Tanggal 20 Oktober lalu mahasiswa di bawah BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) melancarkan demonstrasi memperingati 3 tahun Jokow-JK. Demo yang tadinya tertib menjadi ricuh saat mahasiswa menolak bubar pukul 18.00, batas melakukan aksi yang ditetapkan Polri. Akhirnya terjadi kontak fisik antara polisi dan mahasiswa yang berujung terluka dan ditahannya beberapa mahasiswa.
Demonstrasi 20 Oktober ini menjadi sampel khas pola gerakan politik mahasiswa dewasa ini. Sejak menggulingkan Soeharto pada 1998, mahasiswa makin gemar mengkritisi pemerintah dengan cara demonstrasi dan pengerahan massa. Tidak jarang pula, gerakan mahasiswa ini berujung ricuh dan bentrok dengan aparat. Akhirnya, mahasiswa selalu menggunakan kericuhan tersebut sebagai dalih menyalahkan pemerintah (baik Jokowi maupun pendahulu-pendahulunya).
Apakah pola politik mahasiswa sudah seharusnya seperti ini? Menurut saya tidak. Jika kita tilik kembali esensi mahasiswa dan perkembangan demokrasi Indonesia dewasa ini, seharusnya perpolitikan mahasiswa sudah berkembang melampai pengerahan massa.
Mahasiswa adalah kalangan terpelajar. Menurut data BPS, mahasiswa berjumlah 700 ribu orang di Indonesia. Lulusan mahasiswa (diploma dan sarjana) berjumlah 15 juta orang per Februari 2017. Artinya, pada 2017 hanya sekitar 16 juta orang dari 131 juta orang Indonesia dewasa yang pernah mencicipi pendidikan tinggi. Sebagian besar hanya berpendidikan setara SD.Â
Dari presentase tersebut mahasiswa harus menjadi orang-orang terpilih yang mampu berpikir kritis dan mengulas isu-isu dengan nalar dan ilmu yang diperolehnya di kampus. Inilah esensi mahasiswa dalam politik Indonesia. Saat mayoritas rakyat berpolitik berdasarkan emosi dan identifikasi etnis-agama, mahasiswa herus menjadi suara rasional yang mencerminkan pendidikan tinggi mereka.
Bagaimana kah cara mencerminkan pendidikan tinggi ini? Banyak caranya. Yang pasti, demonstrasi anarkis dan bentrok dengan aparat tidak termasuk salah satunya.
Atmosfer politik 2017 dan 1998 tidaklah sama. Pada 1998 media massa terbelenggu. Tidak ada kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, sebagaimana pun mahasiswa menulis dan berkarya akan sulit untuk mempengaruhi massa. Organisasi politik dikontrol ketat. Normalisasi Kehidupan Kampus resmi mematikan percikan kritik politik dari kalangan akademis. Satu-satunya cara agar didengar adalah dengan bersuara terlampau keras, yaitu turun ke jalan, pembangkangan sipil besar-besaran yang memaksa rakyat dan pemerintah memperhatikan kita.
Kondisi ini tidak terjadi di 2017. Saat ini media kita bebas. Berbagai media massa tumbuh bak jamur dengan ideologi dan pengaruh yang berbeda pula. Media sosial pun menjadi cara alternatif untuk menyebarluaskan ide dan meningkatkan kesadaran akan berbagai isu dan kebijakan. Piranti untuk akses internet pun kian tersebar luas. Smartphone tidak lagi menjadi mainan orang kaya. Ia telah tersebar hingga ke kelas menengah bawah, akar rumput dari gerakan politik. Gerakan mahasiswa harus mencerminkan perbedaan kondisi ini.
Kebebasan politik kini pun terus bertumbuh dan terpelihara. Sistem politik multi-partai membuka kesempatan luas bagi terbentuknya partai-partai baru. Parpol yang sudah ada pun kian bebas bermanuver dalam berorganisasi dan mempengaruhi massa.
Oleh karena itu menulislah. Berkaryalah. Berorganisasilah. Itu lah cara berpolitik yang paling mencerminkan esensi mahasiswa.Â
Tulislah artikel-artikel, ulasan kebijakan publik. Lakukan riset mendalam mengenai isu-isu sosial-politik dalam masyarakat kita. Lalu publikasikanlah dalam media-media massa yang makin menjamur dalam demokrasi kita. Buatlah karya-karya menarik yang mampu mempengaruhi orang banyak. Buatlah film-film pendek. Buatlah infografis. Buatlah poster-poster. Sebarkanlah dan pengaruhi masyarakat dengan ilmu kalian.
