Mohon tunggu...
BASMI
BASMI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca, Berolahraga, Mendengar Musik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendeta Kristen Tidak Boleh Berpolitik?

26 September 2023   12:05 Diperbarui: 26 September 2023   12:07 1844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perdebatan mengenai, Apakah pendeta (dalam konteks pemuka agama Kristen) boleh atau tidak berpolitik merupakan bukan hal yang baru. Kalangan Kristen tertentu menolak gagasan bahwa Pendeta boleh berpolitik, sedangkan Kelompok Kristen yang lain tidak mempermasalahkan jika seorang Pendeta berpolitik praktis. Berpolitik disini artinya ikut serta dalam pemilihan yang diselenggarakan oleh negara, baik pemilihan kepala desa, pemilihan anggota DPRD dan DPRRI, pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, Presiden, dan sebagainya.

Sebelum jauh melangkah dalam membahas topik ini, ada baiknya terlebih dahulu kita memahami apa arti berpolitik tersebut. Kata ‘Berpolitik’ berasal dari kata ‘Politik’, secara etimologi berasala dari bahasa Yunani, yaitu ‘ Polis’ yang berarti negara kota. Dari kata ini diperoleh maksud bahwa politik adalah serangkaian kegiatan yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam kelompok, atau bentuk lain dari hubungan kekuasaan individu, distribusi sumberdaya air dan status. Kata ini berpengaruh dalam imperium Romawi sehingga bangsa Romawi memiliki istilah ars politica yang berarti kemahiran tentang masalah-masalah kenegaraan. 

Joyce Mitchell mengartikan Politik adalah tindakan pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat. Sedangkan menurut Karl W. Deutsch bahwa Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum (Keputusan ini berbeda dengan pengambilan keputusan pribadi oleh orang seorang dan bahwa keseluruhan keputusan merupakan sektor umum/ publik suatu negara).

Berdasarkan pengertian di atas, maka politik atau berpolitik merupakan suatu tindakan yang tujuannya adalah demi kemajuan atau kebaikan masyarakat dan negara. Jika tujuannya demikian apakah bertentangan dengan ajaran Kekristenan?. Politik bukanlah hal yang tabu dalam dunia Kekristenan, meskipun tidak ada ayat dalam Alkitab yang secara spesifik menyebutkan pendeta boleh atau tidak terlibat dalam politik praktis, namun jika kita menilisik Alkitab, maka politik sudah ada sejak zaman Perjanjian Lama, bahkan sangat jelas diceritakan bahwa Allah lah yang menjadi pemimpin politik tertinggi (Teokrasi) bagi bangsa Israel yang merupakan umat pilihan Allah. 

Kemudian Allah menyetujui permintaan umat Israel untuk memiliki seorang raja sebagai pemimpin mereka sehingga sistem politik Israel beralih dari Teokrasi menjadi Monarkhi. Kisah Hakim-hakim dan Tua-tua dalam Perjanjian Lama juga mengidentifikasi bahwa politik dalam dunia Alkitab bukanlah hal yang asing. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru keterlibatan orang-orang percaya atau tokoh-tokoh Kristen dalam dunia politik tidak begitu eksplisit dicatat. Namun demikian, ada ayat-ayat Alkitab yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan dasar keikutsertaan orang-orang percaya di kancah perpolitikan.

Matius 5: 13-16 menurut Glen H. Stassen dan David P. Gushee adalah bagian Alkitab secara khusus Perjanjian Baru yang menjadi pendukung orang-orang percaya dalam berpolitik. Berdasarkan ayat tersebut, Stassen & Gushee mengatakan salah satu cara pengikut Kristus untuk menjadi ‘garam dan terang’ adalah terlibat dalam aktivitas komunitas, baik sebagai masyarakat sipil, maupun sebagai pemimpin masyarakat yang tupoksinya membuat dan menjalankan kebijakan publik. 

Mereka berpandangan bahwa Yesus mengajarkan partisipasi dalam pemerintahan Allah mewajibkan praktik yang berdisiplin dari sebuah komunitas kontrabudaya yang mengikut Kristus yang menaati Allah dengan terlibat secara publik dalam upaya-upaya bagi keadilan. Memang tidak harus terlibat politik praktis untuk menjadi garam dan terang, karena itu adalah karya Roh Kudus dalam diri setiap orang percaya, tetapi hal itu akan memudahkan, lebih massif, lebih powerfull, jika orang percaya memiliki kedudukan publik.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Pendeta sulit terlibat dalam politik praktis, diantaranya: keterikatan dengan gereja (aturan denominasi), pembagian waktu antara pelayanan di gereja dengan pelayanan di publik (jika terpilih), momok KKN dalam perpolitikan yang akan merusak citra gereja jika pendeta akhirnya ikut terlibat KKN. Namun demikian, jika melihat situasi dunia perpolitikan saat ini, marak dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka sangatlah tepat bagi para Pendeta ikut terlibat dalam politik praktis, meskipun hal itu tidak menjamin akan hilangnya praktik KKN. 

Tujuan pendeta untuk terlibat dalam politik praktis adalah menjadi garam dan terang, mengubah para politikus yang terbiasa dengan praktik-praktik KKN yang sudah menjadi budaya menjadi politikus yang menolak dan benci KKN dan hal ini dimotori oleh Pendeta-pendeta yang terlibat dalam politik praktis, dan bukan sebaliknya malah ikut terlibat KKN, tetapi jika tujuannya adalah untuk jabatan semata agar dihargai, agar kekayaan bertambah, agar berkuasa, maka janganlah terlibat atau setelah terpilih ternyata banyak godaan untuk KKN dan merasa tidak tahan godaan, haruslah mengundurkan diri. Ingatlah !!! bahwa politik hanya alat yang di pakai oleh Tuhan untuk orang-orang percaya menjadi garam dan terang dunia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun