Mohon tunggu...
Benni Indo
Benni Indo Mohon Tunggu... Wartawan -

Orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Hari Kemarin

23 Juli 2014   16:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:28 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin, KPU menetapkan Joko Widodo atau Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2014 dan Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Kemarin juga banyak rakyat Indonesia telah melihat pemimpin barunya di TV dan media lainnya. KPU memutuskan total perolehan suara Prabowo-Hatta 62.576.444 suara (46,85%)dan Jokowi-JK, 70.997.883 (53,15%). Sementara selisih suara keduanya yaitu, 8.421.389 suara.

Menjelang putusan sah oleh KPU, fenomena perpolitikan Indonesia diwarnai penarikan diri para saksi dari kubu Prabowo saat proses rekapitulasi tengah berlangsung di gedung KPU. Mereka mendapat perintah langsung dari Prabowo supaya meninggalkan ruangan itu. Di tempat terpisah, secara mengejutkan Prabowo berbicara di hadapan para pendukungnya dan awak media kalau dia mengundurkan diri dari ajang Pilpres 2014.

ada lima hal yang mendasari pengunduran dirinya itu. Berikut lima hal pernyataan Prabowo yang berbicara di depan pendukungnya tanpa ditemani Hatta Rajasa sebagai cawapres.


  1. Proses penyelenggaraan pilpres yang diselenggarakan oleh KPU bermasalah. Sebagai pelaksana, KPU tidak adil dan tidak terbuka. Banyak peraturan main yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU.
  2. Rekomendasi Bawaslu banyak diabaikan oleh KPU.
  3. Ditemukannya banyak tindak pidana Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara dan pihak asing.
  4. KPU selalu mengalihkan masalah ke MK, seolah-olah setiap keberatan harus diselesaikan di MK padahal sumber masalahnya di KPU.
  5. Telah terjadi kecurangan masif dan sistematis untuk mempengaruhi hasil pemilu presiden.


Pada saat memberikan keterangan seperti tertulis di atas, Prabowo dengan emosional menolak proses rekapitulasi di gedung KPU. Sebelumnya, kubu Prabowo juga mengancam mempidanakan KPU karena menilai KPU berlaku tidak adil.

Tanpa mengindahkan manuver yang dilakukan kubu pasangan nomor urut 1, KPU terus melanjutkan proses rekapitulasi. Sekitar pukul 20.55, secara resmi KPU menetapkan Jokowi-JK sebagai pemenang dan berhak menjadi presiden Indonesia selanjutnya menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono yang telah berkuasa selama dua periode, 10 tahun.

Apa yang menarik dari hari kemarin? Bagi saya pribadi, masyarakat telah memperoleh pendidikan politik yang hebat atas terselenggaranya Pilpres 2014. Saya sepakat dengan Pak SBY atas pernyataannya yang mengatakan kalau Pemilu 2014 ini lebih keras dari pada Pemilu 2004 dan 2009.

Mengapa begitu keras? Karena semua elemen terlibat. Tempat yang paling menyita perhatian adalah sosial media. Tak bisa dipungkiri lagi, sosial media memberi pengaruh besar terhadap jalannya Pemilu 2014 ini. Di era modern seperti saat ini, setiap orang hampir dipastikan memiliki akun sosial media. Apakah itu sekedar Facebook atau Twitter.

Di sosial media, kampanye berlangsung alot bahkan menjurus pada kekerasan cyber. Ungkapan-ungkapan yang saling menjatuhkan biasa terlihat pada beberapa akun pengguna. Bagi pihak yang dihujat, tak sedikit juga dari mereka yang membalas. Alhasil, keadaan saling membalas dalam hujatan itu terlus berlangsung, bahkan walau KPU telah memutuskan pemenang Pilpres.

Tentu saja pada 2004 dan 2009 hal semacam itu belum begitu terlihat. Saat itu, rakyat menikmati pergolakan politik Pemilu melalui media-media TV atau koran. Minimnya kontribusi sosial media saat itu, menimbulkan sedikitnya sikap saling hujat antar pendukung.