Mahasiswa adalah pemuda-pemuda cerdas melek teknologi. Jika memang media massa dan organisasi politk yang ada sekarang tidak memuaskan idealisme mahasiswa, maka buatlah media-media dan organisasi baru yang mencerminkan itu. Buatlah media-media digital, gunakan platform-platform media sosial. Viralkan tulisan, poster, film, dan infografis kita.
Lalu apakah turun ke jalan menjadi tabu? Tentu saja tidak. Tetapi jangan pula gerakan fisik menjadi pilihan pertama dalam politik mahasiswa. Utamakanlah kajian ilmiah. Berilah kesempatan pada debat dan kata-kata, dialog di forum publik yang makin terbuka luas di Era Informasi ini.Â
Jika pemerintah tetap tutup mata dan telinga, atau malah mematikan sarana ekspresi ini maka turunlah ke jalan. Paksa pemerintah mendengar isi pikiran kita.
Tetapi ingat, turun lah ke jalan sesuai aturan.Â
Peraturan perundang-undangan kita tidak sempurna. Banyak pasal-pasal UUD yang menjamin kebebasan sipil masih diselipi kata-kata '...sesuai peraturan perundang-undangan'. Artinya, DPR dan pemerintah dapat membuat undang-undang yang melanggar jiwa kebebasan yang dijamin oleh dijamin UUD 1945 setelah amandemen. Masalah inilah yang memberi kuasa Polri untuk membatasi waktu demonstrasi, yang akhirnya berujung ricuh pada 20 Oktober.
Tapi bukan berarti mahasiswa kemudian dapat melanggar undang-undang dan peraturan, mengatasnamakan jiwa kebebasan itu dijamin dalam UUD. Indonesia adalah negara hukum, tidak seorang pun yang boleh melanggar hukum terlepas dari kebenaran yang kita jiwai. Jika hukum itu tidak mencerminkan keadilan, maka ubahlah hukum tersebut.Berpolitiklah agar kita yang muda ini mampu mengubah undang-undang untuk mencerminkan keadilan.
Pada akhirnya, kita harus berhenti berposisi anti-politik praktis. Sudah terlalu lama mahasiswa terjebak dalam paradigma bahwa politik praktis itu kotor. Perjuangan di luar partai politik dan pemilu pun jarang membuahkan hasil. Bagaimana pun juga, lebih mudah merubah sesuatu dengan berbisik dari dalam dari pada berteriak dari luar.
Maka, terjunlah dalam politik praktis. Mendaftarlah sebagai kader parpol. Mendaftarlah dalam pemilu. Mendaftarlah sebagai caleg dan jadilah anggota legislatif. Jika memang semua partai poliki yang ada sekarang terlalu cemar, maka buatlah platform partai politik baru yang mencerminkan idealisme kita. Bawalah idealisme pemuda dan mahasiswa ke dalamkantor-kantor DPR dan DPRD, Gubernur dan Wali Kota. Lalu cerminkan idealisme itu dalam kebijakan yang kitatulis.
Inilah pola perpolitikan yang dilakukan para Bapak Bangsa kita. Soekarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, dan kawan-kawan adalah kaum intelektual. Mereka memulai perjuangan sebagai penulis essay dan jurnalis. Mereka mendirikan kantor berita dan menerbitkan koran pro-kemerdekaan. Mereka menulis pamflet dan menyebarluaskannya. Dari pena mereka lahir karya-karya besar yang mempengaruhi pemikirian rakyat dan menggoncang penguasa kolonial.
Para intelektual ini juga berorganisasi. Dokter-dokter STOVIA mendirikan Boedi Oetomo. Intelektual Muslim mendirikan Muhammadiah. Mereka mendirikan partai politik, Indische Partij. Mereka sadar, akan lebih mudah merengkuh kemerdekaan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dari dalam aula Volksraad dari pada dari jalanan.Â
Revolusi bersenjata menjadi cara terakhir, karena mereka sadar kekacauan yang muncul dari konflik fisik mengurangi legitimasi hasil perjuangan tersebut. Bahkan saat peliknya Perang Kemerdekaan pun, mereka mementingkan pengakuan kemerdekaan yang diperoleh dari meja diplomasi dibandingkan kemenangan militer mutlak.
Inilah jiwa perjuangan mahasiswa yang harus kita percikkan kembali. Berpikirlah kritis. Menulislah. Berkaryalah. Berorganisasi. Rebut kekuasaan itu dari panggung kampanye dan kotak suara. Hingga suatu saat, idealisme muda mahasiswa akan tercermin dalam hukum-hukum negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H