Saya pun segera ke luar kamar, sarapan di hotel seperlunya, dan meluncur naik taksi ke Pasar Kebayoran Lama. Sempat ragu juga ketika turun dari taksi, lalu melihat pemandangan pasar tradisional yang berantakan di sisi jalan. Di mana yang jual kemeja batik? Saya pun berjalan, hingga akhirnya masuk ke blok Pasar Kebayoran Lama.Â
Seru juga masuk ke lorong-lorong pasar yang gelap. Saya belum menemukan kios penjual pakaian, selain sayur mayur, daging, peralatan dapur ... sampai akhirnya ... tada! Ada perempuan setengah baya menggelar dagangannya di lantai. Bentuk dagangannya batik. Saya pun melihat-lihat si ibu-ibu. Si ibu pun melihat saya.
"Bu, ada kemeja batik?" tanya saya.
"Adanya daster, om."
Oh, pantas saja ibu tadi terus melihat saya aneh.
Saya pun bergeser menyusuri lorong lainnya, dan akhirnya menemukan dua kios batik lengkap. Alhamdulillah. Saya menemukan sebuah kemeja batik dengan motif bagus. Jangan tanya kualitas. Kalau saya ketahuan belanja di sini, pasti isteri saya marah. Masa iya ada kemeja batik harganya Rp75.000? Atau, masa sih mau ketemu Presiden RI pakai pakaian harga Rp75.000?Â
Setelah mendapat kemeja batik yang dibungkus kantong kresek sama dengan kalau kita membeli gorengan, saya berjalan keluar pasar. Lalu, tiba-tiba saya ingat sepatu saya. Sepatu saya bukan sepatu formal. Mahal sih. Tapi tetap aja bukan sepatu formal. Harus beli juga, kah?
Mendadak peri-peri pasar seolah menggerakkan kaki saya ke penjual sepatu. Saya membeli sepatu formal dari bahan yang keras dan saat dipakai berjalan pun kaki saya terasa digigit kudanil. Harganya? Saya kaget juga begitu tahu masih ada sepatu harga sekian. Tapi apa boleh buat. kagok edun, kalo kata orang Sunda.
Â
Renda-renda
Â