Mohon tunggu...
Benni Indo
Benni Indo Mohon Tunggu... Wartawan -

Orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan di Musim Hujan

29 November 2013   09:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang dzuhur langit gelap oleh mendung. Hujan tak juga turun menghujam Bumi. Namun langit sepertinya tidak akan kuat menahan kegelapan yang ada.

Sepeda motor terus kukebut menyelip di antara mobil dan truk besar. Aku berlomba dengan alam yang sudah muram sejak pagi menjelang. Dalam hati hanya berharap tak tersentuh barang setetespun air hujan.

Dalam perjalanan itu, berkali-kali aku harus mengerem mendadak menghindari tabrakan. Ternyata, selain berlomba dengan alam, aku juga sedang berlomba dengan waktu secara tidak langsung. Alam dan waktu kini ada di belakangku. Tak ada yang menarik selain memenangkan pertandingan ini.

Kecuali pohon-pohon yang dulu ada di pinggir jalan. Tiba-tiba kini hilang hanya berbekas setengah penggal batang. Saat aku merasakan ada yang berbeda di kota ini, aku kurangi kecepatan. Seolah tidak peduli lagi dengan perlombaan bersama waktu dan alam.

Aku amati dengan teliti hal-hal yang berbeda di jalanan yang aku lewati siang itu. Pepohonan tiada gagah berdiri lagi. Kepalaku tak henti-hentinya menengok ke kanan dan kiri. Betul sekali, hijaunya warna telah berganti. Tingginya pohon telah tumbang. Pedagang kaki lama semakin subur dari pada pepohonan yang masih ada. Trotoar menjadi sempit oleh gerobak-gerobak beroda dua dan tiga.

Aku berhenti di suatu tempat yang tak jauh dari persimpangan jalan. Di tempat itu kukembalikan ingatanku saat pernah berteduh di bawah pohon menghindari air yang rontok dengan derasnya dari langit ketujuh. Pohon itu tiada lagi kini. Apakah ditebang atau ditelan Bumi aku juga tak mengetahuinya.

Angin mulai kencang menggoyahkan rambutku. Sedetik kemudian hujan mulai turun. Satu, dua titik diikuti tiga dan berjuta titik kemudian. Banyak pengendara motor yang merapat ke pinggir jalan. Ada yang memakai jas hujan namun tak sedikit juga yang hanya sekedar berteduh sembari menunggu hujan reda.

Tapi aku masih saja melihat-lihat tempat sekitar aku berdiri. Tak mungkin juga rasanya aku menunggu pohon itu tumbuh kembali dalam waktu yang singkat. Aku hanya tahu kalau hujan adalah minuman pohon. Tanah adalah makanan pohon. Tapi kenapa pohon dikorbankan untuk program kehidupan?

Orang-orang mulai melihat tajam ke arahku. Mungkin terbesit tanya di kepala mereka: "Kenapa anak itu tidak berteduh?". Aku tidak peduli. Aku hanya peduli beginilah rasanya hujan yang turun dari langit. Bukankah manusia selama ini juga berharap mendapat keajaiban dari langit? Tapi untuk yang satu ini banyak manusia menghindari berkah dari langit.

Setelah beberapa lama berdiri, aku mulai melanjutkan perjalanan kembali. Motor aku hidupkan di tengah-tengah serbuan hujan. Tak peduli sekujur tubuhku basah. Tak peduli lagi hangatnya matahari mulai tak aku rasakan kembali. Deru mesin motorku berlomba dengan suara rintik hujan di jalanan.

Hujan sangatlah deras membasahi kota. Setelah belok ke arah kiri, aku jumpai kemacetan yang panjang. Di tengah kemacetan itu, banjir menggenangi jalanan. Selokan tak mampu lagi menahan volum air hujan. Taman-taman yang indah dengan rumputnya yang hijau dan bunganya yang berwarna-warni berubah seketika menjadi satu warna: cokelat.

