APBD DKI Jakarta 2018 telah resmi disahkan DPRD. Proses pengesahan ini mungkin yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Belum pernah ada APBD di Indonesia yang dikritisi sedemikian ketatnya. Mulai dari pembengkakan anggaran TGUPP, pembangunan kolam, hingga penerima hibah yang tak terverifikasi. Itu adalah sekelumit cerita dari masalah yang menerpa proses pembahasan APBD ini.
Sadarkah Anda jika semua itu salah Ahok?
Kok bisa? Tentu saja ada hubungan langsung dan tak langsung keterlibatan Ahok dalam kisruh APBD DKI Jakarta 2017. Ya, Ahok memang terlibat dalam masa-masa awal pembahasan raperda ini. Walau hanya selama kurang lebih 2 bulan (Ahok dipenjara sebelum pembahasan selesai), itu menjadi salah satu keterlibatan langsung Ahok. Tetapi selain itu, kisruh APBD ini bisa dikatakan warisan dari 3 tahun kepemimpinan Ahok di Jakarta.
Salah satu akar masalah kisruh APBD 2018 ini berawal 3 tahun yang lalu. Ya, salah satu terobosan Ahok setelah menjabat gubernur adalah program e-budgeting. Program ini menyajikan proses penganggaran APBD secara transparan kepada masyarakat. Siapa pun yang peduli dapat dengan mudah mengakses RAPBD dan APBD DKI Jakarta sejak perancangan APBD 2016 pada 2015 yang lalu. Tidak hanya produk akhir, masyarakat dapat juga mengakses draft-draft e-musrenbang, KUA-PPAS, hingga RAPBD hasil bahasan Banggar DPRD.
Lalu, apa hubungannya e-budgeting dengan kisruh RAPBD yang terjadi belakangan?
Tentu saja berhubungan. Bayangkan seandainya tidak ada e-budgeting, apakah mungkin terjadi kritisi mendalam terhadap RAPBD 2018? Mungkin tidak. Kenyataannya proses pembahasan APBD (dan raperda serta RUU sekalipun) merupakan proses yang sangat tertutup. Walaupun dilakukan dalam sidang terbuka, 'masyarakat' hanya diwakilkan oleh para kuli tinta (baca: wartawan) di ruangan. Tidak mungkin bukan para warga biasa yang harus bekerja menghidupi keluarga untuk hadir dan melihat langsung pembahasannya?
Saksi-saksi pembahasan APBD ini berjumlah sangat sedikit. Anggota dewan, gubernur, wakil gubernur, SKPD, dan wartawan jika digabungkan jumlahnya tak sampai 200 orang. Jika mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang saling terkait, sangat mudah untuk melakukan kolusi dan menyembunyikan kejanggalan-kejanggalan dalam anggaran. Kesempatan berikutnya untuk mengetahui adanya kejanggalan adalah saat APBD sudah disahkan. Pada saat itu nasi sudah menjadi bubur, raperda sudah menjadi perda dan Pemda berkewajiban menjalankannya.
E-budgeting memberi ruang bagi siapa saja untuk mengkritisi RAPBD, termasuk masyarakat awam. Syaratnya hanya satu: memiliki akses internet. Kritik ini akan datang bertubi-tubi bagi pasangan Anies-Sandi yang nota bene terpilih dalam Pilkada 2017 yang sangat sarat dengan perpecahan.
Ini pun merupakan warisan Ahok.
Selama kepemimpinannya, Ahok merupakan sosok politik yang sangat divisive.Masyarakat Indonesia (tidak hanya Jakarta) seolah harus memilih apakah mendukung atau melawan Ahok. Pilihlah sebabnya: gaya bicara yang cenderung kasar dan blak-blakan, program-program, retorika yang anti-parpol serta political establishment, kebijakan yang (katanya) anti-rakyat miskin, dan tentu saja, statusya sebagai minoritas etnis-agama. Oleh karena itulah selama masa kepemimpinannya Ahok selalu didera keluhan serta kritik.Â
Para lawan politiknya yang datang dari berbagai kubu (kubu agama, pemain politik lama, hingga LSM pro-rakyat miskin) bertubi-tubi mempertanyakan berbagai kebijakannya. Tetapi Ahok juga memiliki basis massa setia yang berasal dari kalangan berpendidikan dan ekonomi kelas menengah yang besar di Jakarta.
Kini, pasca Ahok kalah Pilkada, posisinya terbalik. Yang tadinya jadi oposisi Ahok kini menjadi pemerintah. Para Sahabat Ahok menjadi oposisi. Tetapi pola politik pemerintah-oposisi ini bertahan. Kini giliran pendukung Ahok yang bertubi-tubi melancarkan kritik dan komplen. Institusi e-budgeting pun dijadikan senjata, mencari-cari kesalahan petahana Anies-Sandi dalam pengelolaan uang rakyat.
Skema politik pemerintah-oposisi ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah untuk pemimpin yang kompeten. Buktinya, Ahok berhasil bertahan, bahkan menjawab dan balik mempertanyakan, semua kritikusnya. Tiap pertanyaan mengenai anggaran dan kebijakan dijawab dengan data dan dasar-dasar hukum.Â
Masalahnya, Anies-Sandi masih bersifat baru, newbie,dalam urusan tata kelola pemerintahan. Lihatlah dari jawaban dan klarifikasi yang mereka berikan. Sandiaga Uno, contohnya, menjawab urgensi kolam seharga Rp 620 juta karena 'air adalah sumber kehidupan'. Anies pun seolah tidak mampu bangkit menjawab tantangan ini. Jawaban terseringnya terhadap kritik adalah berterima kasih karena telah dikritik lalu melempar masalah pada administrasi Ahok-Djarot pendahulunya.Â
Jawaban dan pelemparan tanggung jawab ini sering kali mudah dipatahkan dengan fakta. Misalnya, saat Anies melempar tanggung jawab atas penggelembungan RAPBD pada Ahok-Djarot, Tirto melancarkan artikel investigatif yang menemukan peningkatan anggaran terjadi pasca pelantikan Anies-Sandi. Bahkan, Banggar DPRD DKI Jakarta menunda pembahasan RAPBD dari Mei hingga Oktober menunggu Anies-Sandi dilantik.Â
Masyarakat Jakarta, khususnya pendukung Ahok, sudah berkembang secara politik dan tidak dapat lagi terima jawaban seperti ini. Mereka pun melancarkan fact checkingsecara swadaya memanfaatkan institusi transparansi yang ditegakkan Ahok, seperti e-budgeting.
Jadi, adanya kisruh pembahasan dan pengesahan APBD DKI Jakarta 2018 memang benar-benar warisan Ahok untuk Jakarta dan Anies-Sandi. Warisan tersebut berupa institusi transparansi, pola politik yang meningkatkan akuntabilitas, dan meningkatkan standar komunikasi politik di Jakarta. Semoga warisan ini dapat dimanfaatkan oleh segenap warga Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H