Mohon tunggu...
Benny Setyawan
Benny Setyawan Mohon Tunggu... -

Documentary film maker.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Visi Optik

22 Desember 2010   02:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:30 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak orang, yang saya tahu, menggambarkan dirinya adalah seorang sosialis, saya tidak tahu maksudnya, saya juga tidak tahu kebenarannya, atau mungkin mereka hanya menyembunyikan ideologi Marxis-nya agar terkesan untuk tidak menjadi orang yang di cap anarki. Atau bahasa Ideologi menjadi Sosialis adalah sesuatu yang menawan? Saya tidak tahu.

Namun dari beberapa hal yang tersampaikan di atas, saya hanya mempertanyakan apakah sebenarnya sosialis itu? Ideologi Sosialis yang hidup itu bagaimana? Atau, adakah yang memang benar-benar menghidupi ideologi itu dan menghayatinya dalam rutinitas keseharian hidupnya? Bukan kepura-puraan yang memendam keinginan dan kepentingan untuk menjadi ingin dikenal dan ingin kaya saja.

Kepura-puraan yang terpaksa, saya kira ujung-ujungnya juga memaksa, juga memerintah, dan juga menenggelamkan kita dalam kesadaran semu akan Sosialisme. Sosialisme yang dibangun dari kesadaran menjadi tenggelam dalam ekstase yang mengerikan, karena tiadanya kesadaran di sana. Kebohongan-kebohongan akan menjadi tindak lanjut dari Sosialisme semu ini, karena hanya dengannya kebohonganlah, aktor-aktor yang mengaku sosialis, yang bersembunyi dibawah topi merah lambang Marxisme itu hidup nyaman. Karena mengemis dan meminta-minta tidak lagi dipandang sebagai kelakuan yang memalukan, karena bahasa kebohongan yang dipakai adalah untuk melanjutkan perjuangan. Perjuangan siapa? Menurutku, ya perjuangan hidup si aktor pembohong yang mengaku sosialis itu! Kasihan bagi mereka-mereka yang baru mengenal dia, karena mereka adalah media-media baru yang akan dijadikan perahan, pastilah, siapa yang jaman sekarang tidak terpikat dengan kata-kata kosongnya yang retorik. Meski tak pernah benar-benar berjuang, meskipun berjuang, apakah benar dia meletakkan dirinya pada teori: the right man on the right place? Jangan-jangan semuanya hanya kebetulan saja. Jangan-jangan semuanya hanya romantika yang dibangunnya, agar muncul iba dan kasihan dikalangan pendengarnya yang dibodohkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun