Putusan bersalah Ahok menyiratkan bahwa selama dikutip secara benar, ayat suci tidak bisa salah terlepas konteks pengutipannya. Putusan ini menerapkan tabu kritik terhadap ayat suci dan golongan pendeta yang sering kali mengutip ayat-ayat suci. Artinya segala pendapat mereka yang didasari atas kutipan ayat suci yang benar menjadi infallible,tidak dapat dikritik dan disalahkan.
Cara pandang ini tentu saja kontroversial. Demokrasi menekankan rasionalisme memandang semua orang dan ideologi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Artinya, para pendukungnya harus dapat dikritik dan mampu menjawab kritik tersebut. Pendeta dan agama sebagai ideologi pun tak lepas dari tuntutan ini. Apalagi jika agama dibawa ke ranah publik dan sosial-politik.
Definisi penistaan pun bersifat variabel. Banyak agama resmi Indonesia yang saling mengkontradisi satu sama lain. Jika masing-masing keenam agama ini tidak dapat dituntut sebagai penistaan terhadap yang lain, kenapa aliran (yang katanya) sesat selalu dijerat pasal penistaan? Apa dasar perlindungan dari penistaan menjadi hak eksklusif agama resmi?
Adanya pasal karet juga tidak sesuai dengan cita-cita kepastian hukum. Sejarahnya pasal penistaan telah diterapkan pada kejadian yang meliputi sekedar kritik lisan dan tulisan, pengrusakan simbol agama, hingga aliran (yang katanya) sesat. Penerapannya juga terjadi bias di mana vonis bersalah lebih sering terjadi saat agama mayortas yang menjadi korban, menunjukkan kecenderungan mobokrasi dan bukan supremasi hukum.
Belum lagi kenyataan demokrasi Indonesia dengan partai agama yang mendasarkan program dengan ayat sci dan dalil agama. Jika ayat yang mendasari tidak dapat dikritik, dapatkah kita mengkritik program tersebut sebagai interpretasinya? Bukankah Ahok berkasus karena mengkritik salah satu interpretasi ayat suci? Jika tidak dapat dikritik, bagaimana cara bersaing dengan partai-partai yang demikian?
Di lain pihak, tidak ada yang kontroversial atas dasar ideologis pelarangan misinformasi, baik melalui ITE maupun media konvensional. Misinformasi tentu saja sesuatu yang imoral dalam segala madzhab agama dan ideologi. Dalam agama, misinformasi sama saja dengan berbohong dan menipu. Dosa dalam agama mana pun.Â
Dalam ideologi demokrasi, rasionalisme menuntut masyarakat dapat menentukan pilihan rasional. Artinya masyarakat harus mendapat informasi yang cukup untuk menarik kesimpulan. Misinformasi merampas hak masyarakat untuk membuat keputusan rasional, menjadikan tindakan misinformasi pelanggaran terhadap hak demokratis.
Akhir kata, walaupun Ahok dan Buni Yani sama-sama dapat bersalah secara hukum, (dugaan) pelanggaran Buni Yani lebih pasti merugikan masyarakat dan tidak memiliki dasar pembenaran. Saga penistaan agama ini harus dijadikan evaluasi terhadap hukum kita agar semua hukum memiliki dasar ideologis yang baik, bukan sekedar berdasar tuntutan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H