Semua orangtua di Indonesia, hendaknya menyaksikan film ini. Terutama mereka yang memiliki anak balita. Agar mereka lebih peduli menjaga dan mengawasi anak mereka. Sebab derita penculikan anak, tak hanya menimpa sang anak, tapi juga keluarga yang ditinggalkan.
Itulah pesan moral yang saya petik dari film Lost and Love (2015) yang disutradari novelis Peng Sanyuan. Film berlatar Tiongkok ini memiliki plot sederhana tentang  Lei Zuaken (Andy Lau) yang mencari anaknya yang hilang karena diculik pada usia dua tahun. Selama limabelas tahun dia terus mencari anaknya. Sampai suatu ketika, dia bertemu seorang montir muda bernama Zeng Shuai (Jing Borang) yang mengaku korban penculikan anak.
Zeng Shuai yang ingin sekali bertemu ibunya terus membuntuti Lei Zuaken. Hanya tiga hal yang diingatnya, yakni jembatan gantung, semak bamboo, dan perempuan menggunakan gaun panjang. Akhirnya Lei Zuaken membantu Zheng Shuai.
Â
Sepanjang film, walaupun kisahnya drama, saya tidak bosan mengikuti jalan ceritanya. Sebab pertama adalah akting Andy Lau yang memikat. Sebab lainnya adalah, kita dimanjakan dengan pemandangan indah negeri Tiongkok yang tak henti-hentinya. Membuat hormon traveling saya bergejolak.
Dialog-dialog di film ini sangat kuat. Misalnya ketika Lei Zauken membahas derita keluarganya setelah penculikan. Anaknya hilang ketika dirinya dan isterinya bekerja dan menitipkan kepada ibunya. Alhasil, keluarga itu seperti perang dingin. Isterinya seolah menyalahkan ibu mertuanya. Sementara ibu mertuanya memendam perasaan ebrsalah tiada tara.
Zheng Shuai memiliki derita berkepanjangan yang harus dipikulnya. Mulai dari statusnya yang illegal karena tanpa akte kelahiran. Sehingga dia tidak memiliki surat-surat resmi. Tidak bisa membeli tiket pesawat, bahkan ditolak mentah-mentah oleh orangtua kekasihnya.
Di sisi lain, ada pula anak korban penculikan yang justru hidupnya lebih sejahtera setelah diculik. Bahkan ketika ditemukan dengan orangtua aslinya, dia tidak mau pindah. Sungguh ironis.
Tentu film ini bukan tanpa kekurangan. Logika cerita di beberapa bagian agak sedikit memaksa untuk kesan dramatis. Tapi masih okelah kalau menontonnya pasrah pada kemauan sutradara.
Sebagai background, Tiongkok memang memiliki angka penculikan anak yang tinggi. Bahkan menjadi kriminalitas yang sering didengar setiap harinya. Menurut catatan, 70.000 anak diculik setiap tahun. Kendati pemerintah hanya menerima 10.000 laporan penculikan. Daily Mail malah menyebutkan 200.000 anak lelaki dan perempuan diculik selama setahun. Angka yang miris.
Di Indonesia sendiri, hampir setiap hari kita mendengar kisah penculikan anak yang ujung-ujungnya terkait dengan jual beli manusia. Di media sosial, tak henti orangtua yang melaporkan anaknya hilang. Ada yang akhirnya bertemu, tapi banyak yang gagal.
Seperti di film Lost and Love ini, kekuatan media sosial dan para relawan memiliki arti penting untuk mencegah penculikan anak-anak maupun mempertemukan kembali orangtua dan anak yang diculik. Sebab siapapun pasti tak akan mau hidupnya menderita sepanjang umur gara-gara jadi korban kriminalitas penculikan anak ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H