Di tahun 1980-an, bagi remaja tanggung seperti kami, masjid adalah tempat terfavorit untuk berkumpul dan bercengkrama selama bulan suci Ramadhan, baik pada saat menjelang berbuka puasa maupun ketika menunggu waktu sahur tiba. Ada saja rencana kami.Â
Mulai dari bermain, mengaji, hingga pada ibadah rutin selama bulan puasa. Wah, kalo begitu kami sudah jadi anak sholeh ya? Hehe.., jangan bayangkan ibadah kami waktu itu seperti ibadahnya Ustadz Adi Hidayat atau Ustadz Abdul Somad sekarang. Karena jelas kami berbeda. Berbeda kelas/kasta, maksudnya..
Saking favoritnya masjid menjadi tempat kami berkumpul dan bercengkrama, sampai tidurpun kami lakukan di masjid, baik tidur pagi, siang, sore, malam, hingga pagi lagi. Lho kok bisa? Ya bisa saja.Â
Itu karena pengaruh hadist tentang "tidurnya orang puasa adalah ibadah" memang benar-benar telah tertanam di sanubari kami. Walaupun sekarang, aku baru tau kalo hadist itu ternyata hadist palsu. Itu berdasarkan penjelasan dari Ustadz Adi Hidayat lho
Kembali ke laptop. Pernah suatu malam sehabis sholat tarawih, kami (kira-kira) bersama 10 orang teman lainnya, seperti biasa berkumpul di masjid Al Muhajirin, Sembawa. Tujuannya adalah tidur bersama dan pada saatnya nanti hendak membangunkan para penduduk untuk tidak lupa bangun sahur.Â
Pada zaman itu, orang-orang pada susah bangun sahur dibandingkan dengan orang-orang zaman sekarang. Karena waktu itu belum ada jam waker dan alarm hape.Â
Semuanya masih manual dan sangat mengandalkan anak-anak 'tarling' yang berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya, saban hari menjelang pagi.
Sembari tidur-tiduran dan menunggu waktu sahur tiba, biasanya ada saja yang kami lakukan. Mulai dari tadarrus Al Qur'an, mengerjakan PR sekolah, membaca komik Petruk dan Gareng, membaca komik Azab Neraka, ngobrol ngalor-ngidul, hingga bermain remi dan kyu-kyu. Ups., salaahh...
Nah, setelah semua aktivitas itu kami lakukan, entah siapa yang memulai, tiba-tiba lampu listrik masjid padam dan semua kami jadi terdiam. Selang semenit kemudian, tiba-tiba terdengar suara pukulan keras dan salah seorang dari kami menjerit dengan suara yang memekikkan telinga.Â
Mendengar suaranya, itu pastilah suara Nang Bontet, pikirku. Ya, Nang Bontet alias M. Senin adalah nama salah seorang teman akrabku yang terkenal rempong..
Kemudian, terdengar lagi suara pukulan dan jeritan yang sama dari dalam masjid. "Adooohhhh..." teriak Nang Bontet dengan pekikan yang menyayat hati. Kami tidak tau apa yang terjadi, karena keadaan di dalam masjid yang cukup besar itu masih gelap gulita.Â
Menghadapi situasi yang genting seperti itu, kami hanya bisa pasrah dan terdiam sembari menunduk guna melindungi kepala masing-masing dengan tangan, takut kalau-kalau pukulan itu nyasar kearahku
Pada masa itu, masjid tempat kami tumbuh menjadi besar bersama itu, dulu memang terkenal angker. Terlebih di area tempat mengambil wudhu yang lembab, gelap, licin, dan sering mengirimkan hawa dingin yang menggidikkan bulu roma. Jadi, adanya kejadian lampu masjid yang mati secara tiba-tiba ini, membuat nyali kami sedikit agak menciut
Tiba-tiba lampu masjid menyala. Mata kami terarah ke stop kontak. Ternyata lampu listrik di masjid memang sengaja dimatikan oleh salah seorang dari kami.Â
Masih belum sadar dengan apa yang terjadi dan posisi kami masih belum beranjak dari tempat semula, tiba-tiba rekan kami yang juga membawa gulungan sajadah itu, mematikan kembali lampu masjid.Â
Dan, "duaarrr.., deeerrr...doorrrr..." terdengar lagi suara pukulan "sajadah gulung" yang dipukulkan ke dinding masjid. "Adooohhh..." teriak salah seorang yang terkena pukulan yang dilakukan secara acak itu
Begitu seterusnya. Lampu masjid dihidupkan, terus dimatikan, terus ada suara teriakan. "Aduuhhhhh.....". Lama kelamaan, ulah jahil kawan itu, yang awalnya hendak menakut-nakuti, lalu berubah menjadi permainan yang menantang adrenalin. Permainan terus berlanjut. Bahkan ada kawan yang menjadikan drum beduk  sebagai tempat berlindung.
