Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Pekerja Muda

10 Agustus 2024   08:05 Diperbarui: 10 Agustus 2024   08:16 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Quiet Quitting (Sumber:Freepik.com)

Fenomena 'Quiet Quitting' di Kalangan Pekerja Muda: Mengapa Generasi Millennial dan Gen Z Memilih untuk 'Bekerja Secukupnya' dan Bagaimana Ini Mempengaruhi Produktivitas Perusahaan


Fenomena "Quiet Quitting" telah menjadi perbincangan hangat dalam dunia kerja, terutama di kalangan pekerja muda seperti Millennial dan Gen Z. "Quiet Quitting" bukanlah fenomena di mana pekerja berhenti dari pekerjaan mereka, tetapi lebih merupakan sikap di mana mereka memilih untuk bekerja secukupnya---melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugas tanpa upaya ekstra atau keterlibatan emosional yang mendalam. Munculnya tren ini memunculkan pertanyaan penting: mengapa generasi muda memilih untuk "quiet quitting," dan bagaimana ini memengaruhi produktivitas perusahaan?

Alasan di Balik Fenomena "Quiet Quitting"

 1. Keinginan untuk Keseimbangan Kehidupan Kerja
Salah satu alasan utama mengapa banyak pekerja muda memilih untuk tidak terlibat secara penuh dalam pekerjaan mereka adalah keinginan untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Generasi Millennial dan Gen Z telah menyaksikan dampak negatif dari budaya kerja yang berlebihan pada generasi sebelumnya, seperti burnout, stres, dan masalah kesehatan mental. Mereka lebih menghargai waktu luang, kebebasan, dan kesempatan untuk mengejar hobi serta kehidupan sosial di luar pekerjaan.

2. Kelelahan dan Burnout
Tekanan kerja yang terus meningkat, tuntutan untuk selalu produktif, dan ekspektasi yang tidak realistis telah menyebabkan banyak pekerja muda mengalami kelelahan atau burnout. "Quiet Quitting" menjadi cara bagi mereka untuk melindungi diri dari tekanan berlebih. Mereka memilih untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik, tetapi tidak melampaui batas-batas yang dapat merugikan kesejahteraan mereka sendiri.

 3. Ketidakpuasan terhadap Budaya Kerja
Banyak pekerja muda merasa bahwa budaya kerja di perusahaan mereka tidak mendukung perkembangan karier yang sehat. Kurangnya penghargaan, kesempatan untuk berkembang, atau bahkan lingkungan kerja yang toksik dapat membuat karyawan merasa tidak termotivasi untuk berkontribusi lebih dari yang diperlukan. Dalam situasi seperti ini, "Quiet Quitting" menjadi mekanisme bertahan hidup, di mana karyawan memilih untuk tetap bertahan tetapi hanya melakukan apa yang diperlukan.

Dampak Terhadap Produktivitas Perusahaan

Fenomena "Quiet Quitting" tentu memiliki dampak terhadap produktivitas perusahaan. Ketika karyawan tidak lagi terlibat secara penuh, inovasi dan kreativitas cenderung menurun. Selain itu, jika banyak karyawan yang memilih "quiet quitting," perusahaan mungkin akan menghadapi tantangan dalam mencapai target dan menjaga kinerja yang optimal.

Namun, dampak ini tidak sepenuhnya negatif. Dalam beberapa kasus, "Quiet Quitting" dapat mendorong perusahaan untuk mengevaluasi kembali budaya kerja mereka dan mencari cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan inklusif. Dengan memahami akar penyebab "Quiet Quitting," perusahaan dapat mengembangkan strategi untuk meningkatkan kepuasan dan keterlibatan karyawan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.

Strategi untuk Mengatasi "Quiet Quitting"

 1. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Mendukung
Perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Ini dapat dilakukan dengan menawarkan kebijakan kerja yang fleksibel, seperti bekerja dari rumah atau jam kerja yang fleksibel, serta menyediakan program dukungan kesehatan mental bagi karyawan.

2. Meningkatkan Penghargaan dan Pengakuan
Karyawan yang merasa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka lebih cenderung terlibat penuh dalam pekerjaan mereka. Perusahaan dapat meningkatkan penghargaan dan pengakuan melalui program penghargaan, promosi berdasarkan prestasi, dan umpan balik yang konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun