Dari posisi diam rendah itu mereka mulai bergerak bangkit perlahan bersaman munculnya tembang Asmarandana yang berbicara akan keihlasan bathin manusia. Lirik -- lirik  tembang yang membawa kita ke  perenungan yang dalam akan kehidupan manusia itu diolah oleh Gunawan Muhammad, budayawan senior yang sudah sangat dikenal oleh kalangan masyarakat sastra maupun  seni pertunjukan Indonesia.
Kamera mulai bergerak perlahan dengan formasi melingkar berlawanan dengan pergerakan penari. Semakin lama sedikit menjauh dari penari. Sehingga ruang terlihat lebih besar dari sebelumnya. Saat bersamaan penari terlihat saling berjauhan satu sama lain. Aktivitas masing-masing saling berbeda. Baik arah maupun level. Sarung yang tadi membungkus tubuh mereka, mulai mereka gulung dengan posisi poros gulungan di kepala.
Tubuh mereka dari  pinggang sampai dada mulai terbuka. Sementara sarung panjang yang menjadi pembungkus tubuh mereka tadi, kini telah menjadi gulungan panjang yang dilingkarkan menutupi muka dan semua kepalanya. Sehingga kain yang menutupi semua raut wajah mereka itu, seakan menjadi kedok atau topeng yang melahirkan berbagai ekspresi.
Kita tidak tahu, apakah Rianto ingin menggambarkan manusia-manusia berkedok, atau mengungkap sifat manusia yang perlahan mulai berubah wujud menjadi hewan-hewan buas. Hal itu semakin jelas terlihat saat jari-jari tangan penari membuat gerak seperti seekor hewan buas yang sedang mengeluarkan cakarnya di tanah, sambil meraup semua benda yang ada di genggamannya. Saat adegan ini berlangsung penari dalam posisi tengkurap. Meliuk-liuk seperti sedang memperlihatkan emosi yang tertahan.
 Adegan ini melahirkan nuasa  budaya primitive yang kita tau ada di berbagai daerah pedalaman Nusantara. Begitu juga pada karya ini. Vocal-vokal tradisi bernuansa mantra dari daerah Makasar, Sulawesi Selatan, yang diolah Rianto pada bagian karya ini, merupakan hasil dari perjalanan migrasi bunyi dari penelitian Rianto mengenai mantra-mantra yang ada di daerah Banyumas dan Makasar Sulawesi selatan.
Saat suasana matra-matra itu terus mengeluarkan berbagai tekanan irama yang menyayat, dua orang penari menggeliat dan merangkak mengarah ke sebuah pohon besar. Mereka terus mendekat ke akar pohon dan seperti ingin menggapai posisi yang lebih tinggi.
Posisi jari-jari tangan yang sesekali terlihat ingin mencakar pohon besar itu menunjukkan sebuah sikap yang ambisius. Namun karena postur tubuh mereka yang kecil seperti tidak sanggup untuk menggapai posisi yang lebih tinggi. Sehingga, apa yang mereka lakukan tampak sia-sia.
Mereka terlihat  menyerah. Apapun yang mereka lakukan seperti tidak mendatangkan hasil apa-apa. Akhirnya mereka  tersadar, bahwa kekuatan mereka tidak sanggup untuk menakhlukkan pohon-pohon besar yang telah berdiri kokoh, kuat dari segala sisi, baik akar, kulit pohon bahkan ranting-ranting sekalipun. Dua penari itu akhirnya duduk terdiam dalam kepasrahan sambil membelakangi pohon besar yang tadi tempat bergantung bagi dirinya.