Karena kenakalan kami ini terus berlanjut, dan suara-suara pukulan serta teriakan dari dalam masjid masih terus terdengar hingga dini hari hingga jauh keluar area masjid, lalu mengundang kegusaran salah seorang takmir yang rumahnya berada di sekitar masjid.
Sambil membawa sepotong kayu di tangan, sang takmir itu lalu berteriak lantang, "Dasar anak-anak nakal. Keluar kalian dari masjid ini, dan pulang!!" katanya dengan mengacungkan kayu di tangan.
Melihat kedatangan sang takmir, tiba-tiba saja kami berhamburan keluar sambil melompat dari pintu dan jendela masjid. Saking takutnya, ada yang harus merelakan baju dan sandalnya tertinggal di masjid demi memperoleh selamat dari kejaran sang takmir.
Tidak sampai di situ. Selepas berhasil mengusir kami keluar dari dalam masjid, ternyata sang takmir masih terus mengejar. Entah siapa yang mulai, tiba-tiba kami berlari menghindar dari kejaran takmir, dengan mengitari masjid yang luasnya kira-kira 100 meter persegi itu.Â
Lalu terjadilah proses kejar-mengejar yang seru antara kami dan takmir dengan mengelilingi masjid itu. Sepertinya tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing pihak berusaha untuk saling mengalahkan.Â
Kejar-mengejar terus berlangsung. Kalau tadinya kami berlari karena 100 persen takut, sekarang berubah menjadi 100 persen karena seru. Apalagi ada diantara kami, salah seorang anak takmir masjid tersebut yang ikut berlari terbirit-birit. Wuihh.., pokoknya tambah seru. Tambah lucuuu...
Kejar-mengejar terus berlangsung hingga sekian putaran. Nafas kami dan takmir masjidpun sudah mulai ngos-ngosan. Tapi karena lari kami lebih cepat dari takmir masjid, tiba-tiba tanpa diduga, posisi kami yang sebelumnya di depan takmir, berubah menjadi di belakang persis sang takmir. Kalau tadinya kamilah yang dikejar, akhir berubah menjadi kamilah yang mengejar.
Karena suasana di luar masjid gelap, salah seorang dari kami lantas menabrak takmir dan, "..gedubraaakk..!!", tiba-tiba teman yang berada di barisan belakang, menabrak kami secara karambol dan terjatuh secara bersama-sama dengan sang takmir.Â
Setelah terjatuh, lalu dengan sigap sang takmir beranjak bangun, lalu menjewer kuping kami dan memberi pukulan di pantat masing-masing sebanyak 1 kali. "Aduuhhh...!!" jerit kami satu persatu saat mendapat pukulan itu
Dari suara jeritannya, kami tahu suara siapakah itu. Satu persatu seperti mengabsen dirinya sendiri. Dan hingga jeritan terakhir, tak terdengar suara jeritan anak takmir. Lalu kemanakah dia? Wahh.., curang kamu, Ndro.. Ternyata teman kami yang satu itu, tak ada lagi batang hidungnya.
Ia sepertinya sudah melarikan diri dari arena lari, sebelum 'pertandingan' usai. Dia sepertinya 'walk out', karena tau yang mengejarnya itu adalah ayahnya sendiri. Hmm.., benar-benar anak yang berbakti....
Esok hari, Â kejadian serupa kembali terjadi dengan bentuk kenakalan yang berbeda. Tapi, memainkan kartu remi dan kyukyu sepertinya sudah menjadi agenda tetap di malam-malam berikutnya. Ah, masa itu..sungguh tlah membuat aku malu. Malu pada diriku sendiri, pada takmir, pada masjid, dan pada Tuhan..
Indralaya, 10/05/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H