Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyesal Nonton 'Ada Surga Di Rumahmu' Karena ...

30 Maret 2015   09:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:48 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Minggu itu, saya mengajak anak dan isteri saya nonton film Ada Surga Di Rumahmu (ASDR) karya sutradara Aditya Gumay. Namun, rupanya anak saya lebih tertarik nonton film lainnya karena diajak sepupunya. Ditambah kondisi studio yang disesaki  calon penonton, akhirnya hanya saya dan isteri yang menonton film bergenre drama reliji ini.

Film dibuka dengan adegan di lorong rumah sakit, kondisi perempuan sekarat, serta wajah-wajah cemas. Narasi kemudian mengantar penonton menuju ke flashback. Latar Bumi Sriwijaya langsung kita kenali lewat pengambilan gambar di sekitar Sungai Musi lengkap dengan Jembatan Ampera-nya.

Satu persatu tokoh-tokoh pun diperkenalkan kepada penonton.  Adalah Ramadan kecil  (Raihan Khan) yang langsung diketahui menjadi tokoh sentral film ini. Seperti kebanyakan anak lelaki, dia suka membaca komik dan berkelahi. Namun dia memiliki keistimewaan saat membawakan kisah-kisah penuh istimewa di mushola tempatnya mengaji. Semua yang mendengar penuturannya bisa terhanyut hatinya. Termasuk Nayla kecil.

Karena sebuah perkelahian, Ramadan harus menerima ‘hukuman’ yang kemudian membuat cerita film ini makin menarik. Ramadan dikirim orangtuanya ke sebuah pesantren yang dipimpin Ustadz Athar (Ustad Ahmad Al Habsy). Akankah Ramadan berubah drastis? Tentu tidak. Ramadan tetap menjadi anak lelaki yang nakal tapi kreatif.

[caption id="attachment_406434" align="alignnone" width="616" caption="Ramadan kecil dipesantrenkan. (capture film ASDR)"][/caption]

Di pesantren ini pula, Ramadan mulai memupuk mimpinya ingin masuk televisi.

Kisah berlanjut ketika Ramadan beranjak dewasa (Husein Alatas). Bumbu percintaan pun mulai masuk, disertai konflik cinta segitiga. Penonton diajak menerka akankah Ramadan memilih cinta platoniknya dengan Nayla (Nina Septiani), ataukan jatuh hati dengan pesona Kirana (Zee Zee Shahab) yang hadir kemudian.

Namun yang jelas, impian Ramadan untuk masuk televisi terwujud.  Semua itu dirasakan Ramadan tak lepas dari doa dan keridhoan Abuya danUmi-nya.

Sarat Pesan dan Tangis

Karena bergenre drama, sudah bisa ditebak film ini akan berusaha mengguncang emosi penonton. Dan itu berhasil. Saya mendengar beberapa penonton terisak hampir di sepanjang film.

Kisah kasih sayang orangtua kepada anak memang formula paling mudah untuk menguras air mata. Apalagi ketika penonton dihadapkan adegan Umi (diperankan dengan baik oleh Ema Theana) dalam kondisi sakit ataupun menahan kerinduan. Belum lagi jika melihat tokoh Ramadan juga meneteskan airmata. Saya sendiri sontak teringat kondisi Ibu saya.

[caption id="attachment_406436" align="alignnone" width="630" caption="Adegan yang menguras airmata. (capture ASDR)"]

1427681042910872771
1427681042910872771
[/caption]

Film yang terinspirasi dari buku best seller Ada Surga Di Rumahmu karya Ustad Alhabsyi ini juga dipenuhi dialog-dialog bermakna, yang tadinya saya enggan berpikir apa-apa saat nonton film, mau tak mau mencernanya. Seperti, "Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita sibuk mengejar yang jauh?"

Lepas dari itu semua, saya paling menyukai bagian awal saat Ramadan menghabiskan masa kecilnya di pesantren. Penuh kelucuan dan memancing keingintahuan saya tentang kehidupan pesantren. Ketika kecil, imej pesantren memang selalu dirujuk sebagai tempat penggemblengan anak-anak yang nakal. Entah mengapa ceritanya justruterasa singkat. Sehingga saya nggak begitu rela ketika film kemudian menggambarkan sosok Ramadan dewasa.

Film ini memang tak lepas dari berbagai kekurangan. Misalnya, soal ending yang menggantung maupun akting beberapa pemain yang masih belum lepas, sampai sosok stereotype orang kaya yang sombong. Tapi saya tidak ingin terlalu banyak berpikir juga. Mengapa begini, mengapa begitu, biarlah. Yang penting saya merasakan manfaatnya setelah menonton ASDR.

Ketika film berakhir dan kembali ke rumah, saya menyesal menonton hanya berdua. Mengapa tadi membiarkan anak saya tidak jadi nonton film ini? Bukan apa-apa sih. Belakangan ini susah sekali mencari film yang mengajarkan tentang pentingnya seorang anak berbakti kepada orangtua.

^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun