Senin, 30 Januari. Pukul 17.20.
Mobil baru saja berhenti di zona drop offterminal keberangkatan. Dimas menurunkan koper besar milik Sita, kekasihnya. Berat juga, pikirnya. Memang sudah seharusnya berat sih. Maklum, koper itu berisi baju untuk 90 hari. Di kursi penumpang Sita menggeledah tas ranselnya, pemeriksaan terakhir sebelum menuju tempat baru.
Sambil menunggu Dimas mengeluarkan sebatang rokok. Gudang Garam. Pria punya selera. Sambil ngebul, ia termenung. Ini pertama kali ia akan berpisah dengan sita selama tiga bulan.
Sejak pertama bersama satu setengah tahun lalu mereka selalu sekampus, sekota. Lagi pula, sudah 6 bulan mereka tinggal satu kamar kos, peduli setan kata tetangga dan orang tua. Toh hidup punya mereka berdua.
Sekarang... tiga bulan lamanya mereka tak akan bertemu. Hampir setengah durasi mereka hidup bersama.
Komunikasi pun mereka tak akan bisa. Bagaimana mau komunikasi, Sita dikirim tugas ke pedalaman Papua. Ke tengah hutan, membawa bantuan kemanusiaan. Jangankan sinyal, air bersih saja belum tentu ada.
Dalam dunia yang serba terhubung Dimas sulit membayangkan terputus hubungan selama tiga bulan. Biasanya kabar hanya sejauh smartphone. Tak perlu ditanya bahkan, tinggal periksa story Instagram terbarunya. Sekarang percintaan Dimas dan Sita dibawa ke ranah primitif tanpa sinyal dan handphone.
Sama siapa nanti ia di sana? Apa ada bule ganteng dalam rombongan sukarelawan ini? Terus, apa Sita akan ba-
Hush!
Dimas membuayarkan lamunan galaunya. Kan sudah merokok Gudang Garam? Pria kok galau? Tegar dong!
"Sayang! Yuk, ke terminal! Flightnya sudah mau berangkat nih!" panggil Sita. Ranselnya sudah siap.