Banyak yang mengira Sarinah itu hanya bisa ditemukan di Jakarta. Padahal di Bandung juga ada. Tepatnya di Jalan Braga. Memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Jakarta.
Pada tahun 1980-an saya sering ke Sarinah yang berupa department store ini. Di sana ada sudut untuk main dingdong, lalu dijual prangko-prangko lama dari luar negeri, dan tentu saja rak buku meski tak banyak.
Pamornya redup seiring menjamur mall modern yang menjulang dan dilengkapi resto serta bioskop. Pada 2010-an Sarinah menjadi bangunan terbengkalai. Menodai keindahan wisata Jalan Braga.
Setelah sekitar 7 tahun dibiarkan, kemudian Sarinah direnovasi. Sama seperti beberapa bangunan di sekitarnya.
Pada 2018, Sarinah pun berdiri kembali. Tentu saja lebih cantik. Apalagi dengan tambahan gedung bertingkat yang merupakan bangunan dari de Braga Hotel by Artotel. Tapi saya lebih suka menamakannya Sarinah Hotel.
Pagi itu saya sedang mengantar istri  terapi akupuntur. Iseng saya buka grup Facebook Hotel Review Indonesia, tempat para penggemar menginap di hotel. Saya tertarik dengan sebuah lelang voucher hotel bintang 4 dengan harga relatif murah.
Akhirnya, saya bisa mendapatkan voucher itu seharga Rp250.000. Saya merasa beruntung karena saya dari dulu ingin menginap di hotel itu. Iya namanya de Braga Hotel alias Sarinah Hotel versi saya.
Tipe Studio 25 yang saya inapi merupakan kamar paling murah. Sejenis superior. Harga asli di kisaran Rp 600-700 ribu.
Tipe ini sudah terbilang comfy. Apalagi dari lantai 9, saya bisa melihat city view bonus pegunungan di selatan Bandung. Interiornya dominan putih dengan aksen hitam. Dinding dihiasi mural imajinatif yang membuat kamar lebih berwarna.
Resto dan kolam renang di lantai 3. Tapi berjarak. Jadi yang berenang tidak merasa diintip oleh pengunjung resto.