Mohon tunggu...
Lis & Ben
Lis & Ben Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lis & Ben, bergandengan tangan untuk berusaha menghasilkan buah yang jauh lebih baik daripada pohonnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengabaikan Suara Seorang Anak? Jangan Pernah!

4 Juni 2014   14:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:25 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang (calon) anak tak bisa memilih akan dilahirkan oleh orangtua macam apa dirinya kelak. Bila dilahirkan oleh orangtua yang ‘sempurna’ lahir batin, ya puji Tuhan. Bila kebalikannya, ya (harusnya) tetap puji Tuhan. Mungkin masih ada kebaikan yang bisa ditemukan dalam ‘ketidakbaikan’ itu.

Rasanya hampir semua anak memiliki mimpi dan imajinasi tak terbatas tentang akan jadi apa dia kelak. Lalu bagaimana jika mimpi dan imajinasi itu kita (orang dewasa) anggap remeh dan tertawakan? Jangan lupa bahwa manusia sekecil apa pun bentuknya, semuda apa pun usianya, pasti punya perasaan. Bila kita yang mengaku orang dewasa ini ditertawakan orang lain pasti sakit rasanya. Lalu apakah seorang anak kecil tidak? Bukan tidak mungkin akumulasi dari rasa ‘sakit’ itu bisa berakibat buruk suatu saat.

Ketika kita dianugerahi karunia untuk mendengar, mengapa kita tidak menggunakannya untuk sekedar mendengarkan keinginan seorang anak kecil? Bila itu bisa menumbuhkan semangatnya, kenapa kita harus merontokkan semangat itu dengan sejuta alasan yang konyol?

Misalnya, “Ma, aku ingin jadi dokter.”

Semua orang tahu jaman sekarang biaya untuk jadi dokter itu muahalnya minta ampun. Tapi apakah seorang anak kecil sudah bisa memahami itu?

Lalu kita jawab, “Sudah deh, jangan punya keinginan macam-macam! Kita makan aja sudah susah kok cita-citamu ketinggian?!”

Kalau buat makan saja susah lha ngapain juga maksa beranak? Banyak lagi! Jangan salahkan anak kecil ini bila suatu saat nanti dia punya pikiran seperti itu.

Bukankah lebih enak kalau jawabannya seperti ini : “Boleh, belajar yang rajin ya? Kalau kita punya kemauan baik pasti Tuhan kasih jalan.”

Diabaikan, tidak didengar, diremehkan, adalah hal yang menyakitkan buat seorang anak kecil. Bisa jadi dia akan membawa luka dan sakit hati itu sepanjang hidupnya. Apa bentuknya? Kurang punya simpati, kurang punya empati, masa bodoh, pasif, merasa selalu gagal, dan masih banyak lagi.

Ya bagus kalau dia bisa mengubah rasa sakit itu jadi pemacu semangatnya untuk lebih dan lebih lagi. Tapi lebih bagus lagi kalau pemacu semangat itu berasal dari hal yang positif kan? Dukungan orangtua, misalnya. Juga kehangatan kasih, telinga untuk mendengar, hati nurani untuk bicara.

Kegagalan itu ada dalam setiap titik kehidupan. Manusia berhak untuk bertindak cermat menghindari kegagalan itu. Tapi saya pikir jauh lebih penting untuk menyiapkan mental ketika terpaksa harus menghadapi kegagalan. Kegagalan bukan harus disikapi sebagai kiamat kecil sampai seorang anak bisa berpikir untuk bunuh diri ketika berhadapan dengan kegagalan. Itu mungkin terjadi kalau dia menghadapi banyak tekanan tanpa ada seorang pun yang dia harapkan bisa membantunya kembali berdiri tegak. Alih-alih membantu, mau mendengarkan curhatnya saja tidak mau.

Seorang anak, orangtualah yang pertama kali membentuknya. Lingkungan sangat berpengaruh. Tapi ketika keluarga sudah lebih dulu berhasil membentenginya dengan didikan moral, pengertian, dan budi pekerti yang kuat, paling tidak kekhawatiran terhadap akan jadi sesatnya seorang anak sudah berkurang separuh.

Bila kita benar menyayangi anak kita, dengarkan dia. Tumbuhkan semangatnya. Siapkan dia untuk menghadapi kegagalan dengan segala dukungan kita. Bukannya malah mengabaikan, menganggap remeh, menertawakan semua impian dan imajinasinya.

Ketika buah hati kita terlanjur jadi anak yang apatis, kurang empati, tak ada simpati, tak mau mendengar, masa bodoh, pasif, tertekan, merasa gagal, segeralah ambil cermin dan lihat apa yang sudah kita sebagai orangtua lakukan. Itu bukan salahnya, tapi salah kita.

Selamat pagi, selamat berkarya...

Salam,
Lis S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun