Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Manusia-manusia yang Terjebak di Jalan

14 Januari 2019   18:24 Diperbarui: 14 Januari 2019   18:33 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Jumat sore, pukul 17.34. Rudi termangu di dalam mobil kecilnya. Sudah satu setengah jam sejak ia meninggalkan kantornya, empat puluh lima menit sejak keluar dari jalan tol dan memasuki macetnya jalanan ibu kota. Tiga puluh menit sudah mobilnya diam tak bergerak. Di kanan kirinya ia dapat lihat pengemudi dan penumpang dalam mobil-mobil lain yang senasib dengannya. Sepeda-sepeda motor meliuk-liuk di antara mobil. Klakson di sana-sini menambah bising hiruk pikuk jalanan ibu kota menjelang akhir pekan.

Kruk kruk, perut Rudi berbunyi meminta diisi. Rupanya ia lapar. Ia buka dasbor mobil, diambilnya sebungkus kue kering yang telah ia simpan disana. Sudah keniscayaan perut manusia minta diisi pada sore hari. Rudi pun sudah siap untuk keniscayaan ini. Toh inilah kehidupannya setiap hari dan malam sejak lima tahun silam.

Saat itu Rudi dan Ani, istrinya, membeli rumah di pusat kota. Hanya rumah mungil dalam perumahan sederhana, tapi bagi mereka sudah bak istana. Kata orang lokasinya strategis, pusat kota berarti properti premium dengan harga yang kian nelambung. Tapi bagi Rudi dan Ani yang terpenting rumah itu dekat dengan gedung tinggi tempat mereka mencari rejeki. Tiga tahun tinggal di sana rumah mungil itu bertambah ramai dengan derai tengis bayi pertama mereka, Budi.

Tapi sayang bersamaan itu Rudi dipindah tugas ke kota sebelah, Ani pun berhenti bekerja demi Budi sang bayi. Jadilah rumah yang berlokasi strategis itu hanya jadi sumber getir hati. Rudi harus pergi subuh pulang malam saban hari. Obrolan canda hangat yang biasa mengisi meja makan saat sarapan dan makan malam sirna sudah. Sisa hanya sepi.

Hari Jumat sore, pukul 17.51. Rudi dikagetkan dari lamunannya dengan bunyi klakson mobil di belakang. Mobil di depannya sudah berjalan rupanya, walau hanya 2 meter saja. Ia jejalkan sepotong kue kering yang sedari tadi sudah dipegang tapi lupa untuk dimakan. Ia masukan perseneling, injak gas, dan majukan mobilnya dua meter ke depan.

Rudi perhatikan sekelilingnya, pengemudi dan penumpang yang akan menghabiskan senja, dan mungkin malam, bersamanya. Di kiri tampak supir taksi, tangan kanannya kelur jendela menjepit rokok berasap. Wajahnya letih, mungkin target setoran belum tercapai. Tiba-tiba di antara supir taksi dan mobil Rudi sekelabat motor dan pengendaranya menyeruak. Tipis sekali rokok si supir hampir tertabrak. Ia lihat motor itu ditunggangi seorang emak berjilbab. Di depan kakinya tergantung tas anyaman penuh isi daging dan sayuran. Si supir taksi hanya bergeming, tangannya mendekati mulut untuk satu hisapan rokok di jari. Rudi menoleh ke kanan dan dilihatnya sepasang sejoli dalam mobil hitam yang masih mengkilat. Anak-anak muda, mungkin masih kuliah, atau bahkan belum selesai sekolah. Ia lihat mereka bercumbu dan bermesra, macetnya jalanan tak berdampak pada cinta romansa.

Rudi menghela napas. Nasib, pikirnya, menghabiskan senja bersama orang-orang tak dikenalnya. Para bapak yang pulang bekerja, emak yang pergi belanja, dan sejoli yang asyik bermanja.

Hari Jumat petang, pukul 18.05. Entah dari mana terdengar adzan. Sudah maghrib rupanya. Tapi belum sempat ia berpikir bagaimana caranya salat, kembali Rudi dikejutkan suara klakson dari belakang. Mobil di depan kembali sudah maju ke depan, menimbulkan jarak dengan mobilnya. Kali ini tiga meter. Kembali Rudi masukkan perseneling dan injak gas. Mobilnya beringsut maju, tiga meter saja.

Rudi mengembalikan perseneling, pasang rem tangan. Ia lirik cermin untuk lihat siapa supir tak sabar di belakangnya. Tampak wajah wanita paruh baya, kuyu dengan pakaian kerjanya. Sudahlah, pikir Rudi, hanya sesama manusia yang terjebak di jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun