Life begins at 40. Hidup dimulai pada usia 40.
Bisa jadi buat orang lain iya. Tapi buat saya? Mmm... nggak juga tuh! Jauh sebelum itu. Dimulai lebih awal. Jauh dari usia 40 waktu hal itu terjadi. Gimana bisa? Bisa dunkz! Tentu saja bisa! #kedip sebelah mata#
Hari ini, tanggal 7 Juli 2014, ‘hidup’ saya berusia tepat 12 tahun. Sebuah ‘kehidupan’ baru yang dimulai ketika suami dan saya saling mengucapkan janji pernikahan di depan altar, di hadapan Tuhan dan para saksi. Sebuah ’kehidupan’ yang ‘bukan lagi dua, melainkan satu’. Sebuah ‘kehidupan’ baru yang membuat saya merasa lebih lengkap sebagai manusia. Sebuah ‘kehidupan’ baru yang berdasarkan cinta dan berlandaskan saling percaya, saling menghargai, dan saling menghormati.
[caption id="attachment_332399" align="aligncenter" width="420" caption="7 Juli 2002, sudah lebar ke samping... (koleksi pribadi)"][/caption]
Lalu apakah sebelumnya saya tidak punya ‘kehidupan’? Pastilah saya tetap ada dalam kondisi ‘hidup’. Tapi kehidupan itu berlalu begitu saja hampir tanpa makna. Saya banyak belajar dari orang-orang yang berada di dalam lingkaran kehidupan saya. Semua pahit, manis, getir, indah, kelabu, bahagia, kehilangan, semua sebetulnya jadi bekal yang cukup berarti buat kehidupan saya kelak. Tapi entahlah, saat itu saya merasa saya belum menikmati ‘hidup’ yang sebenarnya.
Tapi kemudian waktu itu datang. Terasa ‘sangat tepat’ buat saya. Ketika saya sudah siap untuk memasuki gerbang baru berupa pernikahan, Tuhan memberi saya seseorang yang sungguh membuat saya merasa selalu nyaman berada di dekatnya. Membuat saya merasa yakin untuk menempuh ‘kehidupan’ baru bersamanya dalam kondisi suka dan duka, sedih dan bahagia, sehat dan sakit, mencintai dan dicintai, selamanya, tak terceraikan oleh manusia, sampai Tuhan sendiri yang kelak akan memisahkan.
12 tahun usia pernikahan itu tentunya baru usia ABG. Masih sangat jauh sekali dari (hampir) 54 tahun usia pernikahan orang tua saya. Tapi di sepanjang waktu 12 tahun itu saya menemukan bahwa pernikahan itu bisa dibuat jadi ‘mudah’ kalau kita mau. Bisa dibuat jadi ‘sulit’ kalau kita inginkan. Lha kalau hidup kayak gini saja sudah (dirasa) sulit, ngapain juga nambah kesulitan dengan ‘merumitkan’ hidup perkawinan? Jadi ya santai ajalah...
Banyak banget teori tentang pernikahan yang beredar di sana-sini. Lantas kami mau ikut yang mana? Buat kami sih pedomannya ya cuma yang sesuai dengan ajaran agama kami saja, yaitu monogami dan tak terceraikan oleh manusia. Caranya gimana? Buanyak.
Gimana bisa monogami? Ya setialah sama pasangan. Nafsulah sama pasangan saja, jangan sama orang lain. Gampang kan? Mau dibikin sulit juga bisa sih... Terserah saja. Tapi kami lebih pilih gampangnya. Cuma berusaha mengendalikan hati, mata, dan nafsu.
Gimana bisa tak terceraikan oleh manusia? Ya berusaha dunkz untuk nggak bercerai. Wis gitu thok. Lha caranya? Buanyak... Tetap saling mencintai, ngurangi ego, selalu komunikasi dengan baik, saling mengerti, saling menghargai, saling mendukung, dan saling yang baik-baik. Gampang to? Balik ke situ lagi : mau dibikin susah juga bisa.
Terus, kalo sudah kayak gitu, apa lantas kehidupan perkawinan kami jadi lempeng-lempeng saja? Ya orang-orang di dalamnya sih tetep lempeng-lempeng saja. Tapi kan kita semua nggak hidup sendirian di dunia ini. Mau nggak mau, suka nggak suka, pasti ada faktor ‘luar’ yang kalo dibiarin ya bisa ganggu ‘yang di dalam’ ini. Menghadapinya gimana? Ya dengan tetap bergandengan tangan. Saling menguatkan, saling memberi dukungan. Selalu berdoa agar kami dikuatkan ketika ada badai. Setiap badai toh pasti ada akhirnya.