Adegan berubah. Mantra-matra yang bernuansa budaya primitive masih terus berjalan. Saling sahut bersahut penuh emosi. Sekilas seperti menggambarkan sebuah perseteruan yang sengit antara dua kelompok yang yang sedang bersiteru. Mengeluarkan ilmu-ilmu pusaka, untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Semua menjadi buas saling menjatuhkan.
Di posisi lain, muka penari yang masih tertutup oleh sarung tadi, kini ditumbuhi oleh ranting-ranting yang  tajam. Mereka terlihat menjadi buas. Bergerak lebih agresif, menatap lurus tajam ke depan sesekali berpaling ke kanan dan ke kiri.Â
Pergulatan panjang akan kehidupan manusia, tak akan terlepas dari wujud alam yang telah dikodratkan Ilahi. Semua berada pada bentuk yang saling berbeda satu sama lain, baik wujud maupun warna.
Hal itu diungkap Rianto pada bagian Akhir karya ini. Tiga warna kain yang menguntai panjang dari tempat  ketinggian, mencipta garis imajiner yang kuat diantara wujud alam lainnya. Warna itu seperti mengalirkan energy akan kehidupan yang sebenarnya. Masuk pada diri makhluk hidup dimanapun berada.
Air sungai yang mengalir dan membasahi tubuh tubuh dua orang penari menjadi adegan penutup karya ini. Dua orang penari itu tepat berada di tengah-tengah air yang mengalir. Seperti berbaur menjadi satu ke dalam sumber energy kehidupan itu. Mengalir, mengikuti perputaran waktu sampai batas yang kita tidak tau kapan semua itu akan berakhir.
Karya Ini telah membawa kita akan sebuah perjalanan hidup. Kemana jalan itu akan kita tuju, dimana posisi kita sebenarnya. Jawaban itu ada pada diri kita masing-masing.
Terima kasih untuk karya "ANTIGA"
Tulisan ini pernah dimuat di Borobudur Writers Cultural Festival (BWCF) 2021