Tina masih ingat semuanya. Sudah beberapa bulan Pak Tono suka mengajak Tina 'bicara' selepas bel pulang berbunyi. Tina mengerti bicara sebagai elusan dan rabaan, kadang kecupan di pipi. Lalu Jumat yang silam Pak Tono meminta Tina membuka baju seragam dan duduk dipangkuannya. Tina ingat tangan Pak Tono yang kasar berbulu pada dada dan perutnya, membelai dan meraba. Bibir basah dan kumis kasar pada pipi dan leher dalam kecupannya. Kini pun ingatan itu membuatnya merinding. Ngeri. Inilah yang mengganjal hati Tina.
Ia lihat Pak Tono sudah duduk menunggu pada sebuah bangku. Ia longgarkan dua kancing bajunya, menampilkan singlet putih lusuh dan dada yang berbulu. Pula telah ia lepaskan sabuk kulit dari pinggangnya, kedua ujungnya dibiarkannya menggantung di depan celana. Pandangannya tajam, bibirnya menyeringai, menampilkan emosi tertentu yang Tina belum tahu. Apapun itu, Tina tak suka melihatnya. Ia takut, kakinya kaku.
Tapi bukankah Pak Tono gurunya? Ia ingat seorang dewasa yang berkata guru adalah orang tuanya di sekolah. Tina pun teringat kata-kata Mama kemarin, ia harus menurut pada kata orang tua, termasuk Pak Tono. Tina juga ingat kalau tidak menurut nanti bisa dimarah seperti Mama kemarin marah padanya.
Maka Tina pun memendam rasa tak nyamannya dalam-dalam. Ia sudah berjanji pada Mama. Tina akan jadi anak penurut. Lagi pula, menjadi anak penurut itu baik bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H