Sejenak kita tinggalkan tentang sosial media, kini beralih kepada media TV swasta nasional. Ada TV One, ANTV, dan Metro TV di sana, lantas di susul oleh MNC Gruop yang menaung MNCTV, Global TV dan RCTI. TV One adalah stasiun TV swasta yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Abu Rizal Bakrie. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau pemimpin Golkar itu berkoalisi dengan Gerindra, partai pengusung Prabowo sebagai capres. Di tempat terpisah, Metro TV yang dimiliki Surya Paloh secara terbuka juga mendukung Jokowi sebagai presiden terpilih. Sementara Harry Tanoe, pemilik MNC Group memihak ke kubu Prabowo walaupun 'mantan' partainya memihak pada kubu Jokowi.

Persaingan para media di atas begitu keras. Tak jauh berbeda seperti di sosial media yaitu saling menjatuhkan. Begitu tidak sehatnya pemberitaan antara media yang bertikai, KPI bahkan memberi saran kepada Tifatul Sembiring sebagai menteri komunikasi dan informatika agar izin penyiaran Metro TV dan TV One dicabut.

Seiring berjalannya waktu, TV One dan Metro TV mulai melunak. Apalagi setelah Jokowi ditetapkan sebagai pemenang, Metro TV tampak tanpa beban untuk kembali menerapkan etika jurnalistiknya. TV One juga mulai memberi pemberitaan yang berimbang, apalagi setelah Karni Ilyas kembali dari masa cutinya selama kampanye Pilpres berlangsung.

Beberapa media cetak juga tak bisa terlepas dari keterlibatan Pilpres 2014 ini. Bahkan secara terang-terangan salah satu media menunjukkan sikap dukungannya kepada salah satu capres, seperti yang dilakukan oleh The Jakarta Post atau yang melawan sepertii Obor Rakyat. Terakhir, Dewan Pers menganggap Obor Rakyat bukan produk jurnalistik karena memuat pemberitaan yang bersifat fitnah.

Atas segala fenomena yang terjadi di sosial media dan media lainnya, opini yang digiring dalam masyarakat berada di news room masing-masing media. Namun tampaknya masyarakat juga terlampau cerdas jika dibiliang begitu saja dengan mudahnya tergiring opini. Masyarakat justru belajar banyak dari kejadian-kejadian yang ada. Survei menemukan, hampir 90% kampanye hitam ditujukkan kepada Jokowi. Sementara Prabowo mendapat kampanye hitam tidak sampai pada kisaran 25% saja. Kampanye hitam yang berisi tentang informasi bohong, sementara kampanye negatif berisi informasi yang sesuai kejadian. Jika secara logika mengatakan masyarakat mudah tergiring opininya, sudah pasti Jokowi akan kalah karena di sana pemberitaan yang bersifat fitnah banyak tersebar.

Namun, nyatanya Jokowilah yang hadir sebagai pemenang. Itu membuktikan, masyarkat tidak mudah terpengaruh. Itu membuktikan, masyarakat mampu menyaring informasi yang didapat, bahkan beberapa dari mereka, yang saya temui, malah mengabaikan informasi yang datang.

Kini masyarakat semakin dewasa dalam melihat fenomena perpolitkan di negeri sendiri. Walaupun saya sendiri bukan orang yang berpolitik praktis, saya juga mengikuti ramai rendahnya hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia.

Pada akhirnya nanti, kedewasaan dalam berpolitik akan mengantarkan kepada sikap politik yang jujur, adil, dan tegas. Masyarakat yang mulai melek politik saat ini terlahir dari riuhnya perpolitikan yang terjadi. Ke depannya, saya yakin, masyarakat dan bangsa ini akan banyak belajar dari sejarah Pemilu 2014. Kita tunggu saja Pemilu 2019 nanti yang akan diselenggarakan serentak dengan pemilihan legeslatif. Sudah pasti sangat meriah dan ramai.

Para calon pemimpin juga belajar banyak dari dua sosok yang diidam-idamkan rakyat Indonesia. Walaupun Prabowo memutuskan mengundurkan diri lalu sebagian besar mesayarakat menilai itu adalah sikap yang tidak ksatria, kejadian itu menjadi buah pelajaran yang manis bagi calon pemimpin selanjutnya.

Kini, setelah Jokowi ditetapkan sebagai pemenang dan akan dilantik menjadi Presiden NKRI menggantikan SBY, saatnya kita kembali bersatu sebagai bangsa yang utuh. Bersatu mengawal jalannya pemerintahan baru. Bersatu membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Tuhan bersama Indonesia, Tuhan bersama orang-orang yang berjuang di jalan kebaikan. Tuhan bersama kita dan anak cucu kita sebagai rakyat Indonesia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun