Adat istiadat merupakan ciri budaya yang mencerminkan kepribadian daripada suatu daerah dan suku tertentu yang sudah barang tentu dimiliki secara melimpah oleh masing-masing suku bangsa yang menempati Bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Adat istiadat dapat berbentuk juga semacam tradisi, hal yang menjadi kebiasaan, bahkan larangan atau pantangan di suatu daerah. Sebagai putra sekaligus pribumi masyarakat Sunda atau Urang Sunda Asli, ketika mendengar kata ‘budaya’ ataupun ‘adat’ yang sekilas identik, terpintas di pikiran saya mengenai kebudayaan Sunda, khususnya di tatar Kabupaten Bandung, yang lebih tepatnya terletak di Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah.
Desa Jelekong merupakan desa wisata yang telah diresmikan melalui SK Bupati No. 556.42/Kep. 71/DISPOPAR/2011 sebagai “Kampung Seni dan Budaya Jelekong”.
Berdasarkan wawancara yang saya lakukan dengan Ibu Intan Sunarya yang merupakan cucu kandung dari mendiang Abéng Sunarya atau dikenal juga sebagai Abah Sunarya, beliau menjelaskan bahwa Desa Jelekong terbagi menjadi tiga kawasan, yakni Kompepar Giriharja, Desa Wisata Jelekong, dan Kompepar Gentong. Kompepar merupakan kependekan dari Kelompok Penggerak Pariwisata.
Kompepar Giriharja lebih fokus dalam mengelola pertunjukkan dan pagelaran seni Wayang Golék dan lukisan sekaligus mewadahi para seniman, dalang, dan ‘nayaga’ (pemain gamelan dalam perdalangan). Adapun Desa Wisata Jelekong yang berfokus pada penataan lingkungan seperti pengadaan fasilitas-fasilitas umum. Sementara Kompepar Gentong fokusnya terhadap wisata yang berkaitan dengan keindahan alam.
Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai asal usul penamaan desa Jelekong yang memiliki dua versi. Versi pertama yakni kata ‘Jelekong’ berasal dari kata ‘jleg’ yang muncul begitu saja dan ‘gong’ atau ‘kong’ yang merupakan onomatope dari bunyi gong. Versi lainnya mengatakan bahwa kata ‘Jelekong’ berasal dari onomatope ‘jréng’ dan ‘gong’ yang merupakan suara khas dari alat musik tradisional, maka jadilah Jelekong. Masyarakat di Desa Jelekong terkenal dengan ‘kekentalan’ budayanya atau dalam istilah Sunda disebut juga dengan ‘Ngamumulé’.
Kegiatan ngamumulé ini dilakukan secara turun temurun sehingga kebudayaan Sunda di desa ini tetap lestari. Hal ini yang membuat desa ini unik dibandingkan dari desa lain. Dengan kata lain, desa ini dikenal sebagai desa ‘produsen’ para seniman andal atau seniman ‘Giri Harja’ seperti kesenian sisingaan, jaipongan, Wayang Golék, pencak silat, serta beberapa industri ekonomi kreatif seperti seni kriya, seni musik, dan seni lukis.
Di desa ini tidak terdapat larangan ataupun pantangan secara spesifik, kecuali larangan-larangan dalam agama Islam. Di desa ini juga tak terdapat tempat-tempat yang disakralkan maupun dikeramatkan, namun orang-orang di desa ini masihlah merawat sekaligus menjaga makam nenek moyangnya, seperti Abah Sunarya. Sanak keluarga dan kerabat dari mendiang almarhum melakukan ziarah secara rutin. Selain itu, banyak juga orang-orang dari luar yang merupakan penggemar dari beliau yang turut berziarah ke makam Abah Sunarya.
Tradisi utama di Desa Jelekong merupakan peringatan terhadap Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap tanggal 7 November. Setiap kali pagelaran dilakukan, masyarakat menyambutnya dengan baik dari dalam maupun luar wilayah sekitar. Acara pagelaran ini dimanfaatkan juga oleh masyarakat sekitar guna memajangkan hasil karya lukisan dan menjajakan berbagai macam mainan, kerajinan tangan, dan makanan.
Terdapat pula suatu tradisi yang sudah lama tidak diberlakukan lagi, yaitu ngaruwat yang diperuntukkan bagi para dalang di masa lalu. Syarat untuk melakukan ritual ini yaitu melakukan puasa dan menyiapkan berbagai sesajen. Adapun tradisi keluarga dari Abah Abeng Sunarya yaitu dengan menyematkan nama “Sunarya” diakhir namanya, seperti narasumber saya kali ini yang bernama Ibu Intan Sunarya.