Banjir melanda di sepanjang jalan. Aku harus berhati-hati agar tidak jatuh dari motorku. Aku lihat ke bawah, air hampir saja menenggelamkan mesin motor. Ketinggian air sudah mencapai 10 cm.  Aku mencoba mencari dataran yang lebih tinggi agar mesin tidak tergenang oleh air. Kalau sampai mesin motor mati, itu artinya perjalanan pulang ke rumah akan semakin lama.

Para kaki lima juga molor rizkinya. Sebagian dari mereka bahkan telah menutup dagangannya. Mungkin lebih memilih mengamankan barang dagangan daripada mengamankan Rupiah yang didapat. Hujan semakin deras diselingi angin dan suara petir yang cengeng. Langit semakin gelap dan lampu-lampu rumah serta jalan telah menyala. Padahal ini masih di siang hari.

Banjir kali ini luar biasa meluasnya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Apa yang terjadi? Apa penyebab semua ini? Aku kembali mengingat pohon yang telah almarhum. Menjejaki perannya sebagai makhluk hidup. Menolong pengendara dan pedagan kaki lima. Menolong perekonomian dan kehidupan sosial warga. Lebih sederhana lagi dari itu, ia hanya melakukan hal kecil yang berdampak besar: meminum air yang tumpah di Bumi.

Tapi beberapa orang berkilah kalau pohon itu mengganggu rancangan bangunan yang telah digambar. Penebangan harus dilakukan agar bangunan dapat dibangun setinggi-tingginya dengan kaca-kaca yang menghiasi gedung. Bangunan harus berdiri tinggi agar banyak orang yang menginap jika malam tiba. Sebagian lainnya agar rumah toko segera berfungsi sebagaimana mestinya.

Aku masih terjebak dalam kemacetan. Aku lihat ke belakang, banyak pula orang yang mengendap-endap mencoba menghindari kemacetan. Sementara aku mengatur strategi di dalam otak untuk menghidari kemacetan itu. Setelah belok lagi ke arah kanan, beberapa meter dari situ aku menemukan alasan kenapa kemacetan bisa terjadi.

Sebuah pohon besar melintang di badan jalan. Mobil mewah remuk menjadi tak tampak mewahnya dibawah besarnya pohon itu. Pecahan kacanya berserakan ke pinggiran jalan. Bagian atasnya peyot, remuk tak berbentuk. Sebagian kursi-kursi yang semula di dalam mobil berpindah tempat keluar.

Beberapa orang mencoba membantu sopir yang terjebak di dalam mobil. Penumpang yang lainnya sudah bisa membebaskan diri dari bahaya itu. Polisi dan petugas PMI berada di lokasi untuk sekedar gotong-royong dengan masyarakat. Jalanan yang semula dua jalur diganti menjadi satu jalur. Kemacetan ini karena itu.

Korban berjatuhan, pengguna jalan dirugikan. Para pedagang juga merugi. Waktu telah berada di depan merayakan kemenangan. Sementara alam sepertinya masih menemaniku dengan tangisannya yang jatuh dari langit. Semakin dingin air yang membasahi tubuhku.

Aku pelan-pelan melintasi tragedi itu. Sambil menengok ke arah terjadinya kecelakaan, aku dengar suara jerit tangisan yang getir dari seorang ibu dalam pelukan suaminya yang baru saja dikeluarkan dari mobil. Sementara anak-anak mereka telah masuk ambulan dan menuju ke rumah sakit dengan bunyi sirine yang meraung-raung.

Aku tak sempat menelusuri lebih jauh apakah ada korban atau tidak. Namun dari tangisan yang aku dengar dapat digambarkan betapa sedihnya seorang ibu itu. Sang ayah mencoba menenangkan istrinya yang tersedu-sedu tidak teratur.

Sembari meneruskan perjalanan pulang, aku bertanya pada diriku sendiri. Alamku di kota ini apakah telah murka? Apakah memang itu artinya kalau satu pohon saja ditebang? Pohon menangis, alam menangis, seketika manusia juga ikut menangis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun