Para ilmuwan sosial menggunakan konsep gender untuk menjelaskan perbedaan di antara perempuan dan laki-laki. Gender adalah konstruksi sosial budaya yang telah dipelajari dan disosialisasikan sejak anak-anak (Puspitawati, 2013: 1). Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, fungsi, tanggung jawab, hak dan kewajiban, serta perilaku. Gender dibentuk oleh nilai sosial dan budaya masyarakat, serta adat istiadat lokal, yang dapat berubah seiring waktu. Secara singkat, istilah "gender" digunakan untuk mendikotomikan perbedaan dasar antara laki-laki dan perempuan. Gender dan jenis kelamin (sex) adalah istilah yang berbeda. Jenis kelamin didefinisikan sebagai kodrati, sedangkan gender didefinisikan sebagai bukan kodrati alias hasil konstruksi.
Gerakan feminisme memiliki tujuan utama untuk menghapus nilai-nilai patriarki yang dianggap kuno, yang merupakan awal dari konsep kesetaraan gender. Selain itu, kaum feminis berpendapat bahwa budaya patriarki bertanggung jawab atas ketidaksetaraan dan ketidakalidan yang dialami kaum perempuan terkait dengan kontrol dan kepemilikan sumber daya. Selama sistem patriarki bertahan, kesetaraan gender tidak akan tercapai. Kesetaraan gender adalah ketika laki-laki dan perempuan menikmati kesetaraan dalam hal status dan kondisi sehingga mereka dapat memanfaatkan sepenuhnya hak asasi mereka dan potensi untuk berkembang di setiap aspek kehidupan (Puspitawati, 2013: 4-5).
Dalam sistem sosial yang dikenal sebagai patriarki, laki-laki memiliki posisi sentral dan lebih tinggi daripada perempuan dalam semua aspek kehidupan baik itu sosial, budaya, dan ekonomi (Pinem, 2009). Patriarki juga diartikan sebagai sebuah sistem di mana laki-laki dianggap lebih berhak untuk mengatur hidup perempuan, karena perempuan dianggap tak berdaya (BZ Pebriaisyah et al., 2022). Ketimpangan gender dan patriarki merupakan dua hal yang saling berkaitan dan masih ada di masyarakat India hingga hari ini. Padahal Mahatma Gandhi sebagai salah satu tokoh nasional India telah menyerukan persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki di India sejak zaman perjuangan kemerdekaan (Tedjo et al., 2021). Tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat menciptakan hierarki dan ketimpangan gender ini.
Di India, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda karena faktor tradisi yang sudah mengakar sehingga menyebabkan ketimpangan gender. Perempuan dipandang sebagai "manusia kelas dua" oleh struktur masyarakat India, yang mengakibatkan tindakan diskriminatif terhadap mereka dalam bidang sosial masyarakat India. Perempuan mengalami ketidakadilan, terutama dalam hal hak-hak dan "privileges" yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan.
Disebabkan oleh patriarki yang masih kuat di India, stereotip tentang peran gender pun muncul. Mereka percaya bahwa anak perempuan hanyalah beban dan tidak perlu sekolah karena pada akhirnya mereka akan menjadi properti suami mereka dan kembali ke dapur. Ini seharusnya merupakan bagian dari gender discrimination yang masih terjadi di India, terutama di daerah perkampungan. Karena budaya Hindu melekat pada struktur sosial India, itu juga sedikit berpengaruh terhadap perspektif masyarakat India, terutama tentang kesetaraan gender. Dalam masyarakat India, terdapat anggapan bahwa laki-laki memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan dalam hal-hal seperti tinggal di rumah, tidak boleh bekerja, dan mendahulukan laki-laki dalam hal pendidikan dan mencari nafkah.
Film ini tentu saja menafikkan paten-paten maupun dogma-dogma daripada gender role yang terbilang konservatif dan konvensional, khususnya pada masyarakat India yang masih terkenal patriarkis. Film ini seakan-akan menggugah tabir kehidupan di mana peran kelelakian maupun kewanitaan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Stigma-stigma negatif terhadap lelaki 'domestik' dan perempuan 'publik' berusaha dihilangkan, karena alasan-alasan perkembangan zaman yang menyetarakan kedua pihak baik laki-laki maupun perempuan. Keduanya berhak untuk menentukan pilihan masing-masing dan tak hanya berpaku pada stigma peran gender semata.
Kia berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah, hal ini menyebabkan Kia menjadi seseorang yang pekerja keras dengan ego yang tinggi. Di film, Kia digambarkan sebagai wanita yang maskulin. Ayah Kia telah lama meninggal dunia, memiliki ibu single parent. Mendorong Kia menjadi wanita yang mandiri, workaholic, dan ambisius.Â
Kia juga tidak suka dibebankan oleh pernikahan, sehingga menikahi Kabir yang ingin mengurus urusan domestik menjadi pilihan tepat baginya. Di sisi lain, Kabir digambarkan sebagai anak orang kaya raya yang mudah sedih, lebih feminin, dan bercita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga. Kabir tidak mau bergantung pada kekayaan ayahnya. Kabir sangat mengidolakan ibunya sehingga lebih emosional. Menurut Kabir, menjadi seorang bapak rumah tangga adalah sebuah hal yang luar biasa, karena baginya seseorang yang mengurus rumah tangga adalah seorang seniman sejati.
Pernikahan mereka terbilang inkonvensional dengan pertukaran peran tersebut. Ayah Kabir yang konservatif, menjunjung tinggi bahwa laki-laki harus menjadi seorang provider dan menganggap Kabir yang berperan seperti perempuan adalah aib. Namun Kia berpandangan sebaliknya, menurut Kia, pria sejati adalah pria yang mampu mengenali dirinya sendiri dan memiliki jati diri, tidak melulu harus mengikuti konsep pria dalam ranah konstruksi sosio-kultural.
Laki-laki maupun perempuan harus memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam konteks pemenuhan hak dan kewajiban sebagai sesama manusia. Karena sejatinya dalam sebuah kehidupan, kita diciptakan oleh Tuhan untuk saling melengkapi. Saling melengkapi juga bukan berarti menjadi saling ketergantungan, terutama dalam hal-hal basic needs yang harus kita penuhi secara mandiri. Therefore, God create men and women to coexist not to compete.
Referensi