukung oleh teknologi internet, membuka peluang lebih luas penyebaran isu SARA di sekeliling kita.
Salahkah itu? Salahkan Oma? Salahkah Foke? Salahkah seorang muslim bicara dengan mengutip Quran bahwa kewajiban muslim memilih pemimpin yang seiman? Salahkan seorang muslim bicara bahwa muslim jangan memilih kafir sebagai pemimpin?
Kalo menurut saya sih sah-sah saja. Statemen seperti itu tentu berangkat dari pemikiran bahwa yang seiman diharapkan akan membawa kesejahteraan dan kemaslahatan yang lebih baik. Bahwa seorang pemimpin muslim akan lebih perduli kepada sesama muslim dibanding seorang pemimpin kafir (non muslim). Bahwa seorang pemimpin muslim diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat kaum muslim dibanding seorang pemimpin kafir.
Begitu. Sebuah harapan berawal dari persepsi.
Saya meyakini dengan pemimpin yang seiman, apabila terjadi konflik, pemimpin akan membela kaumnya. Pembelaan itu bisa terang-terangan tetapi bisa juga tidak terang-terangan, hanya sedikit condong membela. Atau melalui kebijakan yang menjadi kewenangan penguasa, kebijakan dibuat untuk keuntungan kaum pemimpin.
Begitu.
Tetapi terlepas dari keberpihakan karena satu golongan, yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang berjalan di negeri kita sudah mendekati harapan itu. Apakah penguasa seiman telah menjamin memberi kemaslahatan bagi kaumnya baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Saya bicara seiman, sekaligus menyinggung isu yang bisa sama di Indonesia Timur seperti NTT, Papua dan sebagian Ambon.
Sayangnya harapan itu jauh panggang dari api. Penguasa yang seiman tidaklah menjamin kemakmuran dan kemaslahatan rakyat, dan kaumnya yang seiman. Dari Sabang sampai Merauke kita menyaksikan satu per satu penguasa yang secara keyakinan, mewakili mayoritas rakyat yang dipilih, berbondong-bondong masuk hotel prodeo.
Jadi bagi saya, pemimpin seiman itu kalo bersih ya that's fine. Tapi kalo pemimpin seiman tapi malah KKN, keseimanan is nothing.
Selamat menyolok jago anda rakyat Jakarta.
(salam dari kaum kafir)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H