Mohon tunggu...
Benny Rhamdani
Benny Rhamdani Mohon Tunggu... Novelis - Kreator Konten

Menulislah hal yang bermanfaat sebanyak mungkin, sebelum seseorang menuliskan namamu di nisan kuburmu. | Subscribe YouTube @bennyinfo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sirik Tanda Tak Mampu Kepada Bu Susi

27 Oktober 2014   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:32 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geli  membaca keriuhan di media sosial soal Bu Susi. Seperti biasa ada pro dan kontra. Ada tiga hal yang digarisbawahi; latar belakang pendidikan yang hanya tamat SMP, kebiasaan merokok, dan bertato.

Saya selalu miris bila ada yang menganggap rendah orang dengan latar pendidikan non-sarjana. Bila dia seorang yang pekerja keras, apakah dia masih juga lebih buruk dari seorang sarjana tapi pemalas dan korup? Apakah dunia ini milik para sarjana saja? Jika ya, maka tak heran bila pendidikan di negeri ini memang berorientasi kepada gelar. Bukan keahlian.

Di salah satu akun Facebook, saya malah membaca status seorang ibu yang berprasangka buruk terhadap anak-anak negeri, yang akan memilih tak melanjutkan pendidikan hingga tinggi. Dianggapnya Bu Susi akan jadi panutan bagi anak-anak negeri ini. Sempit sekali ya. Karena hanya satu dari 30 menteri lainnya yang tak sarjana, masa semenakutkan itu sih?

Lagi pun, anak biasanya akan bercermin kepada orangtuanya. Kalau sampai bercermin ke orang lain, pasti ada yang salah dengan orangtuanya atau pendidikan di keluarganya.

Ihwal kebiasaan merokok juga adalah salah satu hal yang menggelikan lainnya. Bayangkan, sejak dulu kita sudah memiliki menteri yang perokok. Bahkan dia adalah menteri pendidikan. Tahu kan yang saya maksud. Tapi prestasinya luar biasa.

Ya, saya tahu sekali merokok memang berbahaya bagi kesehatan, Itu sebabnya saya juga berhenti merokok. Kita doakan saja,  Bu Susi berhenti merokok setelah jadi menteri karena semakin banyak orang yang memengaruhinya berhenti.  Kalau pun tidak, ya minimal dia bisa menahannya selama berada di tempat umum.

Soal tato-nya juga saya sebenarnya bukan orang yang mau ikut campur urusan pribadi. Karena saya tahu sekali tatto itu sangat personal. Apakah tidak pantas menteri beratato? Bagaimana kalau kinerjanya ternyata lebih baik ketimbang menteri yang tidak bertato?

Intinya sih, kalau kita merasa lebih baik dari Bu Susi, mengapa kita tidak berusaha jadi menteri? Atau berusaha lebih dari sekadar menteri.  Kalau lulusannya lebih tinggi dari Bu Susi, lalu kerjanya begitu-begitu saja, siapa yang salah? Kalau tidak merokok tapi nggak punya kerjaan apa mesti salahkan Bu Susi juga? Kalau tidak bertato merasa paling suci, tentunya tidak perlu pula menggunjingkan orang lain, kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun