Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Saya Masih Orang Indonesia?

29 Mei 2017   09:49 Diperbarui: 29 Mei 2017   10:10 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Kalau begini saya jadi menyesal lahir di Indonesia.'

'Malu jadi orang Indonesia.'

'Keadilan sudah mati di Indonesia.'

Tiga kalimat tersebut, dan berbagai varian-nya, banyak kita lihat di media sosial beberapa hari belakangan. Ini adalah bentuk kekecewaan atas putusan bersalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia diputus bersalah menistakan agama dengan ucapan yang dipelintir diluar konteks. Ia diputus bersalah melanggar hukum yang sedari awal kontroversial karena sifatnya yang mudah dipolitisasi dan membatasi kebebasan ekspresi opini.

Lebih dari itu, kata-kata itu adalah puncak kekecewaan yang dipendam sejak bergulirnya bola panas Pilkada DKI Jakarta 2017. Selama berbulan-bulan, media sosial dan konvensional dipenuhi ujaran-ujaran yang memojokkan Ahok, salah satu calon gubernur DKI Jakarta, dengan memanfaatkan etnis dan agamanya.

Sekelompok oknum, dengan secara sepihak mengaku sebagai perwakilan umat agama tertentu, 'melarang' memilih Ahok berdasarkan perbedaan agama dan etnis. Narasi-narasi tersebut mengarahkan masyarakat untuk meragukan nasionalisme dan kesetiaan agama serta etnis tertentu kepada Indonesia. Dengan membangun sentimen anti-Tionghoa, mereka membatasi ke-Indonesiaan pada etnis-etnis 'asli' Indonesia, suatu kelompok yang belum jelas cakupannya. Dengan mempermasalahkan agama Ahok, mereka 'membatasi' hak kepemimpinan Indonesia pada agama mayoritas.

Yang paling mengecewakan: 58% penduduk Jakarta setuju dengan narasi-narasi tersebut.

Apa alasan mereka melakukan itu? Apakah agama dan etnis minoritas 'kurang' ke-Indonesia-annya?

Sejarahnya, Bangsa Indonesia sendiri belum ada hingga 1928. Etnis-etnis Nusantara sibuk berusaha membebaskan daerahnya sendiri. Saat Sumpah Pemuda lah para pemuda pionir dari berbagai etnis inlander, istilah pemerintah kolonial Belanda untuk bangsa jajahannya, menyatakan berbangsa satu: Bangsa Indonesia. Syarat keanggotaan Bangsa Indonesia hanya satu: etnis yang diam di Nusantara di bawah jajahan kolonial Belanda.

Setelah 89 tahun, rupanya ada oknum-oknum yang ingin menambah syarat-syarat kebangsaan Indonesia. Agama dijadikan syarat. Pun juga dengan etnis dan suku bangsa. Mereka melupakan sejarah berdirinya Bangsa Indonesia dan mengeksklusi minoritas, suatu tindakan yang secara eksplisit dihindari para Bapak Pendiri Republik saat penyusunan dasar negara dan undang-undang dasar.

Dalam keadaan ini, apa yang kira-kira akan dipikirkan oleh orang-orang Papua? Bagaimana pula dengan orang-orang Maluku, NTT, dan etnis-etnis minoritas lain yang sebagian besar juga memeluk agama minoritas? Mereka tidak hanya minoritas etnis tapi juga agama. Apakah ke-Indonesia-an mereka dipertanyakan?

Kejadian baru-baru ini tentu menjadi suatu kekecewaan baru bagi mereka. Mereka yang sudah menjadi anak tiri pembangunan selama 72 tahun Indonesia merdeka. Juga bagi etnis Tionghoa yang tiga hari sebelum peringatan Tragedi Trisakti 1998 mendapat kado vonis bersalah bagi Ahok.

Majunya Ahok sebagai pemimpin ibu kota Indonesia menjadi secercah harapan: minoritas bisa dihargai menjadi pemimpin di Indonesia. Saat Ahok dilawan karena status minoritasnya tentu akan menjadi kekecewaan mendalam.

Apakah salah jika akhirnya ada di antara mereka yang menyerah menjadi seorang Indonesia? 'Bukan kami yang meninggalkan Indonesia, tapi Indonesia yang meninggalkan kami.' Mungkin itulah yang akan mereka katakan.

Mungkin akan ada yang bilang bahwa kekalahan Ahok tidak ada hubungannya dengan etnis dan agama. Tetapi sejarah membuktikan tidak ada gerakan ormas mayoritas membela Ahok selama dua setengah tahun ia ditolak sebagai Gubernur Jakarta karena agama yang dianutnya. Ini bukti diskriminasi SARA terhadap Ahok terjadi sebelum mencuatnya kasus penistaan agama.

Beberapa juga akan menyatakan bahwa masalah sebenarnya adalah para penggerak massa, oligarki anti-Reformasi yang memanfaatkan isu SARA. Ada pula yang akan berkata kita harus move on dari masalah Pilkada dan kasus 'penistaan' agama Ahok. Kata mereka kita harus beralih ke isu-isu yang, katanya, lebih penting.

Memang benar bertahannya wajah-wajah 'old guard' anti-Reformasi di panggung politik membahayakan demokrasi kita. Pilkada DKI Jakarta 2017, yang menjadi pemanasan perang politik gerakan 'old guard' dan progresif, juga sudah lewat dan kita harus move on dari kasus Ahok.

Akan tetapi, isu SARA yang bagi mereka hanya sebuah alat politik telah berkembang menjadi masalah tersendiri. Move on ini bukan karena masalahnya sudah selesai. Masalahnya justru makin besar dan merambat ke definisi ke-Indonesia-an kita. Retorika dan narasi mereka telah membawa Indonesia ke suatu krisis identitas. Sekarang menjadi tidak jelas lagi apa definisi ke-Indonesia-an yang baku.

Berbagai aksi solidaritas Ahok di berbagai kota di Indonesia telah menjadi pernyataan sikap kaum minoritas. Tidak sedikitpun tersirat ujaran kebencian terhadap kaum mayoritas. Yang terdengar adalah seruan 'Kami Indonesia!' Ya, kami menyatakan bahwa kami masih bagian dari Bangsa Indonesia. Kaum minoritas masih ingin menjadi bagian dari Bangsa Indonesia sesuai dengan yang dicita-citakan dalam Sumpah Pemuda 1928 dan UUD 1945.

Kini bola sudah dilempar kembali ke kaum mayoritas, terutama yang mengaku sebagai moderat. Definisi kebangsaan siapa yang akan Anda sekalian anut? Kebangsaan berdasarkan sejarah dan konstitusi ataukah kebangsaan berdasarkan identitas etnis dan agama?

Kami menunggu jawaban atas pertanyaan sederhana: Apakah kami masih Bangsa Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun