Pada 16 Agustus 2017, sehari sebelum Hari Kemerdekaan, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo menandatangani UU Pemilu. Undang-undang yang pembahasannya alot dan penuh kontroversi tersebut akhirnya resmi berlaku sebagai UU no. 7 tahun 2017.
Penekanan dalam artikel ini bukan mengenai isi UU Pemilu tetapi nomenklaturnya dalam lembar negara Indonesia. Undang-undang tersebut adalah yang ke-tujuh disahkan tahun ini. Artinya, sampai bulan Agustus - delapan bulan - DPR RI hanya mengesahkan 7 undang-undang. Kurang dari 1 undang-undang per bulan.
Ke-tujuh undang-undang yang disahkan DPR RI antara lain, dari nomer 1 sampai 7, UU Ratifikasi Perjanjian Perbatasan Laut dengan Singapura, UU Jasa Konstruksi, UU Sistem Perbukuan, UU Ratifikasi Perjanjian ZEE dengan Filipina, UU Pemajuan Kebudayaan, UU Arsitek, dan UU Pemilu. Dapat dilihat, dari 7 UU tersebut 2 di antaranya adalah ratifikasi perjanjian. Artinya DPR tidak ikut menyusun naskah RUU yang merupakan hasil negosiasi pemerintah dengan pemerintah asing. Itu pun perjanjian yang diratifikasi telah ditandatangani pada 2014 oleh Presiden Susilo Bambang 'SBY' Yudhoyono.
Efektif, DPR RI hanya mengesahkan 5 undang-undang dalam 8 bulan tahun 2017. Oh ya, harus diakui DPR juga meratifikasi 2 perjanjian bilateral... hanya terlambat 3 tahun.
Dengan 5 undang-undang, DPR masih jauh dari mencapai target proram legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2017 yang mencapai 49 rancangan undang-undang. Di antara Prolegnas Prioritas yang belum tercapai adalah RUU krusial yang mengatur reformasi bea dan pajak, narkotika, terorisme, dan komoditas penting seperti perminyakan, pertambangan, dan kelapa sawit.
Lambatnya kinerja DPR tentu saja tidak baik bagi pemerintahan negara kita. Banyak peraturan-peraturan yang digunakan saat ini adalah peninggalan Orde Baru. Perundang-undangan yang baru disahkan pada dekade 2000-an pun sudah mulai irelevan akibat cepatnya perkembangan teknologi pada dekade 2010-an.
Seolah menjadi saksi bisu mirisnya kinerja DPR adalah RUU KUHP yang sudah dibahas selama 72 tahun. Ya, 72 tahun, sama tuanya dengan republik ini. Selama Indonesia merdeka, Indonesia masih menggunakan hukum kolonial Belanda sebagai dasar hukum pidana dan perdatanya.
Apa Saja Yang Dikerjakan DPR?
Mungkin pertanyaan itu yang sedari tadi ada di pikiran anda. Dengan 11 komisi, masing-masing membahas bidang strategis tertentu, seharusnya mudah bagi DPR untuk menelurkan undang-undang. RUU-RUU pada bidang yang berbeda dapat dibahas secara paralel pada komisi DPR yang berbeda pula.
Sebenarnya, kinerja DPR yang super lambat ini relatif baru. Tidak lama pada tahun 2014 DPR masih mampu mengesahkan 7 undang-undang dalam waktu 1,5 bulan. Saat itu, Presiden SBY menandatangani UU no. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan pada 11 Februari 2014. Jika kita bandingkan, laju pembahasan undang-undang mencapai 4 kali lipat dari DPR saat ini.
Lalu apa yang menyebabkan lambatnya pengesahan RUU?
Ada beberapa perubahan fundamental yang terjadi pada tubuh DPR pasca Pemilu 2014, terutama terkait distribusi kekuasaan.Â
Pertama, pemerintahan Jokowi saat ini adalah pemerintahan minoritas. Saat menang Pilpres 2014, Jokowi menguasai kurang dari 50% kursi DPR. Partai-partai koalisi yang datang belakangan pun tidak konsisten mendukung agenda-agenda pemerintah. Kedua, atmosfer politik Indonesia saat ini jauh lebih partisan.Â
Pendukung dan oposisi pemerintah melancarkan perang retorika pada berbagai media, baik media massa hingga media sosial. Yang ketiga, syahwat politik masyarakat Indonesia, termasuk para elit politisi, tersita oleh berbagai kontroversi. Peran para elit politik yang sering kali memanas-manasi kontroversi pun tidak membantu meredam suasana. Akibatnya, pembahasan isu-isu strategis terkesampingkan oleh pembahasan kontroversi yang terus menerus.
DPR Harus Mawas Diri
Apapun sebabnya, DPR tidak bisa lepas tanggung jawab dari lambatnya kinerja ini. DPR harus mampu mawas diri, mengakui kekurangan, dan berusaha memperbaiki diri. Walaupun berperan sebagai kader partai, sejak terpilih sebagai anggota DPR mereka harus menunjukkan tanggung jawab pada rakyat. Jangan mengutamakan syahwat politik dengan terus menerus membahas isu kontroversial tanpa kerja nyata.
Nyatanya, DPR saat ini masih tidak mampu introspeksi diri. Bukannya mempercepat pembahasan Prolegnas 2017 yang tersisa, DPR kini membenturkan diri dengan KPK dengan isu hak angket, mengundang kontroversi baru. Belum selesai satu kontroversi, DPR juga menuntut memasukkan pembangunangedung baru.
DPR terus berusaha menambah fasilitas dan privilege yang tidak sebanding dengan kinerjanya. Dengan tidak sadar diri, DPR juga terus mengkritik kinerja-kinerja lembaga lain yang saat ini lebih diepercaya rakyat seperti pemerintah dan KPK.
Jika terus begini, apa DPR masih layak disebut wakil rakyat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H