Nama ‘Giri Harja’ yang disematkan oleh Bupati Bandung secara harfiah berarti ‘gunung yang makmur. Filosofinya adalah Desa Jelekong terletak di hamparan gunung yang makmur. Giri Harja merupakan grup kesenian yang ada di desa Jelekong. Salah satu seniman Giri Harja yang terkenal adalah Asep Sunandar Sunarya (Giri Harja III). Lalu mengapa di desa ini terdapat banyak sekali seniman? Siapakah yang memperkenalkan kesenian di desa ini?
Awal mula hadirnya tradisi melukis di Desa Jelekong diawali oleh seorang berkebangsaan Belanda yang selalu melukis setiap harinya lalu metodenya diikuti oleh Abah Odin Rohidin yang ilmunya diwariskan kepada anak cucunya, begitupula tetangganya turun-temurun hingga sekarang. Sedangkan Wayang Golek diperkenalkan oleh Abah Abéng Sunarya yang oleh beliau ilmu pewayangannya diwariskan secara turun-temurun kepada anak-anaknya seperti Adé Kosasih Sunarya dan Asép Sunandar Sunarya hingga ke cucu dan tetangganya.
Terdapat suatu ancient customs yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jelekong dalam seni lukis yang bernuansa alam Sunda. Originally, lukisan-lukisan Jelekong bertemakan keindahan alam. Namun, berdasarkan permintaan customer dan sarana adaptasi dengan tren kesenian, lukisan-lukisan ‘tidak melulu’ bertemakan keindahan alam Sunda, melainkan dapat berupa lukisan wajah, hewan, maupun lukisan keluarga. Hal ini dilakukan pula sebagai salah satu strategi yang dilakukan oleh masyarakat adat Jelekong di dalam menghalau arus negatif modernisasi dan globalisasi sehingga budaya Sunda dapat lestari.
Di samping itu, globalisasi dan modernisasi sangat membantu bagi penyebaran dan penjualan lukisan dan kebudayaan Sunda tersebut. Transportasi, komunikasi, dan teknologi informasi yang tersebar dan diadopsi masyarakat lokal sedikit banyaknya membantu kehidupan mereka sehari-hari. Mereka mulai mengenal dunia e-commerce melalui digital marketing dan juga social media marketing yang selain terbukti efektif dalam hal penjualan, hal ini juga membantu mereka memperkenalkan dan meningkatkan awareness pada generasi muda sekarang akan eksistensi budaya Sunda.
Pesan dan harapan dari Ibu Intan Sunarya selaku narasumber terkait generasi muda yang tidak turut serta melestarikan budaya adalah beliau menyayangkan para generasi muda yang tak mendapatkan wadah dan dukungan serta pengenalan terhadap budaya Sunda seperti generasi muda Sunda di Desa Jelekong. Budaya lokal Sunda yang dianggap kuno haruslah diberikan re-branding supaya relevan dan dapat diterima dan dikolaborasikan dengan budaya pop yang saat ini sedang menjamur. Masalah ataupun kendala lain yang dialami oleh masyarakat Desa Jelekong merupakan kapital ataupun pendanaan mengingat pagelaran wayang cukup merogoh kocek ratusan juta rupiah.
Harapan lain juga bahwa DISPARBUD mengadakan MoU dengan berbagai sekolah dasar di Kabupaten Bandung maupun Jawa Barat untuk mengadakan agenda study tour ke Desa Jelekong selain untuk edukasi, dapat juga membantu perekonomian masyarakat Jelekong. Maka dari itu, diperlukan suatu tindakan komprehensif dan menyeluruh dari seluruh pihak baik pelaku seni, penikmat seni, juga pemangku kebijakan (bupati), serta pelaksana kebijakan (dinas tertentu) terkait kelestarian budaya leluhur Sunda sebagai warisan dunia yang harus selalu dijaga dan dimumulé oleh kita semua khususnya Urang Sunda Asli.
Penulis berpesan khususnya untuk diri pribadi dan umumnya untuk seluruh generasi penerus masyarakat Sunda untuk selalu turut serta ngamumulé budaya jeung basa Sunda. Hatur Nuhun. Salam Bedas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H