Baru-baru ini Rianto hadir dengan karya tari "ANTIGA", pada Borobudur Writers & Cultural Festival ke 10, 2021. Sebuah ajang Festival yang mengangkat berbagai peristiwa sejarah budaya di balik berdirinya Candi Borobudur.
"ANTIGA", merupakan karya Rianto yang tampil secara virtual.  Ditarikan oleh tiga orang penari, Abdi Karya, Cahwati dan Rianto sendiri. Untuk music dikawal sendiri oleh Rianto dan  kemudian ditata oleh Cahwati.
Karya tari "ANTIGA", merupakan gambaran pesan tentang "Nyawi" ing diri pada tubuh. Menyatukan perasaan, ucapan dan perbuatan ( hati, bibir dan perbuatan). Ketika tiga elemen ini disatukan dalam sebuah literature dan foklor Jawa, merujuk pada tabiat buruk dalam kelemahan integritas yang merupakan sindiran indah dengan menggunakan istilah "alim antiga". Alim merupakan (serapan dari bahasa Arab) artinya "Berpengetahuan". Dan "ANTIGA" artinya telur yang di dalam bahasa Jawa lebih popular disebut TIGAN, yang merujuk kepada angka 3, sesuai dengan tiga bagian yang ada pada telur. Kuning telur, Putih telur dan Kulit telur.
Untuk menyebut orang yang tidak memiliki integritas, lebih kepada mereka yang memiliki status terpelajar atau berpengetahuan, dalam bahasa Jawa sering diungkapkan sebagai sindiran "Wong Alim Antiga". Njaba putih njero kuning (Di luar putih akan tetapi di dalamnya kuning). Artinya Perbuatan berbeda antara lahir dan bathin.
Gerak jari tangan menyerupai anak ayam yang sedang berusaha keluar dari cangkang telur, menjadi adegan pembuka karya tari "ANTIGA". Adegan ini terlihat sangat kuat. Sederhana akan tetapi menyampaikan banyak makna. Dibawakan oleh Rianto dengan posisi tangan diangkat pada level tinggi di atas kepala. Sementara  semua tubuh dibungkus oleh kain yang dibuat khusus menyerupai bentuk kain sarung.  Sehingga  jari-jari tangan yang bergerak perlahan menjadi sangat focus.
Peran kamera memanfaatkan cahaya matahari terbit (sunrise), sangat menguntungkan. Cahaya tubuh yang gelap jadi memperkuat adegan pertama ini. Hamparan alam yang  terlihat samar karena tertutup kabut menjadi latar belakang.. Semua gerak tangan begitu halus, lembut, mengalir pasti, seperti mengiringi takdir untuk melangkah, berjalan, memulai hidup di alam jagad raya ini.
Seiring petikan dawai alat music dan senandung vocal bernuansa tradisi Makasar, kita diajak Rianto berpindah ke areal hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar yang rindang. Diantara pepohonan itu, tiba-tiba kita dikagetkan oleh penari yang berubah menjadi tiga orang. Pada awalnya saya mengira itu hanya sebuah editan yang menggabungkan satu penari menjadi tiga. Bagaimana tidak, karena sosok tiga penari tersebut muncul di balik pepohonan dan berlari dengan arah yang saling berbeda satu sama lain. Sementara kostum yang mereka pakai terlihat sama. Adegan ini menarik. Akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Ketiga penari berhenti pada posisi rendah, dengan arah dan jarak yang saling berjauhan.
Mereka terdiam sejenak seakan menyatu dengan alam lingkungan. Warna sarung hijau yang mereka kenakan  menjadi selaras pula dengan warna daun yang berserakan serta pohon-pohon besar yang berdiri kokoh. Mereka terlihat menjadi partikel kecil diantara mahkluk  alam yang ada di sekelilingnya.