Â
Dibalik itu pada kibasan awal Epi tadi, seakan menyiratkan banyak imaji yang dimunculkan, apakah Epi melecuti semua yang terasa lambat, berbagai hal yang harus dipacu cepat, atau banyak hal yang diinginkan Epi untuk situasi dunia yang terjadi saat ini. Kibasan dan geliat tubuh yang kuat dan tegas di atas kaki kanan itu dapat melahir multi tafsir tanpa batas. Apakah kibasan itu sebagai tanda bahwa perayaan itu akan dimulai, seperti dalam sinopsis yang disampaikan Epi pada awal video sebelum karya dimulai. Itu semua terpulang kepada kita masing-masing.
Epi terus berjalan sesekali mengibaskan cambuk itu sambil  mengucapkan matra-matra mengarah ke cawan di tangan kiri yang sejak awal sudah mengarah ke langit. Musik bernuansa matra magis yang dihasilkan dari perpaduan bunyi alat music tiup seperti sampelong, dan senandung irama mantra terus membawa kita ke dunia perenungan akan perayaan dalam kehidupan yang menurut Epi dimulai dari sejak lahir, tumbuh dewasa, tua dan kembali ke alam kematian. Adegan ini begitu menyeret kita akan peristiwa hidup yang begitu sacral digambar Epi Martison.
Tiga posisi utama cukup memperkuat bagian ini. Adegan jalan melingkar dengan asap di cawan tangan kiri serta cambuk yang terus dikibas-kibaskan, seperti mungisir roh jahat yang mengganggu. Di sisi lain, posisi duduk dengan kedua telapak tangan kanan dan kiri menyatu di depan dada, menyiratkan sebuah kepasrahan kepada yang maha agung Tuhan YME. Serta posisi berjalan lurus, sebagai penggambaran hidup yang mesti mengikuti alur kehidupan lurus dan benar. Tiga posisi kuat yang diambil Epi merupakan keputusan bukan tanpa alasan. Semua itu tentu telah melalui perenungan yang dalam akan pola kehidupan yang digambarkan pada inti karya music ini.
Â
Ketika posisi kuat itu berjalan, Epi memberi tekanan-tekanan bunyi pada alat perkusi gong kecil dan alat music sampelong yang berasal dari tradisi Minangkabau. Semua bunyi-bunyi itu dihadirkan sangat berhati-hati. Walau terlihat  sederhana, namun memainkannya dengan teknik yang mumpuni, bunyi-bunyi itu melahirkan bunyi yang bermakna, berkarakter, menelusup ke setiap bagian karya dan menjadi daya ungkap yang kuat. Pada bagian ini Epi terlihat sangat teliti dan cermat dalam menghadirkan bunyi. Ia tidak mau luput dari hal sekecil apapun yang dapat menggangu kekuatan bunyi secara khusus atau ensamble bunyi secara keseluruhan dalam karya ini.
Adegan terus berjalan.  Satu persatu anak tangga mulai ditapaki dan semakin tinggi. Sebuah perjalanan dalam menapaki hidup disimbolkan Epi di salah satu anak tangga sebuah candi. Sehingga tampak pada adegan ini sebuah perjalanan hidup yang penuh sakral. Saat yang bersamaan  genta raksasa dipukul satu kali dan sangat kuat. Bersamaan dengan itu teriakan melengking tinggi dari Pemusik Syarial Tando memecah nuansa matra sebelumnya yang bernuansa magis. Teriakan itu terus diulang-ulang beberapa kali.
Adegan memukul-mukul muka sendiri saat music teriakkan terjadi, menjadi gambaran kehidupan tersendiri. Bagaimana seseorang pada akhirnya dapat menampar diri sendiri tanpa ia sadari. Sungguh gambaran kehidupan yang tak dapat diduga oleh siapapun. Lagi-lagi adegan ini terlihat biasa, namun sarat pesan yang ingin ia sampaikan.
Kehidupan terus berjalan yang digambarkan oleh Epi Martison sendiri. Kibasan-kibasan cambuk yang tadinya tidak dilafaskan ke dalam bentuk bunyi, pada bagian tertentu dilafaskan menjadi bunyi sayatan yang tajam. Saat itu juga suasana berubah.
Â
Bunyi alat tiup saluang yang dimainkan Syahrial menjadi dominan. Bunyi genta unkuran sedang dan kecil mulai mendominasi. Selang berjalan beberapa saat, perpaduan bunyi alat music genta yang terbuat dari bahan metal itu mulai digabung Epi dengan alat music yang terbuat dari bahan  bambu.