[caption caption="Alun-alun Ujungberung setelah renovasi (Foto: Benny Rhamdani)"][/caption]
Siang itu saya sengaja mendatangi Alun-alun Ujungberung, Bandung, yang telah direnovasi dan diresmikan ulang oleh walikota Ridwan Kamil pada 14 Juni lalu. Tampak perubahan total dari tampilan sebelumnya yang sebatas tanah lapang. Saya melihat taman yang ditata baik, kolam air mancur, serta wc umum dengan menara pandang di atapnya.
Di sekitar Alun-alun terdapat Masjid agung yang ramai dikunjungi, lalu berdiri pula kantor kecamatan yang agak kusam di musim kemarau. Tak berapa jauh, berdiri Pasar Ujungberung yang setiap pagi dan sore membuat jalan di depannya macet.
Saya tak habis pikir, mengapa ada Alun-alun di kecamatan Ujungberung. Sebab biasanya Alun-alun dan Masjid agung hanya dimiliki ibukota provinsi atau kabupaten.
[caption caption="Masjid Agung Alun-alun Bandung (Foto: Benny rhamdani)"]
Menurut beberapa catatan sejarah yang saya baca di Internet, Ujungberung yang  pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan tulisan Oedjeongbroeng justru merupakan cikal bakal lahirnya kota Bandung.  Pakar sejarah Bandung Haryoto Kunto, dalam buku ‘Wajah Bandung Tempo Doeloe’ menyebutkan bahwa Bandung dulu dikenal dengan sebutan West Oedjoengbroeng. Artinya, Bandung merupakan bagian dari wilayah Ujungberung, bukan terbalik seperti sekarang ini.
Diperkirakan wialayah Ujungberung sudah berdiri sejak abad ke-6, dan menjadi batas wilayah Kerajaan sunda dan Kendan. Namun data ini belum tentu akurat karena tak ada bukti tertulisnya. Barulah pada masa pemerintahan Belanda, saat pembangunan Jalan Raya Pos yang melintasi Ujungberung (1811), dijelaskan bahwa wilayah Ujungberung adalah dari Cimahi ke Cileunyi (barat ke timur), dan dari Gunung Tangkuban Perahu ke Sungai Citarum (utara ke selatan).
[caption caption="Peta Oedjoengbroeng lama . (Istimewa)"]
Ibukota Ujungberung saat itu adalah Cipaganti. Sementara Bandung saat itu hanyalah nama sebuah kampung kecil yang ditemukan oleh Julien da Silva pada 1641. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda membagi menjadi dua wilayah utara dan selatan sisi Jalan Raya Pos, yakni Oedjoengbroeng Kaler (pegunungan) dan Oedjoengbroeng Kidul (rawa-rawa).
Rafles kemudian datang dengan konsep tatakota menggunakan sistem distrik, dan membagi dua wialayah menjadi District Oedjoengbroeng Koelon dan District Oedjoengbroeng Wetan. Oedjoengbroeng wetan inilah yang kemudian beribukota Ujungberung dan pada abad 19 berada di wilayah Alun-alun Ujungberung saat ini.
Lalu mengapa nama Ujungberung kemudian tenggelam? Menurut pemerhati sejarah Ujungberung Anto Sumiarto di blognya, sejak tahun 1991-1926 terus terjadi pemekaran wilayah kampung Bandung, lalu menghapus nama distrik Ujungberung Kulon menjadi Kotapraja Bandung.